"Kalau menyangkut laki-laki, perempuan itu memang bisa kejam terhadap perempuan lainnya."
Sore ini aku sedang dalam perjalanan ke rumah untuk mengantar ibu. Rupanya bapak ada urusan mendadak sehingga tidak bisa menjemput ibu dari arisan. Kebetulan aku sedang santai sehingga bisa menjemput ibu dan tante Rina, teman ibu.
Tanpa sengaja aku mendengar suara tante Rina berkata dengan ketus, "Yolanda itu kan janda mbak, yah kurang pantes dong nanti kalau rapat dengan Pak Ronald?"
Aku kaget mendengarnya karena sependek pengetahuanku tante Rina ini adalah janda juga! Setelah menurunkan tante Rina di sebuah toko roti, akupun tak sabar lagi untuk bertanya kepada ibu. "Bu, kenapa sih tante Rina itu sewot banget dengan mbak Yolanda? Nyebut-nyebut janda, padahal ia kan janda juga?"
"Halah kamu mau tau aja urusan perempuan!" kata ibu sambil tertawa. "Jadi begini, ada stigma kalau seorang janda itu dianggap kurang pantes kalau dekat-dekat dengan seorang lelaki. Apalagi kalau lelaki itu punya istri. Stigma yang selalu menganggap kalau janda itu bisa jadi pelakor, hahaha." ibu tak bisa menahan tawanya, sementara aku tetap bingung.
"Lha, tante Rina itu kan janda juga bu, kenapa ngomong gitu sama mbak Yolanda?"
"Kayaknya tante Rina suka deh sama pak Ronald yang duda itu. Trus Yolanda kan jauh lebih muda dan lebih cakep. Yo wes, kamu sudah ngerti tah kemana arahnya? Kalau menyangkut laki-laki, perempuan itu memang bisa kejam terhadap perempuan lainnya!"
Duh Gusti, kini aku baru mengerti mengapa Ratih terlihat sangat berhati-hati ketika berada di ruang publik. Yah, karena "stigma janda" tadi. Aku jadi ingat ketika dulu tante Clara pernah menginap di rumah kami. Tante Clara ini seorang janda dan masih termasuk sepupu ibu. Lima hari tante Clara di rumah kami, ibu yang biasanya kemayu bak Putri Solo itupun "keluar tanduknya." Esoknya tante Clara pulang ke Semarang.
Gara-gara stigma janda itu pula aku jadi repot, tidak bisa bebas pacaran. Mau nonton takut. Mau makan bakso di tempat gaul, gak enak dilihat orang. Akhirnya kami lebih sering nongkrong di apartemen mungilku itu. Kan jadi nganu!
***
Siang itu aku makan siang dengan Vicky, sohib zaman kuliah dulu. Vicky, Armand, Togar, Iqbal, aku, Yanti dan Ratih adalah teman geng sejak SMA hingga kuliah. Hanya saja pada semester lima aku cabut ke Surabaya, dan mereka ini tetap bersama hingga wisuda.
Setelah Armand dan Ratih menikah, Vicky kemudian menikah dan tinggal di Surabaya. Beberapa kali aku dan Maya bertemu dan kemudian jalan bareng dengan Vicky dan istrinya. Sayang pernikahan mereka kandas beberapa bulan sebelum keberangkatan Maya ke Australia. Â Kini Vicky tinggal di Bandung.
Aku sebenarnya sudah bisa menebak kemana arah pertemuan kami ini. Benar saja, tak lama kemudian Vicky berkata dengan wajah serius, "Jadi gini bro, Armand kan udah setengah tahun lebih pergi ninggalin kita. Nah, Ratih kan sekarang sendiri. Gue juga kan udah dua tahun sendiri. Nasehat bijak orang tua zaman dulu itu mengatakan, gak baik kalau orang sendiri-sendiri. Banyak godaannya. Jadi elo-elo sebagai teman harus bantuin gue dong supaya gue bisa jadian sama Ratih."
"Apaan sih, yang di Tanah Kusir aja belom kering makamnya, elo udah cerita mau kawin sama Ratih!"
"Bukan gitu bro, gue bukan mau kawin sekarang. Dua tahun lagi juga gapapa, yang penting jelas."
"Jelas, maksudnya apa?"
"Yah situasinya kan agak rumit bro. Gue itu suka banget sama Ratih, dan Ratih sukanya sama elo, tapi Ratih malah kawinnya sama Armand! Nah sekarang Armand kan udah gak ada bro.
"Trus?"
"Elo kan udah punya Maya yang cakepnya gak ketulungan itu. Artinya gue kan gak ada masalah lagi kalau mau mendekati Ratih.
"Gue udah putus sama Maya."
"Hah! Kapan?"
"Udah hampir dua tahun. Maya sekarang kuliah di Australia."
Vicky kemudian menatap wajahku dalam-dalam. "Elo pasti ada niatan mau CLBK kan?
"CLBK apaan? Gue gak pernah pacaran sama Ratih!"
"Jangan boong bro, Yanti sendiri yang bilang ke gue!"
"Lah, kapan gue pacarannya? Ketika kalian dulu traveling, Armand kan masih pacaran sama Ratih. Trus gue ikutan POMNas di Banjarmasin. Abis itu langsung pindah ke Surabaya."
 Vicky tampak manggut-manggut, "Baguslah kalo gitu, berarti gak ada masalah kan bro?" katanya lagi. Tampaknya ia antara percaya dan tidak percaya. "Yah kalo gitu elo harus dukung gue dong" rengeknya lagi sambil menarik-narik lenganku.
"Hmm" seringaiku dengan nada males!
Matahari sudah bersembunyi di ketiak malam saat aku membuka pintu apartemen. Aku mencium aroma makanan yang tampaknya lezat. Tiba-tiba dari balik pintu kamar keluar seseorang sambil berseru, "Tara!"
Aku pura-pura kaget dengan mulut terngaga, lalu kemudian tertawa.
"Eh, kamu kemarin masukin kunci apartemen kamu ke tasku ya? Tadi aku belanja ke super market, trus masakin sop ayam jamur buat kamu."
Aku menatap sosok lucu Ratih yang baru saja mandi. Rambutnya masih basah. Ia memakai kaos dan celana pendekku yang tampak kegedean baginya.
"Kamu pasti laper kan, hayu cuci tangan dulu."
Aku kemudian menarik dan memeluknya. Bukan aroma sup ayam yang ditabur dengan bawang goreng itu yang membuatku laper, tapi aroma ketiak Ratih plus ketika aku membayangkan wajah songong Vicky.
Aku kemudian memepetnya ke tembok, persis seperti ketika ia dulu memepetku ke tembok kamarnya. "Menurut kamu siapa yang lebih cakep, aku atau Vicky?"
"Koq Vicky sih?"
"Eh aku atau Rocky Gerung?" Aku sengaja menyebut Mr RG supaya tidak ketahuan kalau aku cemburu.
"Pasti Rocky Gerung dong, hahaha." Ratih tertawa lalu kemudian mencium bibirku.
Apartemen kecil yang biasanya sunyi itu kini jadi gaduh dengan tawa cekikikan, sampai kemudian sebuah notifikasi menarik perhatianku. Ternyata dari satpam, "Malam pak Bram, nuwun sewu, kebetulan lewat, ada suara-suara berisik. Apakah semuanya baik-baik saja?"
Aku lalu membalas, "Malam mas, semuanya aman-aman saja. Kebenaran ada nyonya baru mas"
"Oh gitu, oke oke pak Bram, monggo dilanjutkan, tadi siang saya juga sudah kenalan dengan nyonya barunya. Izin mau ngider dulu pak Bram."
"Monggo mas"
Aku kemudian berdiri untuk memeriksa pintu depan. Ternyata pintunya tidak tertutup rapat, pantesan! Aku kemudian menutup dan menguncinya. Jancok tenan rek!
"Kenapa Bram?" Tanya Ratih keheranan.
"Anu, tadi pintunya ternyata agak nganu."
Â
Badanku terasa seger sehabis mandi. Perutpun sudah "adem" diisi dengan sop ayam jamur buatan Ratih. Sopnya enak. Clear dan light, rasanya pas di lidahku yang tak terlalu suka dengan sop yang rasanya kaya dengan bumbu/rempah. Â Atau jangan-jangan bukan karena sopnya, melainkan siapa yang buat sopnya!
Aih, aku jadi malu kepada cicak-cicak yang merayap di dinding.
Ratih berbaring santai di atas pahaku yang selonjoran sambil nonton televisi. Sesekali aku membelai rambutnya yang tergerai di atas pahaku.
"Bram, gak kebayang ya kalau akhirnya kita bisa berduaan lagi kayak gini. Kamu pernah ngebayangin gak?"
"Jujur sih enggak, sama sekali enggak! Tapi jalan hidup, kita gak pernah tau ya?"
Ratih kemudian memeluk tangan kiriku, "Duh Bram, aku seneng banget, seneeeeng banget."
"Aku juga. Seperti mimpi yang susah digapai, but our dreams come true." Aku kemudian berbaring di sisinya dan kemudian memeluknya. Aku kemudian menyeka air matanya, dan melihat bayangan wajahku di kedua bola mata indah itu. Duh Gusti!
***
Tanpa terasa sudah setahun Armand pergi meninggalkan kami. Akhir-akhir ini aku dan Ratih sangat sibuk dan jarang bertemu. Sepertinya Ratih punya proyek baru bersama teman-temannya. Aku sendiri tidak sempat menanyakannya karena sibuk bolak-balik Jakarta-Surabaya. Sepuluh hari tak bertemu rasanya kangen betul, dan baru siang ini kami bertemu untuk makan siang bersama.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. "Kita ke apartemen aja deh, aku capek banget, tadi bangunnya pagi banget." kataku pada Ratih.
"Iya, aku juga capek banget, pengen tiduran. Kamu yang nyetir ya sayang?"
"Ok, tolong liat waze dong sayang" kataku sambil menyalakan mesin mobil.
Aku baru saja usai mandi ketika melihat Ratih sudah tertidur di ranjang. Namun tiba-tiba aku melihat sesuatu yang aneh. Ada darah di rok Ratih! "Kamu kenapa sayang?" tanyaku ketakutan.
"Gak tau, aku gak merasa apa-apa." Kata Ratih sambil mengusap rok yang membasahi ranjang.
Aku kemudian membawa Ratih ke rumah sakit.
Aku duduk termangu di ruang tunggu rumah sakit. Duh Gusti, semoga semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba bahuku ditepuk, ternyata dokter kandungan yang pernah merawat Ratih.
"Maaf pak Armand, istri bapak keguguran. Turut berempati Pak. Padahal sudah lama ditunggu ya, tapi itu juga pertanda bagus, karena ibu ternyata bisa hamil."
"Makasih dok, makasih dok" aku hanya bisa menjawab dengan terbata-bata.
Duh Gusti! Aku tak tahu harus berbuat apa. Dokter itu masih saja terus berbicara untuk menghiburku, tapi aku tak tahu apa yang dikatakannya. Kepalaku mumet, tapi ada rasa senang juga, bagaimana ya rasanya menjadi seorang ayah.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H