Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Allysa Sakit Apa?

17 April 2014   14:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah sebeluumnya: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/04/13/senyum-allysa-648570.html

***

Waktu begitu cepat berlalu hari ini. Rasanya baru saja menyelesaikan beberapa berkas laporan yang tertunda beberapa hari, adzan masuk waktu ashar sudah terdengar dari pengeras suara masjid di belakang kantor. Ternyata adzan bukan hanya suara untuk memberi tahu waktu masuknya sholat, tetapi juga untuk mengingatkan diri ini untuk berhenti kerja sejenak mendinginkan prosesor yang ada di kepala. Aku pikir ini mungkin cara Tuhan menempatkan waktu-waktu sholat, agar jam biologis dan ritme tubuh tidak terjebak pada pekerjaan sepanjang hari. Subuh waktunya bangun, dhuhur waktunya mendinginkan mesin, ashar untuk menurunkan sedikit kecepatan dan maghrib untuk menghentikan segala aktifitas hingga isya. Jadi ini waktu bagiku untuk meninggalkan aktifitas sejenak agar jangan sampai sistem tubuh down karena terlalu diforsir.

Selesai sholat ashar, aku kembali ke ruangan. Aku memeriksa pesan yang masuk dan panggilan tak terjawab pada handphone yang aku tinggal di meja tadi. Tidak ada SMS yang masuk, namun sebuah panggilan tak terjawab dari nomer Allysa. Ada apa dia menelponku? Memang selasa ini adalah sidang perdana gugatan cerai atau pembatalan nikahnya. Jumat lalu dia sempat menemuiku untuk meminta doa. Aku mencoba menekan tombol dial untuk menghubunginya. Namun beberapa kali panggilanku tidak juga diangkatnya. Allysa kenapa?

"Selamat sore Pak Adit."

Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata Ibu Manager sudah berdiri di depan pintu. Spontan aku menjawab sambil berdiri, "Eh iya Bu. Selamat sore juga. Bagaimana perjalanannya kemarin?" Memang seharian tadi aku belum bertemu dengan Ibu Manager, sehingga belum tahu cerita perjalanan dinasnya ke Singapura. Kami berbincang sambil berdiri. Beliau menceritakan perjalanannya dan pada akhir sesi Beliau menyerahkan sebuah souvenir khas berbentuk singa dan bola dunia dari bahan logam.

Setelah Ibu Manager berlalu, aku mencoba untuk menghubungi lagi Allysa. Panggilan pertama tidak juga diangkat dan dijawab. Hingga...

"Hallo Lisa? Ada apa?" Tanyaku saat terdengar suara di seberang sana.

"Hallo. Pak Aditya?" Aku terdiam sejenak mendengar suara wanita. Itu bukan suara Allysa dan Allysa tidak pernah memanggilku dengan kata 'pak'.

"Iya saya Aditya. Maaf, dengan siapa ya?"

"Saya Hera, tetangga apartemen Lisa. Begini Pak. Lisa sekarang sedang sakit. Tadi saya mau antar ke dokter tetapi tidak mau. Saya diminta menghubungi Bapak," kata wanita yang bernama Hera.

"Sakit apa Mbak?" Aku mulai disergap perasaan cemas.

"Saya belum tahu. Hanya badannya panas dan demam."

"Baik, saya segera ke sana sekarang. Terimakasih Mbak Hera."

Aku mengambil jaket. Setelah mematikan notebook dan mengunci pintu ruangan, aku bergegas menuju tempat parkir. Di luar hujan cukup deras mengguyur Surabaya. Terpaksa aku menggunakan jas hujan yang sedikit basah karena siang tadi juga sempat digunakan keluar saat hujan.

Jalanan lingkar timur Surabaya padat merayap. Di beberapa ruas jalan terdapat genangan yang membuat mobil dan motor memperlambat laju kendaraannya. Sepanjang jalan, wajah Allysa hadir dalam pikiran. Mulai saat pertama bertemu di sebuah cafe di Tunjungan Plaza, beberapa momentum kebersamaan, hingga pernikahan Allysa, terbayang kembali seperti sebuah slide presentasi. Ini memang bukan kisah sinetron yang penuh dengan konflik. Hubunganku dengan Allysa memang hampir tidak pernah ada konflik. Satu-satunya peristiwa yang membuatku sedih adalah saat Allysa mengirimkan undangan pernikahannya.

Sesampai di lobby, aku menemui seorang petugas keamanan dan meminta ijin untuk naik ke lantai tempat Allysa berada. Tanpa kartu akses, siapapun memang tidak bisa naik ke atas. Aku dulu pernah diberi Allysa kartu akses apartemennya, tetapi aku kembalikan saat dia menikah. Akhirnya aku diantar oleh seorang petugas keamanan hingga di depan pintu apartemen Allysa.

Aku menekan bel pintu. Tak lama kemudian, wajah seorang wanita yang tidak aku kenal tampak dari balik pintu.

"Mbak Hera? Saya Aditya.

"Iya. Pak eh Mas Adit ya?" Mari silahkan masuk.

Aku melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu di samping belakang pintu masuk. Beberapa wedges dan sepatu Allysa terparkir rapi di situ. Sebuah sepatu lainnya adalah sepatu yang dibelinya bersamaku di sebuah toko sepatu di Grand City. Setelah melepas jaket dan menggantungkanya, aku menuju kamar Allysa. Tampak Allysa sedang terbaring dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala dan tangannya.

"Lisa barusan tidur. Tadi saat pulang, Lisa mengeluh demam dan pusing. Sempat muntah sekali. Kemudian saya beri teh hangat dan bubur sebelum akhirnya tertidur setelah saya pijat dengan minyak kayu putih," tutur Hera dengan berbisik.

Aku hanya menganggukan kepala merespon penjelasan tersebut sambil mendekati Allysa dan duduk di sampingnya. Aku raba dahinya memang agak panas. Setelah itu aku mengajak Hera berbincang di sofa saja, agar tidak mengganggu Allysa yang sedang tertidur.

"Maaf tadi saya panggil Pak. Saya pikir sudah tua sekali," kata Hera memulai pembicaraan.

Aku tersenyum kecut mendengar pemngakuannya. "Hehehe... panggil pak atau mas sama saja kok. Tidak masalah Mbak Hera. Lagian saya juga memang sudah tua dan bukan abege," kelakarku.

"Hahaha... Iya... benar juga," dengan suara sedikit ditahan supaya tidak terlalu keras.

Kami saling memperkenalkan diri dan ternyata Hera adalah tetangga apartemen yang menempati samping depan apartemen Allysa. Dia cukup akrap dengan Allysa karena sering ikut aerobik bersama. Namun ternyata Allysa tidak pernah bercerita tentang saya kepada Hera. Allysa memang tipe wanita yang periang. Namun untuk urusan pribadi, dia cukup tertutup dan tidak begitu suka bercerita pada orang lain. Berikutnya Hera pamit untuk kembali ke apartemennya dan berpesan untuk menghubunginya bila butuh bantuan terkait dengan Allysa. Aku mengucapkan terimakasih dan mengantarkannya ke pintu depan.

Aku masuk kembali ke kamar Allysa untuk memeriksa keadaannya. Rasanya dahinya cukup panas dan aku putuskan untuk mengompresnya. Aku mengambil panci yang aku isi dengan air dingin dari lemari es. Sebuah handuk kecil yang biasa Allysa gunakan untuk olah raga aku temukan di lemari lemari kecil dekat mesin cuci. Sebelum ditempelkan, aku peras terlebih dahulu hingga tidak ada air yang menetes dari handuk tersebut. Berikutnya aku tempelkan di dahi Allysa yang tampak masih tertidur lelap. Beberapa kali aku mengompresnya hingga menjelang maghrib, Allysa terbangun dan membuka matanya.

"Mas Adit, Lisa sakit," serunya lirih. Aku baru bisa melihat bila bibir Allysa tampak kering dan pecah-pecah. Matanya juga tampak kuyu dan tidak bersemangat.

"Iya. Apa yang Lisa rasakan?" Tanyaku sambil membalik handuk lembab untuk mengompresnya.

"Tadi pulang dari pengadilan, Lisa merasa mual, pusing dan demam aja."

"Tadi pagi sarapan apa?" Tanyaku. Aku menduga dia tidak memperhatikan makanannya. Ternyata dugaanku benar saat Allysa menjawab dengan gelengan kepala.

"Kenapa tidak sarapan?" Tanyaku lagi berlahan. Allysa hanya terdiam dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Aku paham kondisi Allysa. Rupanya hari ini dia tidak sarapan dan juga makan siang. Allysa terlalu stress menghadapi sidang perceraian di pengadilan, sehingga dia tidak enak makan. Memang wanita mana yang merencanakan perceraian dalam pernikahannya. Walaupun ini adalah gugatan cerainya, tetapi tetap saja dia akan merasa tertekan.

"Ke rumah sakit ya biar segera ditangani."

"Ghak usah Mas. Lisa cuman demam aja kok nanti juga sembuh."

"Ya tidak bisa begitu. Harus diperiksa dokter supaya tahu apa penyakitnya. Ayo kita ke rumah sakit di  Nginden sini."  Allysa hanya menggelengkan kepala saja mendengar permintaanku tanda dia tidak mau. Aku raba lagi kepala Allysa. Panasnya belum turun juga. Pasti ada infeksi yang menyebabkan panasnya tinggi dan demam. Aku memutuskan untuk menelpon seorang teman dokter yang dulu pernah sama-sama bekerja di sebuah rumah sakit di daerah Gubeng. Berharap dia tidak sedang sibuk dan bisa datang ke apartemen untuk memeriksa Allysa.

"Selamat malam Dokter Ratna. Ini Aditya. Maaf mengganggu."

"Oh iya. Mas Aditya. Apakabar?" Jawabnya Dokter Ratna dan balik menanyakan kabarku.

"Baik Dok. Tetapi ada teman yang butuh pertolongan segera nih Dok. Saya berharap dokter bisa datang.

"Oke, saya sedang tidak praktek. Berikan alamatnya, saya segera ke sana."

"Thanks Dok. Alamatnya saya SMS ya."

Aku mengirimkan alamat apartemen Allysa via SMS. Kebetulan rumah Dokter Ratna berada di sekitar Panjang Jiwo. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya setelah pindah kerja. Hanya beberapa kali saja kami saling berkirim ucapan selamat, saat perayaan hari besar keagamaan.

Dua puluh menit kemudian, bel pintu apartemen berbunyi. Aku bergegas menuju ke pintu untuk membukakannya.

"Selamat malam Dok. Maaf merepotkan," aku menyalami Dokter Ratna yang sudah berdiri di depan pintu dengan diantar petugas security.

"Ah tidak juga. Apakabar Mas Adit. Eh Pak, terimakasih sudah diantar ya," kata Dokter Rtana kepada petugas security apartemen.

Aku mempersilahlan Dokter Ratna masuk dan mengantarnya ke kamar Allysa. Dengan sigap Dokter Ratna membuka tasnya dan mengeluarkan stetoskop dan beberapa peralatan lainnya. Allysa yang mengetahui kedatangan dokter hanya diam pasrah.

"Sudah berapa lama demamnya?" tanya Dokter Ratna sambil mengeluarkan termometer digital dan diselipkannya pada aksila atau ketiap Allysa.

"Tadi sore Dok. Dari pagi hingga sore, dia tidak makan," jawabku sambil membuka selimut Allysa agar dokter bisa memeriksa perutnya.

Dokter Ratna memasang stetoskopnya dan menempelkannya di dada Allysa. "Coba tarik nafas," pinta Dokter Ratna kepada Allysa untuk melakukan pemeriksaan fungsi pernafasan atau biasa disebut auskultasi. Berikutnya dokter melakukan pemeriksaan lain berupa palpasi dan perkusi, terutama pada bagian perut dengan menekan dan mengetuk permukaan perut menggunakan jari. Terakhir, Dokter Ratna mengukur tekanan darah dengan menggunakan Blood Pressure digital.

"Bagaimana Dok hasilnya?" Tanyaku setelah Dokter Ratna selesai memeriksa Allysa.

"Apa sebelumnya ada riwayat penyakit lambung?" Dokter Ratna mencoba melakukan anamnesa atau penggalian penyakit dari riwayat sebelumnya.

"Setahu saya tidak pernah Dok. Selama ini tidak pernah mengeluhkan maag atau asam lambung lainnya."

Setelah menyelimuti Allysa, aku mengajak Dokter Ratna ke ruang tamu. Suasana yang tadinya formal, kini mulai berubah saat Dokter Ratna mencubit lenganku sambil berbisik, "Yang ini siapa lagi?" Aku hanya nyengir kuda mendapatkan pertanyaan yang tidak terduga. Memang Dokter Ratna tahu aku pernah akrab dengan beberapa wanita saat bekerja di rumah sakit dulu.

"Cuman teman dekat saja Dok," bisikku kepada Dokter Ratna.

Sebelum berpamitan, Dokter Ratna memberiku selembar resep berisi daftar obat yang harus diminum beserta makanan yang boleh dan pantang dikonsumsi. Selain itu, Dokter Ratna juga menyarangkan untuk test darah, bila sampai besok belum juga membaik. Selembar kertas berisi daftar test lab dari sebuah laboratorium medis juga diberikannya kepadaku setelah diisi jenis testnya.

Aku mengantarkannya hingga ke parkiran mobil sebagai bentuk apresiasi atas bantuannya untuk datang ke apartemen Allysa.

"Thanks Dok ya."

"Oke. Hati-hati, jaga anak orang ya," jawabnya sambil tertawa lebar. Sekali lagi aku hanya bisa nyengir kuda mendengar kalimat Dokter Ratna tersebut.

Hujan di luar sudah reda. Sebelum naik kembali ke apartemen Allysa, aku sempatkan untuk menebus beberapa obat di apotik dekat apartemen dan membeli beberapa makanan termasuk bubur cepat saji untuk Allysa.

***

"Lisa makan dulu ya," Pintaku sambil mengaduk bubur instant yang barusan aku buat. Kali ini tidak ada bumbu masak yang aku campurkan. Hanya sedikit garam agar rasanya tidak terlalu hambar. Allysa hanya menganggukan kepala tanda setuju. Aku mengubah posisinya supaya bisa duduk dengan menambah beberapa bantal di sandaran tempat tidur.

"Minum dulu teh hangatnya." AKu menyodorkan segelas teh hangat manis kepada Allysa. Namun rupanya dia terlalu lemah untuk meminum secara langsung. Akhirnya aku suapin sesendok-sesendok agar mudah diminum. Sebenarnya Allysa bisa minum dengan menggunakan sedotan, tetapi aku tadi lupa membelinya di toko retail depan apartemen.

Tidak ada kata yang diucapkannya. Sorot matanya juga tampak layu. Sesekali aku mengusap rambutnya dengan penuh rasa sayang. Aku tahu pengapa dia tidak mau mengubungi mama dan papanya. Kasus gugatan cerainya ini pasti membuat hubungannya dengan mama dan papanya renggang. Di Surabaya, memang hanya aku yang paling dekat. Sementara keluarganya yang lain tinggal di Malang.

Allysa hanya bisa menghabiskan separuh porsi bubur yang aku buat. Setelah makan, aku memberinya obat yang diresepkan oleh Dokter Ratna tadi. Beberapa jenis ternyata merupakan obat untuk lambung, kemudian tablet penurun panas dan vitamin.

"Mas anterin Lisa ke kamar mandi ya," pintanya lirih.

"Oke. Bisa jalan atau perlu saya gendong?" Allysa mencoba tersenyum untuk merespon pertanyaanku.

Rupanya Allysa masih terasa pusing. Aku memapah Allysa ke kamar mandi dan aku dudukkan di kloset.

"Ya sudah Mas. Lisa bisa sendiri." Allysa memberi isyarat untuk menutupkan pintu kamar mandi.

Beberapa saat kemudian Allysa membuka pintu kamar mandi dan berpegangan pada handle pintu. Aku yang berjaga di depan kamar mandi langsung sigap memeganginya, takut dia sempoyongan dan jatuh. Aku memapahnya kembali ke tempat tidur.

"Sekarang Lisa istirahat dan tidur dulu ya. Malam ini saya jaga Lisa di sini. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja."

"Terimakasih ya Mas."

Setelah menyelimuti Allysa, aku menuju ruang tamu dan duduk di sofa. Pintu kamar Allysa sengaja aku biarkan terbuka agar bila dia butuh bantuan, aku bisa mendengar dan segera datang.

Aku menyalakan televisi. Kebetulan sebuah stasiun televisi sedang menayangkan siaran langsung pertandingan antara Tim Indonesia U-19, melawan tim U-19 dari UEA. Aku menyaksikan pertandingan tersebut dengan seksama. Saat babak pertama berakhir, aku memeriksa kembali kondisi Allysa. Aku raba kepalanya dan panasnya tidak setinggi tadi sore.

Jam 10 malam, aku teringat kalau belum menghubungi rumah untuk memberi tahu kalau malam ini tidak pulang. Saat aku periksa handphone, sebuah SMS ternyata datang dari putriku menanyakan pulang jam berapa. Aku membalas SMSnya sekaligus untuk mengabari kalau malam ini tidak pulang.

Aku beranjak mendekati jendela menjauh dari pintu kamar Allysa. Bulan purnama penuh tampak menghiasi langit Surabaya. Kali ini bulan purnama menampakkan cahaya cincin di sekeliling bulan, membuat suasana begitu indah. Sekumpulan awan tidak cukup mampu menutupi dan meredam keindahan cahaya bulan malam ini.

Jam 2 pagi, aku terbangun saat mendengar suara Allysa terbatuk. Aku segera menghampirinya.

"Mau dibuatkan teh hangat ya?" Allysa menganggukan kepala.

Dengan cepat aku beranjak ke dapur untuk membuatkan segelas teh hangat. Aku ingat kalau di lemari es ada susu kotak yang biasanya disertakan juga dengan sedotan kecil. Aku melepas sebuah sedotan agar Allysa lebih mudah meminum teh hangatnya.

"Ini teh hangatnya." Aku naik ke atas tempat tidur Allysa dan membantunya untuk meninggikan bantalnya. Allysa meminum teh hangatnya. Badannya juga sedikit berkeringat dan ini pertanda baik.

"Cukup Mas," kata Allysa sebagai aba-aba kala dia tidak ingin menghabiskan minumannya.

Setelah menyelimuti Allysa, aku kembali ke sofa di depan tv untuk tidur, sambil berdoa semoga besok Allysa sudah bisa sehat kembali.

Bersambung...

Kuumpulan kisah Allysa.

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/30-kisah-allysa-dalam-5-bulan-602672.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun