Mohon tunggu...
Chiavieth Annisa
Chiavieth Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Kenapa bercerai? "Anna, ini surat cerainya, kamu tinggal tanda tang... Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah : https://read.kbm.id/book/read/82d6fdcb-4cc0-45a3-988e-fa2598e8401a/b0fefe4b-0f92-4e4a-ac56-0793fcad5fa3

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Berharga dari Seorang Anak Kecil

24 Mei 2023   20:22 Diperbarui: 24 Mei 2023   20:32 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ridwan, mahasiswa di sebuah universitas baru saja keluar dari kampusnya untuk segera pulang. Di tengah jalan ia melihat sebuah Ampera yang pengunjungnya terlihat ramai. Kebetulan saat itu perutnya terasa lapar, ia pun memutuskan pergi ke sana.

      

Ampera itu berada di pinggir jalan. Jadi setiap kendaraan yang berlalu lalang di sana akan berhenti dan singgah untuk makan atau sekedar membelinya agar bisa di bawa pulang.

   

Ridwan segera memesan begitu tiba di sana, para pelayannya yang ligat, mampu melayani para pelanggan dalam waktu yang tak lama. Setiap pelanggan di sana, tak ada yang merasa kecewa ataupun mengeluh setiap kinerja yang mereka lakukan. Begitu juga dengan Ridwan, ia langsung menyantap makanan pesanannya tadi begitu terhidang di hadapannya. 

     

Jalanan begitu ramai membuat Ridwan sesekali memandang suasananya melalui jendela kaca. Dari balik kaca itu terlihat beberapa anak kecil yang sedang menjajakan dagangannya. Sorot matanya berubah ketika mendapati salah seorang sedang mendekat kearahnya. 

      

Ridwan sedikit terkejut, namun ia terus melanjutkan menyantap makanan yang masih tersisa di piringnya. Anak laki-laki kecil yang datang tadi menawarkan kue yang di jajakannya pada Ridwan, "Kak lihat, aku membantu ibuku menjual kue ini. Apakah kakak mau membelinya? Rasanya jelas enak loh!" Anak itu terlihat senang sekali, seolah itu buka beban sama sekali.

      

Ridwan tersenyum simpul, Maaf dek, sepertinya tidak dulu. Kakak masih sedang makan." sahutnya dengan ramah. 

      

Raut wajah anak kecil tadi berubah sendu, namun ia tak putus asa dengan satu orang yang di tawarinya. Setelah pamit pada Ridwan, ia beralih pada orang di tempat lain yang kebetulan orang itu baru selesai makan. Tetap dengan cara yang sama. "Maaf, tapi saya baru selesai makan dan perut ini sudah terlalu kenyang." tetap saja di tolak. 

Hufft... Namanya Hendri, ia sudah kelelahan berjualan sejak pukul 07.00 pagi . Saat itu juga, terlihatlah olehnya seseorang yang akan keluar dari sana setelah membayar ke kasir. Hendri lalu berjalan ke sana dan kembali menawarkan jualannya tanpa ada kata menyerah. Namun, tetap saja belum ada yang pembelinya.  

     

Hendri menatap toples di tangannya, lalu berpikir bagaimana caranya agar ibunya merasa senang dengan usahanya kali ini. "Baiklah, kali ini aku harus berjuang lebih baik lagi. Aku akan menawarkan cemilan ini pada orang-orang. Mungkin masih ada kesempatan selagi ini belum petang. Semoga saja cemilan ini habis terjual." batinnya dalam hati.

      

"Bismillahirrahmanirrahim." Hendri melanjutkan langkahnya setelah menutup kedua matanya sambil membaca basmalah.  

     

Tiba-tiba Ridwan keluar dari Ampera itu karena telah selesai makan dan berpapasan kembali dengan Hendri si anak yang menawarkan cemilan tadi padanya. 

      

Ridwan bersikap cuek, ia memilih bermain ponsel daripada memperhatikan Hendri yang keningnya sudah di penuhi keringat karena kelelahan. "Kak, bukankah kakak sudah selesai makan? Maaf saya kembali lagi, tapi apa kakak benar-benar tak tertarik dengan cemilan buatan ibuku ini?" Hendri masih tak malu menawarkan itu pada pemuda yang telah menolak membelinya. 

     

Ridwan mendongak, ia menatap setiap centi dari bagian tubuh anak kecil yang di hadapannya. Rasanya tak enak, jika menolak tawaran untuk kedua kalinya. Di lihatnya toples tersebut masih penuh, "Kasihan, pasti belum ada yang membeli sejak tadi." 

      

Kemudian ia mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh ribuan dari saku celananya, lalu memberikan uang itu pada Hendri. "Dek, kakak punya sedikit uang, ambillah. Ini bukan untuk membeli cemilan itu, anggap saja ini pemberian dari kakak." uang itu di masukkan kedalam saku baju di bagian dadanya.

Hendri menatap uang itu, "Ini... Aku tak bisa menerimanya, aku bukan pengemis yang meminta-minta pada setiap orang. Ini bukan berusaha namanya. Maaf kak, aku akan mengembalikan uang ini. Jika ibu tahu aku menerima uang bukan hasil dari jualan, ibuku akan marah." 

      

Hendri meraih tangan Ridwan, lalu uang itu kembali di taruhnya di atas telapak tangan Ridwan.

    

Sementara Ridwan sendiri malah garuk-garuk kepala kebingungan. "Aneh sekali, di kasih uang secara cuma-cuma, malah nggak mau. "Dek, kenapa kamu mengembalikannya pada kakak? Kakak ikhlas kok. Nanti jika ibumu marah, bilang saja kakak yang memberikannya. Pasti beliau tak akan marah lagi."

      

Hendri tersenyum, "Kalau kakak ingin memberikannya, lebih baik kakak berikan pada orang yang sedang berdiri di sana." telunjuknya mengarah pada anak-anak pengemis di tepi jalan yang jaraknya tak jauh dari sana.  

    

Ridwan semakin mengernyitkan dahi, "Kakak bisa saja memberikannya pada orang itu. Tapi bagaimana denganmu? Bukankah kamu sejak tadi juga lelah berjualan kesana-kemari. Sudahlah kalau tidak mau, aku pulang dulu. Lagipula jam segini akan sangat macet jika naik angkot." begi

     

Saat Ridwan hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba Hendri tadi kembali bicara. "Terima kasih perhatiannya kakak, sebenarnya aku sudah janji pada ibu, akan menjual cemilan ini sampai habis. Jadi ibu akan tahu bahwa hasilnya itu adalah kerja kerasku, dan tentu saja aku bangga dengan usahaku. Ibuku tak menyukai jika aku seperti mereka." tunjuknya kembali mengarah pada para pengemis tadi. 

     

Ridwan tertegun mendengar semua itu. Kata-katanya seolah seperti orang dewasa yang membuatnya terkagum-kagum. "Padahal ia masih sangat kecil, tapi pikirannya bijak sekali. Memang benar, berusaha itu lebih terhormat walaupun tidak bisa sukses."

      

Tanpa di duga Ridwan berbalik, dan kembali mengejar Hendri yang berjarak 10 meter lebih darinya. Ternyata setelah berkata demikian, Hendri langsung pergi begitu saja. 

      

"Dek, tunggu sebentar," seru Ridwan sambil melambaikan tangan pada anak kecil tadi.

      

Hendri menoleh, mendapati Ridwan tengah berlari kearahnya. Begitu tiba di hadapanya, Ridwan kembali menormalkan kembali nafasnya yang sempat terengah-tengah. "Ada apa kak? Apa ada yang tertinggal?" tanya Hendri padanya. 

       

"Biar, aku beli saja semua cemilan itu. Coba kamu hitung semua, berapa jumlahnya. Setelah itu kakak akan membayarnya sesuai dengan harga perbijinya." ucap Ridwan dengan ekspresi datar. 

      

Hendri menghitungnya satu persatu, walaupun ia tak pernah menginjak bangku pendidikan, ibunya sering mengajarkannya berhitung serta mengalikan bilangan sesuai harga satuannya".

    

Ridwan memperhatikan dengan seksama. Ia berinisiatif memborongnya bukan karena apapun, tapi ia suka cara berpikir anak seumuran kelas 3 SD itu sangat positif. "Bekerja adalah sebuah kehormatan yang mencerminkan kemuliaan".

Setelah menghitungnya, Hendri menyebutkan jumlah isi toples tersebut, lalu Ridwan membantu menghitung total harga yang akan di a bayar dengan kalkulator di ponselnya. "Semuanya, 75 ribu rupiah dek. Ini uangnya." Ridwan kembali menyerahkan beberapa lembar uang kertas ke tangan Hendri. 

       

Dengan senyum yang merekah, ia menerimanya, bisa di tebak suasana harinya saat ini bagaimana. "Maaf dek, sejak tadi kita sudah mengobrol banyak, kakak belum tahu namanya siapa?" tanya Ridwan setelah meraih toples tersebut.

     

"Hendri kak, namaku Hendri. Makasih banyak ya kak. Ibu pasti senang dengan semua ini. Kalau begitu aku pamit dulu." Anak itu melesat pergi begitu saja, Ridwan memperhatikan punggungnya hingga lenyap dari pandangan matanya. 

"Ibu... Aku pulang... Cemilan tadi habis terjual Bu." Hendri bersorak saking senangnya begitu tiba di depan sebuah pondok kecil beratapkan rambia.

      _______

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun