Mohon tunggu...
Sketsanol
Sketsanol Mohon Tunggu... Guru - Meraih kebebasan berkarya dan berekspresi tanpa batas.

Sketsanol tercipta dari sketsa-sketsa kehidupan yang diawali titik nol.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Binarti

7 Mei 2018   17:29 Diperbarui: 1 Juni 2020   21:09 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Chelseau  (Pinterest)

Kadang ia bawa teman tapi lebih sering sendirian.  Mereka  mulai dekat sejak pertemuan itu selama 6 bulan. Seolah yakin lelaki tampan itu mencintai Marina ternyata ia hanya memberikan harapan palsu. Tak pernah lagi ditemuinya dan mengajak jalan sama. Tinggalah Marina dengan cintanya yang pupus sudah. Marina terlalu menggebu dan yakin ia dicintai pria itu, setiap mengingat itu Marina selalu sedih. Tak berhenti ia selalu menyalahkan dirinya sendiri. Hati dan pikiranya telah diberi untuk pria itu.

Binarti sedih dengan keadaan kakaknya. Kesedihanya makin bertambah ketika ia mengetahui sesuatu yang tak pernah Marina cerita padanya. Suatu hari  ia  masuk ke kamar kakaknya hendak bersihkan kamar. Ia menemukan diari Marina dibalik bantal, dengan penasaran ia membuka buku berwarna pink, dilembaran pertama  terpajang futu seorang pria yang ia kenal. Pria yang dikenalnya sejak dua bulan lalu, mereka sudah sangat akrab 3 bulan terakhir. Bahkan Binarti sering mendapat sms dari pria itu. Binarti mulai menyukai pria itu, pria berwibawa yang baik hati. 

Sungguh Binarti ingin menangis pada saat itu tapi ia tahan dan bergegas mengembalikan buku diari Marina ke tempat semula, ia pun pergi dengan seribu langkah membawa hatinya yang hancur. Hal itulah yang membuat dirinya tak mampu menjawab pertanyaan Sugeng disaat ia menyatakan perasaan pada dirinya. Bahagia campur sedih melanda hati dan pikiranya teringat Marina. 

Ia meninggalkan pria itu dengan hati yang hancur. Langkahnya berat tapi hati bertekad untuk tidak menyerahkan hati pada pria yang telah membuat hidup kakaknya hancur. Ingin rasanya marah dan memaki  pria itu, agar ia tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia tak melakukanya karena itu sama saja menyudutkan Marina. Pasti pria itu berdalih tak punya perasaan spesial untuk 

Marina atau mungkin ia akan mendengar kata maaf dari pria itu membujuk dirinya agar menerimanya sebagai pacar. Tidak! Lebih baik pergi meninggalkanya dengan menyisakan seribu tanya seperti yang ia lakukan pada Marina. Satu hari atau dua hari mungkin masih kepikiran tentang dirinya tapi kalau sudah dibiasakan untuk melupakanya pasti bisa, begitulah kata hati Binarti dengan mantap.

Binarti meninggalkan Marina sendirian di teras rumah. Saat itu malam menyapa dengan lembut diiringi semilir angin bertiup.  Beberapa anak kecil berlarian melintasi depan rumah menuju mesjid, beberapa ibu tetangga lewat sambil menyapa Marina, ia pun tersenyum kecil. Binarti muncul dengan membawa selimut segera ia membalut tubuh Marina dengan selimut itu. 

"Masih disini, kak Mar?" tanya Binarti sambil menatap wajah Marina lekat-lekat. Marina menganggukkan kepalanya pelan.  Binarti masuk ke dalam seolah tak ingin mengganggu Marina dalam lamunanya. 

Marina menyayangi Binarti meski Binarti bukan adik kandungnya. Rasa sayangnya melebihi dirinya sendiri, banyak pengorbanan ia lakukan untuk adik tirinya. Hanya Binarti yang ia punya dalam hidup dan hanya Binarti menolong dirinya disaat ia susah. Tetapi mengapa hati Marina bisa terluka parah ketika ia tahu pujaan hati ternyata menyukai Binarti.  Seharusnya Marina ikhlas  bila mereka menjadi sepasang kekasih, kebahagiaan Binarti adalah kebahagiaan Marina juga, ucap Marina dalam hati. Semakin lama ia berpikir semakin gelisah dirinya, raut wajahnya berubah-ubah. 

Ada pertentangan batin di hatinya, marah, benci, iba, cinta dan sayang semua jadi satu. Akhirnya ia memejamkan mata  seolah ingin berkosentrasi mendengar kata hatinya, terdengar sayup suara Binarti bersenandung sambil menyapu di dalam rumah.   Tiba-tiba matanya mendelik sepert baru siuman, ia seperti baru mendapatkan roh kehidupanya lagi. 

Berpikir itu adalah proses pencerahan dan tak bisa dipungkiri berpikir butuh waktu dan perasaan, saat itu juga ia bangkit dari duduknya yang panjang melangkah dengan semangat masuk ke dalam rumah. Sebuah senyuman keteguhan hati terukir diwajahnya, sudah tiba waktunya ia menyapa kembali dunianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun