Kalangan mahasiswa mengancam akan turun lagi ke jalan apabila sampai Senin 14 Oktober 2019 ini, presiden Jokowi belum juga mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Terpisah, Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh menyebut bahwa Jokowi dan Parpol pendukung sudah sepakat untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK, karena UU KPK yang baru tersebut masih dalam proses uji materi di MK (Mahkama Konstitusi).
Artinya isu ini sudah masuk ranah yudisial (hukum) dan sebaiknya ditunggu saja bagaimana keputusan dari MK nantinya. Seandainya MK menolak, maka UU KPK yang baru tidak akan berlaku. Sebaliknya kalau MK meluluskan, maka UU KPK yang baru akan segera diberlakukan.
Ini misalnya, mirip dengan sebuah kasus yang masih berlangsung di Pengadilan. Si tersangka masih menjalani proses hukum, dan belum tentu juga bersalah karena proses persidangannya belum selesai.
Namun karena kasihan kepada si tersangka, Presiden kemudian memberikan grasi (hak politik) tanpa menunggu proses persidangan (hukum) selesai.
Surya Paloh melanjutkan, "Presiden akan salah apabila menerbitkan Perppu di saat UU KPK hasil revisi tersebut sedang diuji materi di MK. Masyarakat dan mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK) Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah, Presiden bisa di-impeach karena itu" ujar Surya Paloh.
***
UU KPK menjadi isu seksi akhir-akhir ini. Warganet dan media cetak gaduh karena sibuk membangun narasi "penguatan/pelemahan KPK" berdasarkan rasa "suka/tidak suka" tanpa bisa menjabarkan secara detail mengapa KPK itu menjadi kuat/lemah dengan revisi UU baru ini.
Nyaris tidak ada yang membahas konten amandemen UU-KPK ini, pasal demi pasal secara detail berikut implementasi dan implikasinya bagi tindakan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi di negeri ini.
Kita semuanya tentu sepakat kalau korupsi adalah kejahatan extraordinary, yang penanganannya terkadang harus lewat cara extraordinary (dalam kondisi tertentu) juga. Lembaga superbody bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kemudian dibentuk untuk mencegah dan menindak pelaku tindak pidana korupsi yang begitu masif di negeri ini. Spirit pembentukan KPK kala itu termotivasi oleh maraknya korupsi ala Soeharto pada era Orde Baru. Itulah sebabnya kewenangan KPK ini sangat besar, bahkan terkesan melebihi lembaga kepresidenan sendiri!
Sebagai lembaga negara penegak hukum, tentu semua sepakat untuk mendukung keberadaan lembaga KPK ini. Seiring berjalannya waktu, apakah korupsi di negeri ini semakin berkurang? Justru sebaliknya! Kalau pada era Soeharto korupsi itu adalah domain eksekutif, maka pada era KPK korupsi itu justru menjadi bancakan parlemen juga. Jadi sudah sewajarnya juga kita mengevaluasi dan mengaudit keberadaan lembaga yang sudah berumur 17 tahun ini agar kinerjanya semakin baik pula.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas topik SP3 yang dianggap melemahkan itu.
Sebelum revisi UU-KPK kemarin itu, KPK tidak boleh menerbitkan SP3 untuk penghentian penyidikan perkara. Itulah sebabnya KPK butuh waktu lama untuk mengungkap sebuah kasus.
Ibarat dalam perang, amunisi KPK itu harus berlapis-lapis dan tak ada habisnya. Artinya kalau seseorang itu sudah sempat mengenakan "rompi oranye," maka percuma saja ia menyewa pengacara mahal untuk membelanya, karena ia tetap akan masuk bui juga.
Sepintas ide ini tampak hebat sekali. KPK itu didesain bak Superman, Batman ataupun Spiderman yang gagah perkasa dan tak boleh kalah.
Namun arah KPK akhirnya justru melenceng dari tujuan semula.
Tujuan utama pembentukan KPK adalah untuk "mencegah" korupsi, baru kemudian "menindak." Ibarat kesehatan tubuh, "mencegah lebih baik daripada mengobati!"
Tujuh belas tahun sejak kehadiran KPK, ada ratusan koruptor yang ditindak. Akan tetapi kehadirannya tidak membuat korupsi berkurang!
Kalau kita hanya bergantung kepada seorang "Batman" saja untuk menyelesaikan kejahatan, maka kita jelas akan kalah. Di luar sana ada seribuan "Joker" yang siap untuk melakukan aksi kejahatan.
Lantas dimana letak benang merahnya?
Tampaknya tidak ada yang tertarik untuk mencari tahu, termasuk juga LSM seperti ICW dan LSM-LSM pendukung, dan buzzer-buzzer KPK sendiri.
Salah satu jawabannya terletak pada SP3 tadi! Tiadanya SP3 justru memenjarakan KPK itu sendiri! Ketika penyidikan dan penuntutan kasus tidak boleh dihentikan, maka bencana sudah siap menanti.
Ini sama seperti ujian akhir dengan 100 soal (dimana soalnya sebagian mudah dan sebagian lagi sulit). Aturan mainnya itu selalu "kerjakan dulu yang mudah baru kemudian yang sulit"
Ketika KPK kemudian mengerjakan sebuah soal sulit (padahal tadinya kelihatan gampang) maka KPK sudah terjebak masuk perangkap, sebab dia harus menuntaskan dulu soal sulit itu baru bisa berpindah ke soal lain. KPK akhirnya kehabisan waktu untuk mencapai nilai target karena energinya kemudian terkuras untuk mengerjakan soal sulit tadi!
Contohnya dalam kasus RJ Lino, mantan Dirut PT Pelindo II, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit quay container crane tahun 2010 lalu. Ketika ditetapkan KPK menjadi tersangka, Lino kemudian dipecat dari jabatannya. Ruangan kantornya diobok-obok KPK. Lino dicekal ke luar negeri. Rekeningnya diblokir dan asetnya diamankan. Karena diblokir, pajak mobilnya tidak bisa dibayar. Mobil itu pun menjadi sia-sia karena tidak bisa dijual ataupun dipakai!
Akan tetapi sampai kini berkas Lino tidak bisa dinaikkan ke Pengadilan, karena bukti pendukung KPK belum cukup. Lima tahun lebih berlalu, sampai kini pun KPK belum selesai juga menghitung berapa besar sebenarnya kerugian negara.
Aduh kasihan banget RJ Lino! Kasihan banget KPK! Keduanya terpenjara karena "SP3"
Padahal ada sebuah adagium hukum berbunyi, "Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar..."
Siapa kini yang jahat? Apakah RJ Lino ini bersalah? Hanya hakim saja yang berhak memutuskannya! KPK hanya bisa menduga dan men-tersangkakannyanya. Untuk itulah KPK perlu bukti-bukti yang kuat untuk mendukung argumentasinya itu, sebab dalam hukum berlaku adagium, "Barang siapa mendalilkan harus membuktikan!"
Kini KPK terjebak dalam "soal sulit" dan nyata-nyata kehabisan waktu. Dalam kasus RJ Lino, KPK bahkan terlihat seperti sosok sang "Joker, bukan Batman..."
Dengan UU-KPK yang baru, persoalan ini kemudian menjadi mudah. Setelah dua tahun berlalu tanpa hasil, maka kasus ini bisa di-SP3-kan. Ketika nanti ada novum (bukti baru) maka perkara ini dapat dibuka kembali seperti semula.
Kemarin itu ada orang kapeka mengatakan bahwa dengan SP3 ini, koruptor berutang kepada presiden, astagfirullah! Kampret buta atau setengah buta mungkin bisalah dikadalin akan tetapi pembohongan seperti ini oleh penegak hukum, sangatlah keterlaluan!
Kalau seorang penegak hukum bisa seenaknya menipu, jelas integritas beserta lembaga tempatnya bernaung diragukan! Yang jelas selama ada novum, kasus bisa dibuka kembali!
Tidak bolehnya SP3, membuat kuantitas tangkapan KPK menjadi sedikit.
Misalnya di luar sana ada seribu maling koruptor. Karena KPK itu "tuhan yang tidak boleh salah" maka mereka itu fokusnya kepada lima puluh maling yang paling gampang dijerat.
Lalu dicari lima maling lagi yang termasuk kategori seksi, artinya beritanya pasti akan mendapat sorotan publik. Pejabat tinggi, tokoh kontroversial maupun public figure tertentu kemudian dipilih.
Setelah itu gelar perkara termasuk strategi penyadapan, penjebakan, penguntitan dan lainnya dijalankan. RJ Lino ini termasuk seksi, konon karena ia itu orangnya "RS".
Karena "barangnya harus jadi dan tak boleh salah dan kalah" maka proses penyidikannya juga berjalan lama. Tentu saja biaya operasional juga menjadi mahal. Dan seperti sudah diduga, "barang tersebut akhirnya jadi juga"
Akhir tahun, lima puluh lima maling koruptor mengenakan rompi oranye. Publik senang, KPK bangga dan maling lainnya mengelus dada, "slamet...slamet..." karena mengira sudah lolos dari mulut harimau...
Maling lainnya itu tentu saja sudah masuk daftar antrian untuk mengenakan rompi oranye. Tapi entah kapan mereka mengenakannya. Mungkin tiga tahun, lima tahun atau sepuluh tahun lagi, tidak ada yang tahu. Komisioner dan Direktur juga tidak tahu. Hanya Tuhan dan Wadah Pegawai KPK saja yang mengetahuinya...
Tapi yang jelas kalau jadi maling koruptor itu jangan belagu. Apalagi bergaya seronok seperti Hotman Paris misalnya, karena hal itu akan mengundang perhatian KPK. Seperti uraian di atas, aparat KPK itu juga manusia. Mereka itu suka terangsang kalau melihat maling yang punya nilai pemberitaan tinggi.
"Maling pemalu" biasanya selalu di urutan bawah, sedangkan "maling belagu" selalu diurutan atas daftar orang-orang yang akan terkena azab KPK.
Okelah, secara pribadi saya juga suka menikmati tontonan seperti ini, yakni ketika KPK akhirnya berhasil mengenakan rompi oranye ke tubuh maling koruptor. Namun pemberantasan korupsi bukan begini caranya.
Kembali ke topik semula. Kalau hanya lima puluh lima maling saja yang tertangkap dari seribu populasi maling yang ada, apakah itu akan menimbulkan efek jera? Tentu saja tidak!
Walaupun namanya tercatat dalam daftar "Top 1000 koruptor bakalan kena azab KPK," para maling ini akan terus merampok uang rakyat tanpa pernah merasa cukup! Mereka itu berhenti hanya ketika sudah mengenakan rompi oranye!
Jadi kunci utama efek jera itu adalah "kenakan sebanyak-banyaknya rompi oranye kepada koruptor!"Â
Kalau KPK bisa memesan 25 kodi rompi oranye per tahun, maka korupsi akan berkurang. Sebaliknya kalau KPK bisa memesan 100 kodi rompi oranye per tahun, maka dalam tiga tahun ke depan, korupsi di Indonesia akan menghilang!
Kasus memalukan lainnya terjadi ketika KPK menderita kekalahan untuk pertama kalinya. Yaitu dalam kasus mantan ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Temenggung yang diputus bebas oleh MA (Mahkamah Agung) karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Bagi saya pribadi sebenarnya kasus itu tidaklah memalukan, karena KPK itu bukanlah tuhan yang tidak mungkin salah. Justru seharusnya hal ini menjadi penyemangat untuk terus berupaya mengejar para koruptor di negeri ini dengan cara lebih baik lagi.
Namun cara KPK menanggapi kasus inilah yang menurut saya sangat kekanakan dan memalukan! KPK tampaknya berusaha keras untuk mengungkit lagi kasus ini demi mengejar Syafruddin Temenggung sembari membuat framing, seolah-olah ada yang salah dengan MA!
Sebagai lembaga penegak hukum, KPK seharusnya bisa bersikap profesional dengan menghormati dan tunduk kepada hukum dan aturan/perangkat hukum itu sendiri.
Dalam hal ini saya salut juga dengan hakim MA karena berani berseberangan dengan KPK. Biasanya hakim itu keder kepada KPK, karena takut dosa-dosanya itu sudah "disadap" KPK. Ancaman untuk membuka aib inilah yang membuat KPK itu sangat ditakuti para hakim.
Entahlah, mungkin di MA ini ada juga polisi Taliban/India yang "jenggotnya lebih tebal" daripada polisi Taliban/India KPK. Atau jangan-jangan di MA kini sudah hadir pula "nabi, imam atau guru penegak moral bangsa..."
Kembali ke topik, ini bukan soal pribadi, moral atau salah benar. Tujuan utama pembentukan KPK adalah untuk MENCEGAH dan MENINDAK tipikor, itu saja!
KPK (baca, pegawai dan komisioner KPK) bukan tuhan, nabi atau imam yang mengurusi moral dan dosa! Bersikap dan bertindaklah secara profesional dalam tupoksi KPK saja. Tidak usah juga berlagak seperti seniman dengan membuat puisi dan aksi teatrikal di kantor KPK!
Tidak ada gading yang tak retak, tidak ada pula gundul yang tak botak! KPK juga bukan malaikat apalagi tuhan yang tidak bercacat. Akan tetapi KPK adalah milik kita bersama dan harus kita dukung agar optimal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Jujur saja, saat ini saya tidak suka dengan narasi "perkuatan atau perlemahan KPK" yang terkesan politis dan mengandung niat busuk dibalik penggagasnya.
Kemandirian (independensi) KPK itu adalah dalam hal "penyelidikan dan penyidikan suatu kasus tindak pidana korupsi" Artinya para penyelidik dan penyidik KPK itu tidak boleh diintervensi oleh siapapun dalam menangani suatu kasus tindak pidana korupsi.
Catat ya kasus pidana, bukan perdata atau Administrasi negara! Itulah sebabnya KPK kalah dalam kasus Syafruddin Temenggung kemarin, karena kasusnya bukan pidana.
Namun kemudian yang berkembang seakan-akan KPK itu adalah "lembaga ketuhanan" yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat, DPR bahkan presiden sendiri!
Dalam UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan, "Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu : Kepastian hukum, Keterbukaan, Akuntabilitas, Kepentingan umum dan Proporsionalitas. KPK bertanggungjawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK."
Artinya sebagai lembaga, KPK tidak ada bedanya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, LSM, atau bahkan Emiten yang harus memberikan pertanggungjawaban operasional dan laporan keuangannya secara terbuka kepada publik. Selain itu KPK juga wajib lapor kepada Presiden, DPR dan BPK!
Kalau atauran mainnya (sesuai UU KPK) begini, lantas kenapa semua masyarakat gaduh dengan narasi pelemahan/perkuatan KPK?Â
Yang tidak boleh diintervensi itu adalah para penyelidik dan penyidik KPK dalam hal menjalankan tugasnya, bukan lembaganya!
Salam waras
Sumber,
kompas.com
vivanews.com
wikipedia.org
kompas.com
kompas.com
antaranews.com
detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H