Pagi ini, aku ingin berkunjung terlebih dahulu ke rumah pamanku di Denpasar, sebelum kembali ke Jakarta. Setelah malam tadi ada sedikit kelegaan hati, sebab kejujuran yang telah kusampaikan. Meski, seperti yang dia katakan, aku harus tetap berusaha melupakan semua. Aku tahu, aku berjanji dalam hati untuk ini. Demi kebahagiaannya. Bersama suami dan anak-anaknya yang pasti lucu-lucu, keluarga yang utuh. Jangan sampai, itu terganggu oleh ibanya Rita padaku, yang sampai kini masih memimpikannya.
Beranjak ke kamar mandi, aku tertegun. Mengusap mata seolah tak percaya. Di meja makan telah tersaji secangkir kopi kesukaanku. Apalagi, sosok wanita yang duduk di sana. Rita, sepagi ini dia telah menyajikannya.
“ Segeralah mandi, Mas. Lalu ngopi dulu sebelum kuantar ke bandara..”
Tak kuikuti sarannya. Bukannya ke kamar mandi, tapi aku bergegas duduk di hadapannya.
“ Rit. Maaf, bukan tak menghargai niat baikmu. Tapi, apa kata suamimu kalau dia tahu, istrinya subuh-subuh kemari hanya untuk menyeduhkan kopi?”
“ Hm. Aku belum bersuami, Mas..”
“ A..apa? Kekasih?”
Rita menggeleng. Tersenyum murung.
“ Lalu. Kenapa kau bilang aku harus tetap melupakanmu?”
“ Demi kebahagiaanmu, Mas..”
“ Rit, kau harus tahu juga. Sebelum kedua orang tuaku meninggal, mereka akhirnya mengikhlaskan aku untuk memilih, wanita mana pun menjadi istriku, termasuk juga kamu..”