Lantas siapa yang memutar dunia usaha?
Tentu saja rakyat jelata dalam bentuk UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) untuk kemudian memutar perekonomian negara.
Kalau dana pemerintah macet dan perbankan juga lumpuh, lantas darimana duit untuk memutar perekonomian tersebut?
Jawabnya adalah dari "Uang Setan" (uang lendir, uang haram, uang judi dan uang hasil korupsi)
Kalau pada era Soekarno dulu ada istilah Angkatan ke-5 (di luar TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polisi) maka "Uang Setan" ini menjadi "Angkatan ke-3" setelah APBN/APBD dan investasi swasta untuk memutar roda perekonomian negara.
Memang ada "Angkatan ke-4" yaitu uang di bawah Kasur milik rakyat. Tetapi relatif kecil. Biasanya untuk dana taktis dadakan. Bahkan bagi sebagian warga, dana itu dipakai untuk modal kawin lagi (nikah siri) yang meminjam istilah bisnis, multiflier effect-nya kecil sekali.
Yah jelas kecil. Nikah tanpa pesta selamatan itu, yang mendapat rezeki paling Tuan Kadi saja. Pengusaha katering, Pemusik/penyanyi, Pengusaha tenda serta petugas parkir pastinya tidak akan kecipratan rezeki dari model pernikahan seperti itu.
Nah, kalau kita bandingkan krisis 1998 dengan krisis 2020, maka ada perbedaan yang spesifik dari keduanya.
Pada 1998 lalu dana "Angkatan ke-3" bersama dana rentenir kemudian memutar ekonomi lewat pasar-pasar tradisional maupun bisnis door to door. Mall, plaza atau pusat pertokoan lumpuh karena tutup ataupun dibakar. Tidak ada kredit dari bank, karena semua bank lagi sakit dan menjadi pasien BPPN.
Pada 2020 ini, sebenarnya dana APBN/APBD masih ada. Buktinya ada Rp 170 triliun dana Pemprov idle di bank. Lihat saja mengapa presiden Jokowi marah-marah kepada para menteri kemarin itu, yakni karena serapan anggaran mereka itu sangat rendah!
Walaupun sudah kembali masuk, dana asing yang sempat kabur itu tak ayal membuat dollar sempat menembus angka Rp 17.000. Akibatnya dana lokal pun semakin adem ngumpet di bawah Kasur.