Tang talungkup
satu tenganga dua tekatup
Satu telentang dua telungkup
Berita tentang mengendapnya dana pemerintah provinsi sebanyak Rp 170 triliun di bank rupanya telah membuat Presiden Jokowi jengkel. Ketika memberikan pengarahan di depan para gubernur di Istana Presiden Bogor, pertengahan Juli lalu, Presiden Jokowi kemudian menyindir beberapa pemerintah provinsi yang serapannya masih minim.
Presiden Jokowi awalnya mengatakan, dalam kondisi pandemi saat ini jatuhnya perekonomian hanya bisa diselamatkan oleh anggaran pemerintah. Oleh karena itu penyerapan anggaran baik di pusat maupun daerah sangatlah berarti untuk menggenjot roda ekonomi.
"Kita tidak bisa mengharapkan lagi yang namanya investasi, itu pasti minus pertumbuhannya. Yang bisa diharapkan sekarang ini, semua negara hanya satu yang diharapkan yaitu belanja pemerintah, spending kita, belanja pemerintah. Oleh sebab itu, jangan sampai ada nge-rem," ujarnya lagi.
Cerita tentang rendahnya serapan anggaran ini tentu bukanlah cerita baru. Yang paling heboh tentu saja ketika BTP (Basuki Tjahja Purnama) yang kala itu masih bernama Ahok, menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.
Ketika itu serapan APBD DKI Jakarta memang sangat rendah. Namun bukan berarti tidak ada pembangunan, justru sebaliknya! Pembangunan infrastruktur seperti Simpang Susun Semanggi, RPTRA, dan Rusunawa misalnya berlangsung masif walaupun tanpa menggunakan APBD.
Koq bisa? Yah tanya Ahok!
Memang itulah salah dua kehebatan Ahok ini. Dana APBD disimpan di bank untuk kemudian bertambah karena pendapatan dari bunga. Sedangkan sebagian dari pembangunan Jakarta itu dibiayai oleh Pengembang.
Loh koq bisa? Yah tanya Ahok lagi!
Rupanya selama ini para pengembang di Jakarta itu banyak berbuat "asusila." Misalnya bangun apartemen, izinnya 17 lantai. Eh, setelah diperiksa lift-nya, ternyata fisiknya 20 lantai!
Nah pengembang nakal ini kemudian dikenai sanksi denda. Oleh Ahok denda tersebut tidak diterima dalam bentuk tunai, melainkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur seperti di atas tadi.
Nantinya Dinas PU yang akan menghitung apakah pembangunan infrastruktur bagi warga itu sudah sesuai dengan jumlah denda pengembang tadi.
Ngemeng-ngemeng, kenapa juga dana APBD tadi tidak dipakai Ahok untuk membangun?
Rupanya ada kalkulasi yang "tidak tjotjok" dengan parlemen. Mereka itu ngambek sehingga RAPBD tersebut tidak diketok palu menjadi APBD. Dalam kondisi demikian maka Pemprov harus memakai APBD tahun lalu yang nilainya tentu saja lebih kecil.
Nah, walaupun memakai APBD yang lebih singset, ternyata penyerapan APBD tersebut tetap saja kecil, Padahal pembangunan infrastruktur tetap saja masif! Parlemen jadinya tersipu malu.
Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi sekarang, dimana kas Jakarta justru sudah keburu cekak sebelum Covid-19 mejeng di Antjol. Padahal pembangunan minim, dan balapan Formula E juga batal!
Tragisnya Bansos bagi warga Jakarta yang terdampak pandemi Covid-19 itupun harus ditanggung Pemerintah Pusat.
Loh koq bisa? Â Yah, tanya Ahok. Eh, jangan... Tanya Anies dong!
***Â
Krisis akibat pandemi Covid-19 ini mengingatkan penulis kepada krisis ekonomi 1998 lalu. Ketika itu perekonomian Indonesia benar-benar babak belur. Pemerintah tidak memiliki uang sama sekali sehingga Suharto harus mengemis kepada IMF.
Dunia usaha dan perbankan juga "cilaka tiga belas" karena pengusaha ternyata merangkap bankir pemilik bank. Mereka ini bukan hanya  meminjam tapi justru kemudian merampok bank-nya sendiri. Akhirnya uang nasabah "lengser keprabon." Dulu itu juga belum ada LPS, Lembaga Penjamin Simpanan nasabah. Akibatnya nasabah jadi "tidur tak nyenyak makan pun tak kenyang..."
Pabrik-pabrik dan dunia usaha lumpuh total karena pengusahanya takut "diperkosa." Proyek-proyek pemerintah juga macet karena ketiadaan dana. Pengusaha kelas menengah atas maupun konglomerat sudah kabur ke Singapura atau setidaknya ngumpet di Batam atau Bali tanpa mau direcoki urusan bisnis.
Lantas siapa yang memutar dunia usaha?
Tentu saja rakyat jelata dalam bentuk UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) untuk kemudian memutar perekonomian negara.
Kalau dana pemerintah macet dan perbankan juga lumpuh, lantas darimana duit untuk memutar perekonomian tersebut?
Jawabnya adalah dari "Uang Setan" (uang lendir, uang haram, uang judi dan uang hasil korupsi)
Kalau pada era Soekarno dulu ada istilah Angkatan ke-5 (di luar TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polisi) maka "Uang Setan" ini menjadi "Angkatan ke-3" setelah APBN/APBD dan investasi swasta untuk memutar roda perekonomian negara.
Memang ada "Angkatan ke-4" yaitu uang di bawah Kasur milik rakyat. Tetapi relatif kecil. Biasanya untuk dana taktis dadakan. Bahkan bagi sebagian warga, dana itu dipakai untuk modal kawin lagi (nikah siri) yang meminjam istilah bisnis, multiflier effect-nya kecil sekali.
Yah jelas kecil. Nikah tanpa pesta selamatan itu, yang mendapat rezeki paling Tuan Kadi saja. Pengusaha katering, Pemusik/penyanyi, Pengusaha tenda serta petugas parkir pastinya tidak akan kecipratan rezeki dari model pernikahan seperti itu.
Nah, kalau kita bandingkan krisis 1998 dengan krisis 2020, maka ada perbedaan yang spesifik dari keduanya.
Pada 1998 lalu dana "Angkatan ke-3" bersama dana rentenir kemudian memutar ekonomi lewat pasar-pasar tradisional maupun bisnis door to door. Mall, plaza atau pusat pertokoan lumpuh karena tutup ataupun dibakar. Tidak ada kredit dari bank, karena semua bank lagi sakit dan menjadi pasien BPPN.
Pada 2020 ini, sebenarnya dana APBN/APBD masih ada. Buktinya ada Rp 170 triliun dana Pemprov idle di bank. Lihat saja mengapa presiden Jokowi marah-marah kepada para menteri kemarin itu, yakni karena serapan anggaran mereka itu sangat rendah!
Walaupun sudah kembali masuk, dana asing yang sempat kabur itu tak ayal membuat dollar sempat menembus angka Rp 17.000. Akibatnya dana lokal pun semakin adem ngumpet di bawah Kasur.
Rupanya masifnya aksi penegak hukum (Polisi, Jaksa dan KPK) menguber uang haram lewat pasal TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) membuat "Uang Setan" tadi mati gaya.
"Uang setan" itu kemudian menjadi idle tak berguna, bahkan menjadi beban karena kemudian ditukar ke dollar supaya tidak makan tempat.
Padahal dulu "Uang Setan" bisa menggerakkan perekonomian karena sering berobah wujud menjadi aset tetap seperti tanah/properti/ruko untuk usaha, ataupun mobil dan saham perusahaan misalnya.
Artinya, ketika dunia usaha dan "Uang setan" tak berdaya, maka kini tinggal dana pemerintah saja yang bisa diharapkan untuk memutar perekonomian nasional.
Seperti kata pepatah, "Tang talungkup, satu tenganga dua tekatup. Satu telentang dua telungkup."
Kini perbankan, dunia usaha dan "Uang Setan" sedang tiarap telungkup, jadi para menteri dan gubernur jangan telungkup juga dong. Mereka ini justru harus telentang...(asal jangan telenobeng, telenkapak atau telenmartil...) untuk memutar perekonomian negara!
***
Tentu timbul pertanyaan, kenapa serapan anggaran itu rendah sekali, padahal tahun anggaran sudah berjalan satu semester. Artinya tentu saja progress pekerjaan di lapangan rendah sekali.
Mengapa hal ini terjadi?
Jawabnya sederhana. KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) tidak mau (takut) menggunakan APBN/APBD.
Mereka ini takut hantu, terpeluk ...
Siapakah hantunya?
Orang KPK, Kejaksaan dan polisi bolelah disebut "hantunya."
Situasinya memang dilematis. Ibarat memeluk pohon simalakama, dipeluk mati bini, tak dipeluk mati selir.
Penegak hukum jelas diperlukan untuk memberantas korupsi. Tapi sebaliknya pula, oknum penegak hukum ini justru menjadi penyebab terganggunya pelaksanaan proyek!
Dulu itu orang rela membayar setoran mahal agar bisa jadi Pimpro. Sebagian lagi malah harus tirakat ke Gunung Kawi untuk mencari wangsit, agar bisamenjadi pimpro.
Namun, beberapa tahun belakangan ini banyak orang tak mau lagi menjadi Pimpro, sekalipun dipaksa!
Penyebabnya adalah karena mereka ini males berurusan dengan arogansi aparat penegak hukum yang sering "kurang nyambung" dengan soal yang dipermasalahkan.
Kasus RJ Lino di PT Pelindo II dan Sofyan Basir di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah contohnya.
KPK menetapkan Lino sebagai tersangka karena diduga korupsi dalam pengadaan QCC tahun 2010. Kasusnya sekarang menggantung karena sampai sekarangpun (10 tahun berlalu) KPK belum selesai juga menghitung berapa sebenarnya kerugian negara dalam proyek tersebut.
Malang betul nasib RJ Lino ini. Kalau ia memang bersalah, ya penjarakan saja (tentunya lewat pengadilan yang sah) Tapi kalau KPK memang tak mampu menunjukkan kesalahannya, ya bebaskan saja! Padahal gara-gara ditersangkakan KPK, RJ Lino ini dipecat dari Dirut PT Pelindo tanpa pesangon.Nasibnya kemudian tak ubahnya seperti "PKI," miskin dan tidak ada pula yang mau menerimanya bekerja, dan terkucil dari pergaulan sosial.
Demikian juga dengan Sofyan Basir. Mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ini akhirnya bisa menghirup udara bebas, setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Walaupun menang, tapi kemenangan itu tak berarti sama sekali baginya lagi. Terhina, terpenjara, teraniaya, tersakiti, dipermalukan dan dipecat tanpa pesangon. Trus apa yang bisa dilakukan KPK dan pemerintah untuk menebus semua penderitaannya itu?
Jadi ini yang perlu dicermati oleh presiden Jokowi sendiri. Kalau presiden Jokowi tidak bisa menjawab pertanyaan orang-orang seperti RJ Lino dan Sofyan Basir di atas, maka percuma saja ia mempertanyakan serapan anggaran yang kecil itu.
Diskresi oleh pejabat, terutama dalam situasi tertentu memang bisa bias. Tetapi pejabat itu diangkat dan digaji memang justru untuk membuat diskresi!
Ketika seorang pejabat takut membuat diskresi (apalagi dalam situasi seperti sekarang ini) ia sama saja seperti patung, dan sebaiknya dipecat saja. Â
Sekarang terpulang kepada presiden Jokowi sendiri. Kalau ia yakin, percaya dan mau mem-backup anak buahnya, maka proyek dengan sendirinya pasti akan berjalan!
Salam hangat
Â
Referensi: Detik, Bisnis, Hukum Online
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI