[caption caption="Photo: Sampul album perdana Emillia Contessa tahun 1978. Lagu "Didia Rokapphi", pertamakali dinyanyikan.
Gambar album cassette diambil dari langgam.com"][/caption]
(Photo: Sampul album perdana Emillia Contessa tahun 1978. Lagu "Didia Rokapphi", pertamakali dinyanyikan. Gambar album cassette diambil dari http://langgam.com)
Legenda?
Bila kita bicara legenda, yang terpikirkan oleh kita adalah "kisah cerita tentang sesuatu”, atau tentang sebuah hasil karya yang bercerita, atau bisa juga tentang sebuah kisah yang menjadi hidup karena diceritakan secara turun temurun.
Biasanya ada bentuk fisiknya yang kemudian menjadi ikon bagi cerita tersebut, ada sejarahnya, ada peninggalannya yang dapat dilihat atau dikunjungi, baik itu bersifat sebuah benda, sebuah tempat atau yang tercatat. Sebuah legenda itu biasanya diberi pengakuan secara resmi sebagai legenda. Baik oleh negara, masyarakat, komunitas dan lain sebagainya.
Tapi bagaimana bila bentuknya adalah sebuah lagu, sebuah karya seni suara dan seni musik, memang kita masih dapat melihat adanya sebuah lagu yang mendapat pengakuan secara resmi untuk dapat dijadikan symbol atau dianggap mewakili suatu tempat/daerah/sesuatu apapun itu maksudnya.
Yang kita bicarakan disini adalah sebuah karya seni suara dan musik yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu/lokal tetapi tidak mendapat penghargaan atau pengakuan secara resmi. Seperti lagu-lagu tua yang terus hidup dalam suatu masyarakat tanpa diketahui siapa penciptanya, yang telah dianggap atau diakui sebagai salahsatu penggambaran yang jelas tentang ciri dan atau karakteristik suatu adat/budaya pada daerah/wilayah tertentu. Lagu seperti itu terus hidup dalam sebuah komunitas masyarakat, kelompok, atau bahkan menyebar komunitas lainnya.
Seperti dalam berbagai kesempatan, bila seseorang atau kelompok orang sedang berkumpul untuk bernyanyi, maka lagu tersebut merupakan salahsatu lagu yang harus dinyanyikan dan pasti akan dinyanyikan dengan suara mereka yang paling merdu.
Pada masyarakat Batak, ada beberapa lagu yang sifatnya seperti itu, begitu terkenal sepanjang masa. Lagu-lagu yang melegenda dan begitu hidup dalam masyarakat Batak, seperti “Boru Panggoaran”, “Sai Anju Ma Ahu”, atau yang berbahasa Indonesia seperti, “Anak Medan” dan lain sebagainya.
Berbeda dengan lagu Batak lain seperti, “Lisoi”, “Inang”, “Butet”, “Sinanggar Tulo” dan seterusnya, yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai lagu daerah atau nasional.
Selain lagu-lagu yang disebutkan diatas, ada sebuah lagu yang juga abadi sepanjang masa, yaitu “Didia Rokapphi” karya Dakka Hutagalung. Lagu ini adalah salahsatu lagu yang terus “terpelihara” dan lestari dalam ingatan masyarakat Batak, yang pada kenyataannya, sering sekali dinyanyikan oleh banyak orang batak dari jaman ke jaman, dan dalam berbagai kesempatan. Memang, bernyanyi adalah salahsatu kesukaan masyarakat Batak secara umum.
Lagu “Didia Rokapphi” karya Dakka Hutagalung. Tidak banyak yang tahu sejarahnya. Tidak banyak pula yang tahu siapa Dakka Hutagalung si penciptanya.
Mungkin bagi mereka orang Batak yang mengalami masa muda di akhir tahun 70-80an akan tahu dan mengenalnya. Sekarang tidak banyak informasi tentang pengarang/pencipta lagu-lagu Batak ini.
Tapi ketika disatu masa, disatu tempat ada berkumpul orang-orang Batak, tua atau muda, dengan sebuah gitar, mereka akan menyanyikan lagu “Didia Rokapphi” sebagai salahsatu lagu yang dinyanyikan secara bersama-sama, dengan segala emosi yang mereka rasakan.
Begitu pula dengan para penyanyi Batak. Seperti “belum sah” menjadi penyanyi bila belum pernah menyanyikan lagu ini diatas panggung. Tidak peduli panggung apa dan bentuk panggungnya seperti apa. Selama itu adalah panggung, ada pemain musiknya, ada orang yang menonton. Maka penyanyi Batak tersebut, suatu waktu harus pernah menyanyikan lagu ini.
Tidak saja penyanyi Batak, bahkan orang Eropa pun juga pernah menyanyikannya dengan sangat indah dengan diiringi oleh orchestra di benua Eropa sana. Semua ini seolah-olah menggambarkan suatu kecintaan terhadap tanah Batak yang diwakili oleh alunan nada pada lagu tersebut.
Saya sendiri juga punya pengalaman tentang lagu ini. Saya sudah mendengarkannya sejak saya kecil. Orangtua saya, terutama ibu saya senang mendengarkan musik. Dan lagu ini harus ada dalam kaset campuran lagu Batak itu diputar (jaman kaset). Begitu pula pada masa itu, ketika membeli kaset lagu2 Batak, harus ada lagu tersebut dalam list lagu, baru kita yakin kaset tersebut berisi kumpulan lagu-lagu batak yang bagus.
Menjelang remaja, tidak lagi lagu itu terdengar. Tapi ketika kuliah, dengan para sahabat yang kebetulan bersuku Batak. Kami seolah-olah seperti “bertemu kembali setelah sekian lama tak jumpa” ketika lagu ini kami nyanyikan bersama-sama diwaktu luang sewaktu kami menunggu jam kuliah.
Sebuah semangat, sebuah rindu, sebuah curahan hati yang ingin disampaikan akan turut tertuang bersama kami menyanyikannya. Itulah yang kami rasakan. Walaupun kami tidak mengalami hal yang sama seperti yang terkandung dalam lirik lagu tersebut.
"Didia Rokkaphi" karya Dakka Hutagalung ini, dinyanyikan pertama kali oleh Emilia Contessa pada album pertamanya ditahun 1978. Sejak lagu ini tercipta dan mulai terdangar diblantika musik Indonesia, telah banyak penyanyi dan band musik menyanyikannya, bahkan dalam berbagai versi, mulai dari hanya dengan sebuah gitar, sampai orchestra lengkap didalam dan diluarnegeri.
Didia Rokaphi. Ya. Sebuah lagu berlirik bahasa Batak, mengisahkan tentang seorang anak yang mengeluarkan isi hatinya karena belum juga mendapatkan jodohnya. terasa sekali bagaimana gelisahnya anak tersebut terhadap situasi yang dialaminya.
Apakah benar demikian? Sepertinya setiap orang berhak menilainya. Tapi apabila kita ingin mengungkapkan kerinduan, kecintaan terhadap tanah batak. Siapapun dia. Kalau tidak menyanyikan lagu ini. Sepertinya ada yang kurang. Boleh tanya siapapun orang batak soal ini.
Lirik yang mengandung kerinduan mendalam pada jiwa orang Batak terhadap kampung dan budayanya, sedalam itukah kekuatan lagu ini?
Banyak orang akan (juga) berpikir, “Ah… mungkin karna kalian yang menyanyikannya belum dapat pacar atau jodoh,makanya seolah-olah kalian sedang “curhat” melalui lagu ini”. Mungkin juga seperti itu. Tapi lagu ini, baik lirik maupun nada demi nada, disatu sisi begitu mewakili hati orang Batak yang ingin mendapat pasangan.
Itu disatu sisi. Tapi ada sisi lain, ada semacam “permainan emosi” dalam lagu ini. Terlepas yang mendengarkannya sudah punya jodoh atau belum. Rangkaian nada-nada yang dinyanyikan seolah-olah membangun sebuah perasaan kesendirian yang kemudian dilantangkan. Dilepaskan. Ada suatu perasaan yang teriris rindu terhadap kampung halamannya, tapi tetap bergegap gempita dan semangat ingin menyampaikannya. Sebuah gambaran sekilas tentang karakter orang batak. Kurang lebihnya begitu.
Itulah gambaran tentang lagu ini, ketika dinyanyikan, yang tentu saja akan terasa berbeda bila bukan orang Batak yang menyanyikannya. Tetapi, apa yang terjadi bila, beberapa orang yang bukan Batak, bahkan bukan orang Indonesia, juga bisa mencintai lagu ini dari banyak lagu Batak yang ada? Kenapa bisa seperti itu?
Dan satu hal lagi, apakah ada yang menjadi bosan dalam mendengar lagu ini? Tidak.
Saya pribadi tidak pernah bosan menyanyikan lagu itu. Setiap kali saya ingat dan ingin bernyanyi, entah dikamar mandi, nongkrong dengan teman, atau di acara resmi yang sudah kita putuskan akan nyanyikan lagu tersebut. Maka mulai dari nada pertama, suara yang keluar akan berusaha sebagus-bagusnya. Dan perasaan-perasaan seperti diatas otomatis akan terasa lagi, dan lain sebagainya.
Terkadang saya berpikir, apa yang ada dipikiran seorang muda Dakka Hutagalung pada saat dia menciptakan lagu itu di tahun 1978, sampai bisa mengarang lagu seindah ini.
Seni apapun yang tercipta, bila diterima oleh masyarakat, serta tidak hilang termakan jaman, itu berarti sebuah mahakarya. Sebuah ciptaan yang mampu mewakili perasaan banyak orang. Hal seperti ini banyak contohnya didunia barat sana. Begitu juga dari tanah Batak.
Dan apakah lagu ini menjadi salahsatu lagu yang masuk dalam kategori tersebut diatas?
Didia Rokapphi walau bagaimanapun juga belumlah bisa kita sebut sebagai lagu rakyat, atau lagu daerah, yang akhirnya menjadi salahsatu produk khas sepanjang masa untuk melengkapi penjelasan karakteristik budaya dan seni Batak. Karena lagu ini lebih bersifat sebagai sebuah karya musik dan lagu yang lahir dari sebuah proses komersial (penciptaan-dan diekspos dalam sebuah proses penjualan album lagu) dalam industri musik dan lagu daerah atau nasional. Lagu inipun lebih bersifat lagu pop yang kemudian mendapat tempat di hati masyarakat Batak sampai sekarang.
Kurang lebihnya memang lagu ini semakin mendekat kepada sebuah status lagu daerah atau lagu rakyat Batak karna adanya penerimaan dari masyarakat Batak itu sendiri.
Berbeda dengan lagu-lagu Batak lainnya yang akhirnya tercantum dalam daftar lagu daerah dalam seni nasional Indonesia, lalu apa yang menjadi ciri dari sebuah lagu sehingga lagu tersebut mendapat status sebagai lagu rakyat atau lagu daerah?
Definisi dari lagu daerah seperti yang dijelaskan pada sumber Wikipedia menyebutkan bahwa, Lagu daerah atau musik daerah atau lagu kedaerahan, adalah lagu atau musik yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menjadi populer dinyanyikan baik oleh rakyat daerah tersebut maupun rakyat lainnya. Pada umumnya pencipta lagu daerah ini tidak diketahui lagi alias no name.[1]
Dalam definisi diatas, memang sudah terpenuhi sebagai suatu karya yang berasal dari daerah tertentu dan popular, tetapi pencipta lagu ini diketahui.
Selanjutnya dijelaskan yang menjadi ciri-ciri sebuah lagu dapat disebut sebagai lagu daerah, yaitu sebagai berikut:
Lagu kedaerahan biasanya merujuk kepada sebuah lagu yang mempunyai irama khusus bagi sebuah daerah. Terdapat lagu-lagu kedaerahan yang telah menjadi popular diseluruh negara hasil penyiaran oleh radio dan televisi.
Beberapa ciri khas lagu daerah, antara lain sebagai berikut:[2]
1. Menceritakan tentang keadaan lingkungan ataupun budaya masyarakat setempat yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat.
2. Bersifat sederhana sehingga untuk mempelajari lagu daerah tidak dibutuhkan pengetahuan musik yang cukup mendalam seperti membaca dan menulis not balok.
3. Jarang diketahui pengarangnya.
4. Mengandung nilai-nilai kehidupan, unsur-unsur kebersamaan sosial, serta keserasian dengan lingkungan hidup sekitar.
5. Sulit dinyanyikan oleh seseorang yang berasal dari daerah lain karena kurangnya penguasaan dialek/bahasa setempat sehingga penghayatannya kurang maksimal.
6. Mengandung nilai-nilai kehidupan yang unik dan khas.
“Didia Rokapphi” jelas telah memenuhi sebagian besar unsur-unsur yang terjelaskan pada point-point diatas, karena selain itu juga, harmonisasi nadanya dapat dirasakan telah mewakili ciri khas dan kharakteristik seni dan budaya Batak.
Lalu bagaimana dengan lirik lagunya, dan pesan yang disampaikan dalam liriknya? mari kita lihat.
Didia Rokkap Hi (Dimana Jodoh ku?)
Intro
Verse 1
Aha namarsigorgor di roham (Apa yang membara di hati mu?)
Ale inang pangintubu (wahai bunda yang melahirkan(ku) )
Unang sai marsak ho (jangan lah bersedih (mulu) )
Unang sai tangis ho (janganlah menangis (lagi) )
Ai aha do hulaning alana (Apakah gerangan penyebabnya)
Paboa ma jolo (Katakanlah (dulu) )
Tu au anak hon mon (pada ku anak mu (ini) )
Verse 2
Pos roham (Yakin lah)
Naoloanku do sude (Semua (pasti) akan kuturuti)
Tung manang aha didok ho (Apapun yang kamu bilang)
Unang sai tangis ho (Janganlah menangis (lagi) )
Unang sai marsak ho (janganlah bersedih (lagi) )
Paboa ma jolo (Katakanlah (dulu) )
Tu au anak hon mon (pada ku anak mu (ini) )
Brigde:
Mangoli damang nimmu tu au ("Kawin lah nak" katamu padaku) *
Dang na so olo au inang (Bukannya aku nggak mau mama)
Alai didia rokkap hi (Tapi dimana jodohku?)
Didia rokkap hi (dimana (jodohku) ??)
Chorus 1
Nunga tung loja au (Aku sudah (begitu) capek)
Mangaluluii (mencarinya (jodoh) )
Dang jumpang au na hot di au (Aku tdk menemukan yang pas utkku)
So pambahenan na humurang (bukan (krn) perbuatan yg kurang (baik) )
Alai boasa ikkon sirang (Tapi kenapa harus putus? )
Ooooooo (ooo)
Chorus 2
Molo tung sapatama na sorop (Kalau lah ini (memang) karena karma yang hinggap )
Mambaen bogas hi gabe tarborot ( (yang) membikin hubungan ku selalu mentok )
Sapata nise on oppung O mula jadi nabolon ( (lalu) karma dari siapakah ini Tuhan?? ) **
Reffrain:
Paboa ma tu au (Beritahu(kan) lah sama aku)
Paboa ma tu au (Beritahu(kan) lah sama aku)
Didia rokkap hi (Dimana jodohku)
Didia rokkap hi (Dimana Jodohku)
Catatan :
* : damang – da amang --> arti sebenarnya adalah "bapak" --> tapi bisa juga merupakan panggilan sayang kepada anaknya.
** Oppung O mula jadi nabolon --> arti kasar "kakek yang pertama kali ada yang maha besar" --> bawaan dari kepercayaan batak dulu yang mengacu ke pencipta segala sesuatu --> sudah tidak dianjurkan untuk digunakan setelah mengenal agama modern)
Jenis lirik lagu yang ditulis lebih bersifat prosa bebas yang menggambarkan sebuah fakta yang biasanya ada/terjadi pada kehidupan sosial masyarakat adat Batak yaitu soal jodoh. Lagu ini menggambarkan sebuah pergulatan pikiran pada seorang anak laki-laki tentang bagaimana dia belum mendapatkan jodohnya, dan betapa dia ingin mendapatkan jodohnya untuk dapat membahagiakan orangtuanya (ibunya) kemudian memberikan dia seorang cucu. Tapi begitu sedihnya dia karna belum dapat jodoh juga, ditambah ketika dia mengingat ibunya yang bertanya kenapa belum juga mendapat jodoh.
Soal jodoh dalam adat Batak merupakan suatu hal penting bagi keluarga. Pada dasarnya baik untuk laki-laki maupun perempuan. Karena bila berbicara soal jodoh, berarti berbicara soal menikah, lalu tentang keturunan atau anak. Bagi masyarakat Batak kehadiran seorang anak atau cucu merupakan segala-galanya bagi suatu keluarga.
Anak yang dilahirkan, dan kemudian menjadi cucu, adalah bagaikan sebuah lambang keberhasilan bagi keluarga Batak dalam berketurunan.
Kebanggaan bagi orangtua ataupun kakek-nenek yang mempunyai (terutama) keturunan baru adalah ketika dalam lingkungan sosial keluarga besar Batak mereka tidak lagi dipanggil nama asli mereka. Tapi dipanggil sebagai orangtua si anak. Atau kakek nenek si cucu.
Maksudnya adalah nama mereka tidak akan disebut lagi. Tapi disebut sebagai bapaknya si nama anak, ibunya si… nama anak. Atau kakeknya si…nama cucu, neneknya si…nama cucu. Biasanya nama anak pertama atau cucu pertama.
Itulah sebuah cita-cita setiap keluarga Batak dalam hal berketurunan, sehingga, jodoh merupakan hal yang sangat penting. Apalagi bila umur sudah memungkinkan untuk menikah.
Kesedihan seorang ibu, dalam lagu ini. Mengarah kesana. Betapa dalam lagu ini, dia begitu menginginkan adanya seorang cucu. Yang dikemudian harinya, ia akan dipanggil “neneknya si…..nama cucu”. Kebanggaan itu yang begitu dirindukan oleh si ibu.
Untuk si anak. Dalam lirik lagu ini memang tidak disebutkan jenis kelaminnya. Tapi, bila disebut dalam bahasa Batak adalah “anak” biasanya itu adalah laki-laki, karna untuk perempuan biasa disebut “boru”. Dan disalahsatu kalimat liriknya kemudian, sang ibu juga memanggilnya “Damang” (sebenarnya adalah Da Amang, tapi disingkat menjadi Damang untuk penyesuaiannya dengan harmonisasi nada lagu) pada kalimat lirik, “Mangoli damang nimmu tu au”. Da Amang ini artinya adalah ya ayah/bapak, adalah sebuah panggilan terhadap anak pertama laki-laki, karena anak pertama laki-laki dianggap sebagai pengganti dari Bapaknya. Dan biasanya disebut sebagai, “si Panggoaran” yang menjadi penerus marga, pembawa marga, atau pemimpin keluarga dari keluarga besar dari marga tersebut.
Sehingga kemudian dapat disimpulkan dalam lagu ini, si anak tersebut adalah anak laki-laki pertama. Karena digambarkan begitu sedihnya sang ibu dalam memikirkan anaknya yang belum mendapat jodoh.
Akan sangat berbeda dalam hal ini kesedihan orangtua bila anak laki-lakinya yang pertama belum mendapatkan jodohnya, dibandingkan anaknya yang lain sesudah anak pertama.
Mungkin disitulah letaknya bagaimana lagu ini kemudian menjadi popular, mengingat dalam lingkungan kehidupan orang Batak, persoalan ini merupakan persoalan yang sangat umum terjadi. Persoalan yang sering berada dihati orangtua, maupun anak laki-lakinya yang belum mendapat jodoh. Sehingga lagu ini sedemikian rupa menjadi sebuah media untuk curahan hati bagi si penyanyinya. Selain sebagai lagu nostalgia dan lagu yang popular di masyarakat Batak.
Komposisi nada yang ada pada lagu ini juga sedemikian menariknya. Secara utuh, lagu ini menjadi “masuk” pada aliran slow rock. Yang membawa perasaan menjadi begitu dalam untuk merasakan kesedihan itu, yang kemudian berusaha untuk dilepaskan secara emosional, disamping harmonisasi nadanya yang begitu kental dengan warna dan karakteristik seni musik/seni suara dalam budaya Batak.
Hal ini tentu saja, selain dapat dikatakan bahwa lagu ini memang enak didengar, bagi penyanyi dan atau pemusik, komposisi nadanya pun juga merupakan satu tantangan tersendiri dalam menyanyikannya, bagaimana sebuah lagu yang tidak konstan nada dan temponya atau bisa dibilang melodius, malah dapat membuat para pendengar semakin larut dalam perasaannya masing2 ketika mendengar lagu ini.
Dapat kita dengar pada lagu ini, dimulai pada intro, verse 1 dan verse 2. Rangkaian nada dan liriknya seperti menjadi satu gambaran, betapa sebuah perasaan yang meminta kepastian terhadap apa yang menjadi pertanyaan pada perasaan seorang anak ketika melihat si ibu yang seperti sedang sedih melihat anaknya, walaupun sang anak juga punya perasaan yang sama, dan mereka ternyata memang sedang sama perasaannya tentang si anak yang belum mendapat jodoh.
Rangkaian nadanya, juga begitu komunikatif. Sehingga dapat dirasakan seperti terdengar berbicara. Rangkaian nadanya pun, menjadi begitu familiar terdengar, karena seperti sebuah bangunan nada yang berkarakteristik pada komposisi nada pada lagu-lagu/musik-musik Batak yang selama ini ada.
Pada brigde juga demikian, tetapi dapat dirasakan seperti sebuah plot komposisi nada yang mengejar, Lalu kembali bertempo pelan, dan selanjutnya nada semakin tinggi dan bertempo lebih cepat.
Mungkin pada waktu Dakka Hutagalung mencipta lagu ini tidak berpikir sampai jauh, bagaimana ketika mencipta lagu yang indah harus merangkai nada yang mampu memainkan emosi pendengarnya. Mungkin pada waktu itu, beliau sedang mengungkapkan perasaannya saja melalui sebuah lagu yang diciptakannya. Siapa yang tahu.
Tapi apakah Dakka Hutagalung pernah menduga, lagu yang dia ciptakan mampu bertahan sampai puluhan tahun kemudian?
Lalu, bagaimana masyarakat Batak menyikapi karya emas seperti lagu yang pernah diciptakan oleh seorang Dakka Hutagalung, dan pencipta lagu Batak lainnya yang telah menciptakan berbagai karya emas dan mampu bertahan sampai puluhan tahun kemudian?
Apa bentuk penghormatannya?
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Lagu_d...
[2] ibid
� z�v���
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI