Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Hati untuk Satu Cinta (Bagian 12)

1 Februari 2022   20:13 Diperbarui: 1 Februari 2022   20:14 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 3 Hati 1 Cinta, Sumber : https://statik.tempo.co/data/2016/10/24/id_550027/550027_620.jpg

Semua bermula tanpa pernah kusadari dan kini aku tak tahu bagaimana cara mengakhirinya

Beberapa hari terakhir ini semuanya pada sibuk. Aku sibuk dengan urusan kantor. Ratih sibuk bolak-balik Jakarta-Bandung dengan proyek konveksinya. Maya juga sibuk dengan bakery milik keluarganya. Tadinya Maya sempat juga berkeinginan kembali bekerja pada perusahan tempat kami dulu sama-sama bekerja.

Saya sempat merasa khawatir. Bukan apa-apa, kalau saya pas tugas ke Surabaya, "Teraphy 10 detik" di masa lalu takut terulang kembali. Untunglah Maya mengurungkan niatnya itu. Ia kini malah sibuk ke Bali untuk membuka cabang baru di sana.

Sudah dua hari ini Ratih ke Bandung dan rencananya balik sore ini. Aku sudah kangen betul sama dia. Eh, poetjoek ditjinta oelam tiba. Tiba-tiba Ratih menelfonku, "Hai kamu di mana sayang?"

"lagi di kantor, mau pulang. Kamu di mana sayang?"

 "Aku di rumah, nyampe siang tadi dianter Vicky. Ini Vicky barusan pulang."

"Hah, Vicky? Ngapain dia nganter kamu? Dia kan kerja?"

"Ya kebenaran aja dia mau ke Jakarta, yah sekalian aja aku nebeng dia gitu."

"Vicky ini aneh ya, pasti ada maunya ini anak. Kan dia kerja, koq sempat-sempatnya nganter kamu ke Jakarta."

"Yah gak aneh, wong kerjaannya juga Bandung-Jakarta. Yang aneh itu malah kamu Bram?"

"Lha, koq malah aku yang aneh? Kamu juga aneh, mosok ada hal aneh gak dianggap aneh?"

"Halah, aku malas debat, cape! Ntar aja deh kita ngobrol lagi." Tik! hape dimatikan!

Duh Gusti, nyonya besar marah! Baru sekali ini hape dimatikan, padahal aku masih mau ngomong! Nanti dianggapnya pula aku sengaja cari berantem dengannya. Aku buru-buru nelfonnya, "Hai sayang, maafin aku ya, jangan marah dong." Hape diangkat, tapi tidak ada suara. Nah!

"Kamu sih, akhir-akhir ini ngajak berantem mulu. Aku lagi cape Bram, males debat."

"Iya deh, maafin aku ya sayang. Kamu mau apa, biar nanti aku beliin trus aku samperin ke rumah."

"Gak usah Bram, aku gak perlu apa-apa." Hening sejenak, "Eh Bram, kamu mau gak makan malam di sini, biar aku masakin sop ayam jamur kesukaan kamu."

Duh Gusti poetjoek ditjinta kelamboe tiba. "Mau, mau aku otw ya!"

"Hahah, gitu dong. Ya udah hati-hati di jalan ya, daag."

Wajar dong kalau aku kesel sama Vicky. Aku sendiri belum pernah diajak Ratih ke rumahnya. Nah Vicky ini bisa seenak udelnya saja datang ke rumah Ratih. Kalau mau buat kopi, ia malah menyeduh sendiri di dapur. Pas nanti mau pulang dia cuci gelasnya sendiri. Kan kurang adjiar, seperti di rumahnya sendiri saja!

Setelah diberitahu Ratih, aku akhirnya bisa mengerti. Vicki dan Ratih ini memang sudah berteman sejak SMP, dan keluarga mereka juga sangat dekat.

Ketika Ratih dan Armand menikah dan sedang mencari rumah, justru Vickylah yang mencari rumah yang ditempati Ratih sekarang ini. Kebetulan rumah tersebut adalah rumah saudara Vicky yang hendak dijual.

Tetangga sebelah rumah Ratih juga adalah saudara Vicky, dan Vicky juga sering main ke rumah Ratih sejak dari awal pernikahannya dengan Armand. Itulah sebabnya Vicky santai-santai saja kalau main ke rumah Ratih.

Sementara aku ini pacaran dengan Ratih ala backstreet! Amsiong, kayak anak SMA saja! Bukan apa-apa, gosip yang beredar aku, Ratih dan Armand dulu terlibat cinta segi tiga. Armand kemudian keluar sebagai pemenang dan kemudian menikahi Ratih. Nah setelah Armand meninggal, lalu aku hadir mengendap-endap seperti kucing garong untuk mendekati Ratih. Pantas saja Ratih tak mau terlihat di depan khalayak ramai bersamaku.

Apalagi stigma janda itu masih tertanam kuat, mosok belum setahun suami meninggal sudah CLBK dengan mantan? Padahal memang iya, ojo ngapusi! Tapi ini perlu klarifikasi. Tidak ada CLBK karena aku memang tidak pernah pacaran dengan Ratih. Kalau gebetan ya jelas iya. Jadi lebih tepat kalau dikatakan, "ketemu gebetan lama lalu kesetrum!" Tapi apapun itu, hatiku kini sangat senang. Makanannya enak terutama karena atmosfirnya sangat berbeda.

"Kenapa senyam-senyum, masakanku kurang enak ya?"

"Oh enggak, enak koq. Enak banget malah! Mmmm.. aku boleh minta request?"

"Kayaknya aku udah tahu deh, tapi kamu ngomong aja dulu." kata Ratih sambil tersenyum

"Aku boleh bobo di sini?"

"Nah, kan...hahaha. Nggak boleh sayang, sabar ya. Besok aku janji nginap di apartemen kamu, ok?"

"Iya deh."

"Enggak apa-apa kan? Kata Ratih sambil memegang tanganku.

"Ya gapapa dong, setidaknya aku udah ngomong apa yang aku mau, hahaha"

"Hahahaha, gitu doongg. Thanks untuk pengertiannya sayang." Ratih kemudian memelukku.

"Ya udah aku pulang ya, supaya kamu juga bisa istrahat, thanks makan malamnya sayang."

***

Habis mandi badanku seger kembali. Dengan mengenakan handuk, aku kemudian mengamati diriku di cermin. Wah perutku sudah mulai terlihat membesar, gawat! Keseksian seorang lelaki itu berbanding terbalik dengan besar lingkar perutnya. Semakin besar lingkar perutnya, semakin tidak seksi lelaki tersebut. Sebaliknya semakin kecil lingkar perut maka semakin seksi pula lelaki tersebut, hahaha.

Aku harus nge-gym ini supaya perut mengecil lagi. Tapi sebenarnya aku kapok nge-gym. Kemarin di gym Surabaya, cowo-cowonya kekar seperti Deddy Corbuzier. Tapi suka megang-megang, dan main mata lagi. Ihh.. aku merinding. Mending lari atau berenang saja deh.

Aku kemudian meletakkan hape di nakas, lalu berbaring di ranjang sambil memeluk guling. Rasanya enak banget setelah lelah seharian bekerja. Makan malam di rumah Ratih tadi sangat berkesan bagiku, membuat suasana kaku akhir-akhir ini menjadi lebih hangat.

Entah kenapa sejak "pengakuan" tiga minggu lalu itu, semuanya menjadi berbeda. Sibuk? ya kami bertiga memang semuanya sibuk, entah kebetulan atau bagaimana.

Akan tetapi kami bertiga sepertinya seakan membuat jarak satu sama lain. Anehnya Ratih tidak pernah bertanya perihal Maya, dan sebaliknya Maya juga tidak pernah bertanya soal Ratih. Agak aneh memang, mengingat ketidaksukaan mereka satu sama lain yang ditumpahkan kepadaku.

Terhadap Maya memang aku sengaja membuat jarak. Ketika kemarin aku tahu Maya berangkat ke Bali, maka aku segera berangkat ke Surabaya. Berangkat Senin pagi dan pulang Selasa malam, last flight, supaya menginapnya satu malam saja.

Sialnya aku berpapasan dengan Maya di bandara. Aku hendak berangkat ke Jakarta, Maya baru tiba dari Bali. Maya pastinya tahu kalau aku memang sengaja mengelak dari dia. Feeling perempuan itu memang tajam, dan sialnya aku tak pandai pula bersandiwara.

Tatapan matanya seakan merobek hatiku. Tidak seperti Ratih, tatapan mata Maya sangat memelas. Apalagi aku hampir tak pernah melihatnya bersedih.

Aku tak kuasa menahan rasa ketika ia bertanya, "Kamu gak kangen sama aku?"

Aku kemudian memeluknya, "aku kangen banget sama kamu." Untung aku tidak menangis karena aku sebenarnya sangat rindu padanya. "Ya udah aku balik besok aja, kita makan malam dulu ya?"

"Enggak usah Bram, gak usah buang duit. Yang penting aku tau kalo kamu memang masih kangen sama aku." kata Maya sambil menyeka air matanya.

Duh Gusti, kenapa akhir-akhir ini banyak sekali air mata yang harus tertumpah. Aku sekali lagi memeluknya agar ia tahu apa yang kurasakan. "Iya deh, kalo gitu aku pamit dulu ya, minggu depan aku datang lagi. Kita ngobrol lama ya sayang, ummach." Aku mencium pipinya dan kemudian berlalu dengan membawa air mata yang jatuh membasahi pipiku.

Duh Gusti, aku ini memang lelaki lemah yang tak berguna dan tidak bisa bersikap! Sampai kapan drama ini akan berakhir? Aku tadinya sudah memilih Ratih, tapi tak pernah mampu untuk menjauh dari Maya.

Bagaimana aku bisa berbicara kepada Maya kalau melihatnya menangis saja hatiku sudah teriris! Persetan dengan orang-orang yang mengatakan aku harus bersikap tegas. Mereka kan tidak merasakan apa yang kurasakan! Mereka hanya melihatnya dari unsur seksualitas dan ego semata.

Kalau hanya urusan seks, mendingan aku cari cabo saja. Bahkan di gedung perkantoranku saja banyak cewe kantoran yang mau diajak untuk bersenang-senang tanpa harus ribet dengan adanya ikatan.

Namun aku bukan orang gituan, emangnya aku cowo apaan? Aku bukan cowo yang gampang ditowel-towel, lalu diajak dugem untuk kemudian berakhir di hotel jam-jaman. Acha? Nehi babuji!  

Aku ini hanya lelaki bodoh yang terjebak dalam perasaannya sendiri. Semua bermula tanpa pernah kusadari dan kini aku tak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Aku bukan lelaki yang merasa bangga kalau bisa memiliki dua atau tiga pacar. Bukan, karena tak pernah terbersit dipikiranku untuk memiliki dua pacar pada saat yang bersamaan.

Duh Gusti, bantulah hambamu yang celaka ini. Jangan siksa hambamu dengan rasa ini. Kini aku rindu sekali kepada Ratih, padahal kami baru saja bertemu. Aku ingin menelfonnya tapi saat ini sudah jam dua dini hari.

Aku juga rindu kepada Maya. Kemarin malam kami bertemu di bandara dan aku berjanji untuk menelfonnya setiba di Jakarta, tapi aku belum menelfonnya hingga saat ini.

Jam dua pagi, aku tidak bisa tidur dan rindu sekali kepada Ratih dan Maya. Belum pernah aku merasakan hal seperti ini. Aku tidak tahu mengatasinya selain dengan cara menangis sambil memeluk guling.

(Bersambung)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun