Mohon tunggu...
Chatarina Komala
Chatarina Komala Mohon Tunggu... Tenaga Lepas -

“We write to taste life twice, in the moment and in retrospect.” ― Anaïs Nin

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Detik

9 Februari 2011   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sesuatu yang terus bergerak di ujung sana, di pojok sana. Berdiri dengan angkuhnya, meski pada kenyataannya cuma ditopang empat sisi balok kayu jati berukiran kuno - yang sekarang sedang memandangiku - puas.

Aku memang masih orang yang membenci kestagnanan, namun sekaligus merutuk perubahan, pergerakan. Mengutukmu! Hai kau yang sedang memandangku puas dari pojok sana !

Tapi mau tidak mau aku harus memandangimu atau kalau bisa memelototimu kali ini, kali sebelumnya, kali - kali yang lampau, kali - kali seterusnya. Dua tentakel menjijikkanmu - yang kini sudah menunjuk pada angka delapan di pendeknya, dan sebelas di panjangnya - harus kuakui sedang membuatku resah.

Lima menit lagi akan datang - yang berarti kau harus bergerak tiga ratus kali banyaknya lagi ke kanan dan ke kiri - kembali menguapkan lagi satu pertanyaan yang sedari tadi terus saja aku sangkal. Akankah dia jadi datang ?

Dan dengan terpaksa - dipandu alam bawah sadarku yang entah bermuara ke arah mana : inilah aku - yang sedang memelototimu mulai dari tadi - dengan segerombol rasa yang semakin membuat dadaku terasa sesak.

Dia sudah berjanji padaku, oke, lebih tepatnya dia hanya bilang. Ya..dia hanya bilang bahwa dia akan datang. Tapi bagaimana bisa aku bedakan itu. Otakku percaya bahwa hal itu memang berbeda, tetapi hatiku tidak. Kata - katanya kini sudah terpatri dalam kepalaku sebagai sebuah pengharapan - yang kuharuskan terjadi. Dia harus datang. Aku mengharapkan dia datang.

Akankah dia jadi datang ?

Sial! Pertanyaan itu masih tetap saja terngiang dalam kepalaku - dan ini sudah seratus tiga kalinya kau bergerak.

Aku menunggu. Aku berharap dia datang. Dia harus datang. Meskipun dalam dentang yang sama aku juga mengharapkan sesuatu terjadi. Aku mengharapkan hujan bisa datang setidaknya gerimis, atau banjir, atau macet, atau teleponnya, atau nada buru - burunya. Aku mengharapkan sesuatu terjadi, sehingga aku mungkin masih bisa memahami, bahwa ternyata ada alasan ketidakdatangannya hingga detik ini.

Tapi kutengok sekitar. Sebentar. Tidak ada hal yang kuharapkan terjadi. Bahkan dia tidak meneleponku atau mengabariku sejak dua jam tadi perihal kedatangannya. Dia hanya bilang akan datang. Dan sekarang aku mulai mempertanyakan. Semua ini, kau yang terus bergerak. Akankah dia jadi datang ?

Seratus lima puluh satu kalinya kau bergerak.

Akankah dia jadi datang ?

Dia sudah bilang padaku akan mengajakku pergi ke suatu tempat. Meskipun katanya hanya ingin membuatku tahu bagaimana rasanya mencicipi ikan bakar yang kata orang paling enak se - ibukota, tapi entah mengapa wajahku terus saja sumringah sejak kemarin. Meskipun tidak kali ini. Keinginanku agar dia menepati perkataannya kemarin dan dua jam sebelumnya, membuat jantungku berdetak lebih cepat, dan aku hanya bisa menatap gelisah ke arahmu sambil menggiggit bibirku sendiri.

Aku ingin dia jadi datang.

Akankah dia jadi datang ?

Dua ratus kali sudah kau bergoyang, bergerak ke kanan dan ke kiri, yang justru malah semakin membuatku jengah, lelah, karena tidak pernah bisa melepaskan pandanganku dari gerakanmu, meskipun hanya sedikit. Dia harus datang. Batinku memaksa, tidakkah dia tahu bahwa kedatangannya sangat penting untukku ?

Dua ratus tiga puluh kali kau bergoyang. Masih dalam ritme yang sama tentunya. Ke kanan dan ke kiri.

Akankah dia jadi datang ?

Dan dalam kurang dari tujuh puluh gerakan lagi, dia harus datang. Aku harap dia bisa datang. Karena kalau tidak..dan aku bahkan tidak tahu bagaimana jika dia tidak jadi datang.

Mungkin dia sedikit terlambat. Keterlambatan - bagaimanapun juga tentu sudah menjadi hal yang lumrah bagi semua orang kini. Meskipun tidak untukku. Apalagi jika berkaitan dengannya. Tidakkah dia mengerti bahwa keterlambatannya saat ini mendadak tidak bisa kutolerir begitu saja ?

Hhhh..kamu membuat semuanya menjadi rumit, padahal sesederhana ini. Batinku memaki diri sendiri. Tidak ada yang bisa jadi sederhana jika menyangkut dirinya - Aku membalas.

Dan aku menatap sekitar. Tidak ada hal yang kuharapkan terjadi. Tidak ada hujan, tidak ada gerimis, tidak ada banjir, tidak ada macet, tidak ada teleponnya, atau nada buru - burunya, dan bahkan tidak ada pemberitahuan bahwa ada sms yang masuk ke handphoneku. Sekarang.

Aku berlebihan bukan ? tapi memang semua ini sekarang tampak berlebihan dan tidak sesederhana dulu jika itu menyangkut dirinya.

Dua ratus lima puluh tiga kau bergerak.

Akankah dia jadi datang ?

Mungkinkah dia akan datang ?

Nada pesimis mulai menguasai pikiranku, meskipun aku tahu bahwa semua ini cuma masalah sederhana yang tiba - tiba kubuat rumit.

Dia tidak berjanji akan datang, dan kalaupun dia tidak bisa datang, tentu dia tinggal bilang maaf dan semuanya akan selesai, bukan?

Tapi tidak untuk soal ini. Hhhh..seandainya saja aku tidak pernah merasakan sesuatu padanya, tentu semua ini akan jadi sesederhana itu, bukan ? Seandainya saja..

Stop membuat ini menjadi rumit!

Dan kau terasa bergerak terlalu cepat. Ini sudah dua ratus tujuh puluh kalinya kau bergerak.

Dia tidak datang.

Aku mengalihkan pandangan yang sedari tadi kepadamu menjadi ke sekitar. Masih suasana yang sama. Tidak ada hujan, tidak ada gerimis, tidak ada banjir, tidak ada macet, tidak ada telepon masuk, tidak ada sms -nya, tidak ada sesuatu hal yang bisa membuatku mengerti bahwa dia pasti punya alasan tidak bisa menepati perkataannya saat ini.

Aku meraih handphone - ku yang berada tidak jauh dari genggamanku. Mengotak - atiknya. Melihat disana sudah ada tujuh pemberitahuan bahwa pesan singkat yang kukirim sedari tadi ternyata gagal sampai kepadanya. Melihat disana tertera rentetan nomor sibuk - yang sedari tadi terus kucoba hubungi. Masih nomor yang sama. Nomornya.

Mungkin baterainya habis. Mungkin handphonenya mati. Mungkin tidak ada sinyal. Mungkin dia lupa. Atau mungkin, sedikit terlambat. Mungkin dia kena macet. Mungkin dia..

Semua kemungkinan - kemungkinan kini bergantian masuk ke dalam kepalaku. Masuk akal.

Tapi mengingat dia yang selalu konsisten, kemungkinan itu semakin lama semakin terasa tidak masuk akal.

Sudah! Aku benci seperti ini.

Dua ratus sembilan puluh tiga kali.

Dia tidak jadi datang.

Dan aku tinggal menunggu alasannya. Akhirnya, bisa kubuat semuanya sesederhana ini.

Dua ratus sembilan puluh tujuh..

Dia benar - benar tidak datang.

Dan ini sudah tiga ratus kali tepat kau bergerak. Jarum panjangmu kini sudah menunjuk pada angka dua belas tepat - yang sebentar lagi sudah pasti akan berpindah karena sekarang kau sedang bersiap - siap untuk melayangkan gerakan yang ke tiga ratus satu kalinya.

Aku menyudahi semuanya. Dia benar - benar tidak datang.

Mungkin saja dia lupa (Toh, kedatangannya kali ini cuma untuk hal sepele yang sebetulnya tidak pantas diperhitungkan bagi orang sesibuk dia)

***

Suara sepeda motor empat tak terasa berada di depan rumahku. Suara yang tidak kukenali. Dan bahkan sangat berbeda dengan suara sepeda motor miliknya. Huh..dia lagi. Dia tidak akan datang bukan ? Kenapa masih mengharapkannya ?

Ketukan pelan mengalir dari depan pintu.

Aku membukanya. Mataku tidak mempercayai apa yang sudah kulihat.

Tampak dia disana. Tersenyum tidak enak. Sementara aku mendadak sumringah kegirangan tak karuan.

Dia jadi datang!

Dia menepati perkataannya kemarin.

Terlihat ada bulir-bulir keringat menyeruak dari sisi - sisi rambutnya yang membasah. Mataku menyipit, meminta penjelasan.

"Maaf.." Katanya singkat. " Tadi ban motor saya pecah di jalan, jadi saya pakai motor kakak saya dulu,"

Aku mendengarkan penjelasannya.

Dia menengokmu sebentar, " Belum terlalu terlambat, kan ?"

Aku tersenyum puas, meskipun saat aku melihat kau, mungkin itu sudah lebih dari enam ratus gerakanmu yang baru saja kulewatkan.

"Kok saya telepon nggak bisa ?" Sambil mempersilakannya masuk, aku menanyakan hal yang terus - terusan membuat gusar sedari tadi.

"Handphone saya mati, sekaligus ketinggalan karena tadi buru - buru," Dia menyunggingkan senyum malu padaku. Buru - buru? Ternyata dia masih orang yang selalu konsisten.

" Saya ambilkan minum yah.." Tawarku ringan. "Mau minum apa ?"

Dia menggeleng. "Nggak usah repot - repot, nanti kita malah pulang terlalu malam, mendingan kita langsung berangkat sekarang, yah.."

Aku mengeryitkan keningku. "Hahaha..kamu kira saya masih umur berapa ? tunggu disini sebentar yah, saya ambilkan minum.."

Aku berjalan memunggunginya. Ada senyum kecil tersemat di wajahku. Senyuman hasil penepatan janji yang sudah aku tahan - tahan sedari kedatangannya. Aku senang. Mungkin lebih dari rasa senang. Bahagia mungkin. Entahlah, bahkan kata 'bahagia' mungkin tidak bakalan cukup untuk menggambarkan bagaimana perasaanku akan kedatangannya kali ini, bukan ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun