Aku hanya menganggukan kepala merespon penjelasan tersebut sambil mendekati Allysa dan duduk di sampingnya. Aku raba dahinya memang agak panas. Setelah itu aku mengajak Hera berbincang di sofa saja, agar tidak mengganggu Allysa yang sedang tertidur.
"Maaf tadi saya panggil Pak. Saya pikir sudah tua sekali," kata Hera memulai pembicaraan.
Aku tersenyum kecut mendengar pemngakuannya. "Hehehe... panggil pak atau mas sama saja kok. Tidak masalah Mbak Hera. Lagian saya juga memang sudah tua dan bukan abege," kelakarku.
"Hahaha... Iya... benar juga," dengan suara sedikit ditahan supaya tidak terlalu keras.
Kami saling memperkenalkan diri dan ternyata Hera adalah tetangga apartemen yang menempati samping depan apartemen Allysa. Dia cukup akrap dengan Allysa karena sering ikut aerobik bersama. Namun ternyata Allysa tidak pernah bercerita tentang saya kepada Hera. Allysa memang tipe wanita yang periang. Namun untuk urusan pribadi, dia cukup tertutup dan tidak begitu suka bercerita pada orang lain. Berikutnya Hera pamit untuk kembali ke apartemennya dan berpesan untuk menghubunginya bila butuh bantuan terkait dengan Allysa. Aku mengucapkan terimakasih dan mengantarkannya ke pintu depan.
Aku masuk kembali ke kamar Allysa untuk memeriksa keadaannya. Rasanya dahinya cukup panas dan aku putuskan untuk mengompresnya. Aku mengambil panci yang aku isi dengan air dingin dari lemari es. Sebuah handuk kecil yang biasa Allysa gunakan untuk olah raga aku temukan di lemari lemari kecil dekat mesin cuci. Sebelum ditempelkan, aku peras terlebih dahulu hingga tidak ada air yang menetes dari handuk tersebut. Berikutnya aku tempelkan di dahi Allysa yang tampak masih tertidur lelap. Beberapa kali aku mengompresnya hingga menjelang maghrib, Allysa terbangun dan membuka matanya.
"Mas Adit, Lisa sakit," serunya lirih. Aku baru bisa melihat bila bibir Allysa tampak kering dan pecah-pecah. Matanya juga tampak kuyu dan tidak bersemangat.
"Iya. Apa yang Lisa rasakan?" Tanyaku sambil membalik handuk lembab untuk mengompresnya.
"Tadi pulang dari pengadilan, Lisa merasa mual, pusing dan demam aja."
"Tadi pagi sarapan apa?" Tanyaku. Aku menduga dia tidak memperhatikan makanannya. Ternyata dugaanku benar saat Allysa menjawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa tidak sarapan?" Tanyaku lagi berlahan. Allysa hanya terdiam dengan mata mulai berkaca-kaca. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Aku paham kondisi Allysa. Rupanya hari ini dia tidak sarapan dan juga makan siang. Allysa terlalu stress menghadapi sidang perceraian di pengadilan, sehingga dia tidak enak makan. Memang wanita mana yang merencanakan perceraian dalam pernikahannya. Walaupun ini adalah gugatan cerainya, tetapi tetap saja dia akan merasa tertekan.