Cie, cie yang partnernya baru." Hera menghempaskan pantat ke kursi terdekat.
"Aku lihat si Elang bisa lumer sama kamu. Kamu apain?" Hera mengedipkan sebelah mata untuk menggoda.
"Biasa aja. Eh gimana kabar gebetanmu yang baru?" Aku berusaha mengalihkan perhatian Hera.
"Biasa aja. Ehm, Lok. Gimana kalau sekarang aku gebet Elang aja? Sepertinya sudah jinak." Hera memandang Elang dengan penuh harapan.
"Coba aja kalau berani," tantangku.
"Siapa takut." Hera melenggang pergi untuk mendekati Elang.
Elang memandang sekilas ketika Hera mendekat dan duduk di depannya.Â
"Apa yang dilakukan Hera di sana?" Rindu mendekatiku tapi pandangannya tetap tertuju pada Hera.
"Hanya mengajak ngobrol Elang," jawabku sambil menyibukkan diri mempersiapkan buku catatan untuk teori kimia amami.
Rindu memegang tanganku untuk mendapatkan perhatian. "Kamu tahu kan kalau aku tidak suka kedekatan diantara kalian. Aku takut kalau dia akan merebut Elang darimu."
"Sejak dulu sampai sekarang pun, Elang bukan milikku." Aku memaksakan diri untuk tersenyum.
"Aku sangat mengenalmu dan tahu kapan kamu berbohong." Rindu mengelus telapak tanganku.
"Hai, kalian seperti lesbi saja." Hera mengejutkan kami hingga Rindu melepaskan genggaman tangan.
"Gimana ... gimana?" tanyaku pada Hera. Suaraku terdengar antusias padahal dalam hati was-was. Kalau sampai Elang jatuh ke tangan Hera, terus gimana nasibku.
"Beku. Cuek banget seperti biasa." Hera  mengangkat bahu dan menghembuskan napas dengan keras.Â
Diam-diam aku merasa lega. Dia sudah kembali seperti semula. Elang yang cuek. Entah apa yang terjadi kemarin hingga Elang banyak bicara walau pun yang keluar dari mulutnya adalah ejekan. Paling tidak dia sudah mau bicara lagi denganku.
"Eh, siapa itu?" tanya Hera dengan hebohnya. Dia mencolek-colek lenganku hingga mau berpaling dan mengikuti arah pandangannya.Â
"Cantik," pujiku.
Cewek cantik berambut panjang itu menghampiri Elang. Dia menarik kursi agar lebih dekat. Elang melirikku sekilas lalu memalingkan wajah. Â Aku kembali mengamati dua orang yang duduk di bagian paling depan. Seharusnya aku nggak perlu segugup ini hanya karena Elang memperhatikanku walau sekilas.
"Bukannya itu Jesi? Mantannya Elang?" kata Rindu.
Aku tersentak mendengar kata mantan. Naif sekali karena mengira Elang belum pernah berpacaran. Harapan-harapan yang mulai tumbuh jadi layu seketika.Â
Rindu mencondongkan badan lalu berbisik lirih, "dengar-dengar Jesi ingin balikan lagi." Aku memutar bola mata, gosip dimulai.Â
"Mau ke mana, Lok? Kelas sudah mau mulai nih." Hera berteriak kencang tapi aku tetap melangkahkan kaki menuju kantin.Â
Aku harus pergi ke mana saja asal tidak melihat mereka berdua. Ah, kantin tempat terbaik untuk bersembunyi. Duduk di bawah pohon rindang sambil minum es pasti bisa mendinginkan suasana.Â
Aku masih sempat melirik kedua sejoli waktu melewati mereka. Jesi menggengam tangan kanan Elang. Ekspresi Elang datar seperti biasanya membuatku heran. Seperti ini gaya berpacaran mereka. Jesi yang lebih agresif sedang Elang biasa-biasa saja.
"Mau kemana, Lok?" Fahmi mencegat di depan pintu.
"Cari minum. Panas banget nih." Kukibaskan tangan di depan muka.
"Minum ini saja. Tenang, belum kuminum kok." Fahmi memahami keengganaku.
"Makasih." Segera kusedot es teh pemberian Fahmi. Sebenarnya cuaca tidak sepanas itu hingga aku butuh es tapi melihat Jesi dan Elang lah yang bikin panas.
Tanpa permisi Fahmi menarikku hingga sampai di depan Elang. Si Fahmi memang perlu dijitak nih. Aku mempermainkan sedotan, pura-pura cuek saja.
"Eh, esku tuh," pekikku nggak terima saat Elang menarik paksa plastik es. Dia menyedot es teh hingga habis seolah-olah itu miliknya.
"Dari pada buat mainan, lebih baik kuminum saja. Haus."
"Ih, Elang kok gitu sih. Itu tadi kan bekasnya mbak-mbak ini. Kalau masih haus, ta beliin minum ya. Elang mau minum apa?" tanya Jesi dengan centilnya.
"Es jeruk," sambar Fahmi sambil tersenyum tanpa dosa.
"Nggak nawarin kamu," sahut Jesi judes.
"Es jeruk dua. Satunya buat Fahmi." Fahmi tersenyum penuh kemenangan. Dia bahkan masih sempat memainkan alis untuk menggoda Jesi.
"Tunggu di sini. Biar Jesi belikan." Jesi melesat pergi meninggalkan kami.
"Dia tidak pernah menuruti permintaanku, tapi kalau kamu yang ngomong pasti langsung dipenuhi." Nada bicara Fahmi terdengar sinis. Apa Fahmi cemburu.
Tanpa berpamitan, aku kembali ke kursiku. Rindu dan Hera sudah senyum-senyum nggak jelas. "Apa? Udah nggak usah mikir macem-macem. Aku jadi kambing congek kok," ujarku sebelum diintrograsi mereka.
Dosen sudah memulai materi saat Jesi melenggang memasuki kelas. "Apa yang kamu lakukan di sini? Masuk ke kelasmu sendiri!"
Aku, Rindu, dan Hera terkikik melihat Jesi yang pucat pasi karena disemprot dosen.
"Rasain. Suruh siapa keganjenan," Â ejek Hera.
Hera menggandengku menuju ruang praktikum parasitologi setelah dosen keluar. Wajahnya berseri-seri seperti sedang jatuh cinta.Â
Aku duduk di bangku sambil menatap Hera yang duduk menghadap Elang. Fahmi juga memandang Hera dengan pandangan heran.
"Hera kenapa?"
Aku hanya bisa angkat bahu melihat kelakuan ganjil teman dekatku itu. Senyumnya makin lebar sekarang dan aku tahu penyebabnya. Elang duduk persis di depan Hera.
"Hai, Lang. Sekarang kita jadi partner ya," sapa Hera centil.
Aku dan Fahmi mengerutkan dahi. Kelihatan banget kalau Hera mencoba menarik perhatian Elang. Elang tidak menanggapi sapaan Hera.
Fahmi mencondongkan badan mendekatiku. "Hera kesambet setannya Elang ya?" bisiknya.
"Iya kali," jawabku sok sibuk dengan membuka buku praktek.
Sepanjang praktek, Hera selalu mengambil kesempatan untuk mendekati Elang. Elang mulai tampak terganggu.
"Mi, tolong urus partnermu ini." Elang mendorong Hera menjauhinya. Dia lalu menarikku hingga aku terhuyung jatuh di pelukannya. Pipiku semerah tomat saat ini. Aku bahkan takut kalau Elang dapat merasakan debaran jantung ketika jarak kami sedekat ini.Â
Hera juga memerah, mungkin dia malu karena diperlakukan seperti ini oleh Elang. Fahmi menyentuh lengan Hera, mengingatkan agar kembali bergerak untuk melihat preparat lain. Hera menepis tangan Fahmi.
Elang melepaskan pegangannya. "Berjalan di belakangku."Â
Aku menundukkan badan untuk melihat preparat yang sudah dilihat Elang. Memang tidak wajib berurutan tapi Elang bersikeras memposisikan diriku tepat di belakangnya.
"Lang, ini keterangannya apa ya?"
Aku dan Fahmi mendongak mendengar suara Hera. Dia masih berani bertanya setelah kejadian tadi. Kupikir dia bakalan mendiamkan Elang. Gigih juga perjuangannya. Apa aku harus seperti dia dalam merebut hati Elang. Itu berarti harus bersaing dengan sahabat sendiri. Kugelengkan kepala beberapa kali untuk mengusir pikiran itu jauh-jauh.
"Tanya Fahmi saja. Diakan partnermu," jawab Elang dengan ekspresi datarnya.
"Ah Elang, nggak asik nih." Hera mencebik.
Elang nggak seperti Fahmi yang senang kalau ditanyai. Ber-partner dengan Fahmi membuat tugas praktekku cepat selesai. Rasanya sungkan kalau harus bertanya pada Elang padahal ada bagian yang tak kumengerti.
"Udah selesai, Lok?" tanya Fahmi yang melihatku bengong sambil menatap halaman buku.
Aku menggeleng lemah. Masih tersisa tiga bagian lagi yang belum kutandai. Tadi tidak fokus karena insiden nggak sengaja dipeluk Elang.
"Mana yang nggak ngerti?" Fahmi mencondongkan badan agar bisa melihat gambar parasitku lebih jelas.Â
Aku hendak mendorong buku mendekati Fahmi tiba-tiba sebuah telapak tangan menahan buku hingga tetap diam di tempat. Aku menoleh dengan pandangan protes.
Tanpa bicara, Elang menyodorkan bukunya untuk kucontek. Dia malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Fahmi mundur saat melihat perlakuan Elang.
"Tinggal tiga bagian saja. Lebih baik aku tanya Fahmi." Kusodorkan buku Elang kembali ke tempat semula.
"Mana yang kurang?" Elang memandangku dengan tajam membuat bulu kudukku berdiri. Wajahnya terlihat mengerikan.
"In ... ini, ini, dan ini," ujarku terbata.
Ekspresinya berubah lembut saat menerangkan padaku. Dia lebih cocok dipanggil bunglon dari pada elang. Sikapnya berubah dengan cepat disetiap kondisi.
Praktek hari ini berakhir sudah. Aku melambaikan tangan pada Rindu yang masih mengikuti kelas Bakteriologi. Sudah tak sabar ingin segera sampai rumah.Â
"Lok, sorry. Hari ini aku tidak bisa pulang sama kamu. Aku ada janji dengan Rindu. Kamu pulang sendiri nggak papa kan?" Hera mengatupkan dua telapak tangan untuk meminta maaf. Wajahnya terlihat penuh penyesalan membuatku tak tega.
"Nggak papa kok, Hera." Aku memaksakan diri tersenyum. "Pulang duluan ya."
Aku melangkah dengan lambat tapi ternyata masih tetap terlalu cepat untuk sampai di perempatan besar ini. Telapak tanganku mulai berkeringat. Aku mulai susah bernapas. Kuangkat kaki kanan, memaksakan diri melangkah tapi kakiku kembali kuletakkan di tempat semula. Aku merasa tak sanggup menyebrang sendirian.Â
Menoleh ke kanan dan ke kiri. Jalanan ramai sekali. Bis-bis besar melaju dengan kencang membuat nyali semakin ciut. Aku butuh seseorang untuk menolong menyeberang jalan.
Penolong itu datang dalam bentuk Elang. Tangan kananku terulur hendak meraih jemari tangan Elang tapi tangan itu berhenti di udara. Apa Elang akan marah kalau tiba-tiba kugandeng. Dengan lesu, tangan kembali turun.
Mataku melotot tak percaya saat merasakan gengaman. Aku memandang kedua tangan yang saling bertautan. Jalanan seolah menghilang karena mendapati Elang tersenyum saat mengangkat tangan kami. Dia menuntunku melewati perempatan yang ramai, ketakutan hilang seketika. Bagiku ini seperti berjalan berduaan di tengah taman yang penuh bunga warna-warni. Bahkan suara musik lembut tiba-tiba terdengar. Ah, indahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H