"Tinggal tiga bagian saja. Lebih baik aku tanya Fahmi." Kusodorkan buku Elang kembali ke tempat semula.
"Mana yang kurang?" Elang memandangku dengan tajam membuat bulu kudukku berdiri. Wajahnya terlihat mengerikan.
"In ... ini, ini, dan ini," ujarku terbata.
Ekspresinya berubah lembut saat menerangkan padaku. Dia lebih cocok dipanggil bunglon dari pada elang. Sikapnya berubah dengan cepat disetiap kondisi.
Praktek hari ini berakhir sudah. Aku melambaikan tangan pada Rindu yang masih mengikuti kelas Bakteriologi. Sudah tak sabar ingin segera sampai rumah.Â
"Lok, sorry. Hari ini aku tidak bisa pulang sama kamu. Aku ada janji dengan Rindu. Kamu pulang sendiri nggak papa kan?" Hera mengatupkan dua telapak tangan untuk meminta maaf. Wajahnya terlihat penuh penyesalan membuatku tak tega.
"Nggak papa kok, Hera." Aku memaksakan diri tersenyum. "Pulang duluan ya."
Aku melangkah dengan lambat tapi ternyata masih tetap terlalu cepat untuk sampai di perempatan besar ini. Telapak tanganku mulai berkeringat. Aku mulai susah bernapas. Kuangkat kaki kanan, memaksakan diri melangkah tapi kakiku kembali kuletakkan di tempat semula. Aku merasa tak sanggup menyebrang sendirian.Â
Menoleh ke kanan dan ke kiri. Jalanan ramai sekali. Bis-bis besar melaju dengan kencang membuat nyali semakin ciut. Aku butuh seseorang untuk menolong menyeberang jalan.
Penolong itu datang dalam bentuk Elang. Tangan kananku terulur hendak meraih jemari tangan Elang tapi tangan itu berhenti di udara. Apa Elang akan marah kalau tiba-tiba kugandeng. Dengan lesu, tangan kembali turun.
Mataku melotot tak percaya saat merasakan gengaman. Aku memandang kedua tangan yang saling bertautan. Jalanan seolah menghilang karena mendapati Elang tersenyum saat mengangkat tangan kami. Dia menuntunku melewati perempatan yang ramai, ketakutan hilang seketika. Bagiku ini seperti berjalan berduaan di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Bahkan suara musik lembut tiba-tiba terdengar. Ah, indahnya.