“ Tidak, kok. Rileks saja, Pak Surya. Ini sudah biasa”
Rileks saja? Sudah biasa? Arrgh! Jika saja aku bisa sepertimu, tak akan sesulit ini, Rita. Kau bisa rileks, aku sulit. Kau sudah biasa. Bagiku pun hal seperti ini juga biasa. Tapi denganmu sulit menjadikannya hal biasa.
“ …Baiklah..”, hanya itu jawabku. Kelu.
***
“ Kita ketinggalan sunset, Mas Surya…”
Astaga! Suara merdu itu,.. membuyarkan lamunanku sebelumnya. Bukan hanya itu. Tapi, panggilan itu. Itu…,..sapaannya padaku,..seperti tujuh tahun yang lalu.
“ Maaf, …Bu Rita..,..anda…?”
Dia tertunduk. Rona-rona merah itu menjalar di wajahnya. Meski samar, diterpa cahaya lilin yang menari-nari oleh godaan angin pantai.
“ Kalau saja kita datang lebih awal, kita akan melihat mentari yang tenggelam, indah sekali, Mas..”
“ …Begitukah…?” ada yang bertalu-talu di dadaku. Membuatku ragu, apakah aku harus mengeraskan hatiku seperti batu ataukah mencairkannya seperti embun yang tersentuh mentari pagi.
“Mas,…menurutku, sekarang tak perlu formalitas lagi. Tugasmu sudah selesai. Sudah cukup seminggu ini aku menjadi artis”.