(7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa.Â
(8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota.Â
(9) Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Merujuk pada ayat (8) dan (9) , Pasal 8 UU 13/2011, Bupati/Walikota dan Gubernur adalah pihak yang turut bertanggungjawab atas DTKS. Serta dapat melakukan perubahan dalam keadaan tertentu (seperti wabah covid-19), merujuk pada ayat (6).
Sepengetahuan saya, sampai saat ini, DTKS adalah satu-satunya data skala nasional yang digunakan  semua sektor yang membutuhkan, dan oleh Kemensos digunakan untuk melaksanakan program PKH dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), dan dalam sejarahnya juga sebagai data  untuk BLT dua kali putaran periode Presiden SBY.
Bagi Kemensos, PKH dan BPNT adalah program unggulan Pemerintah, dan sudah berjalan bertahun-tahun sebagai program reguler untuk orang miskin. Karena wabah covid-19 ini, Presiden Jokowi membuat kebijakan terkait kedua program itu dengan meningkatkan besaran biayanya, dan cakupan pesertanya, karena beratnya dampak covid-19.
Jadi, untuk PKH dalam bentuk pemberian uang tunai sudah clear, dan BPNT dalam bentuk sembako juga sudah clear dan berjalan selama ini. Tetapi ada penugasan tambahan dari Presiden Jokowi untuk Mensos, menyalurkan Bantuan Presiden (Banpres), untuk Jakarta  dan Botabek.
Sasarannya adalah mereka yang terdampak pekerja harian, yang perusahaannya tutup karena PSBB, pedagang kali lima, pekerja bangunan, pekerja swalayan, eceran, Ojol, yang juga terdampak PSBB. Mereka ini sangat banyak jutaan orang. Mereka ini disiapkan sembako dengan judul  Banpres. Siapa yang bertanggungjawab atas data mereka?. Kemensos tidak pegang data itu.
Datanya dan siapa orangnya diajukan oleh RT/RW setempat dan dikompilasi oleh Gubernur dan Bupati/Walikota se Jabodetabek. Disinilah banyak persoalan, ada yang salah sasaran, ada yang menolak karena merasa tidak berhak, dan ada yang ribut tidak dapat, sedangkan namanya sudah di data. Macam-macamlah persoalan di masyarakat itu. Kemensos tidak berdaya karena terkait data diluar kendali mereka. Kewajibannya sesuai penugasan menyalurkan Banpres tersebut. Apa boleh buat itulah resiko sebagai penyelenggara negara.
Soal BLT, lain lagi persoalannya. Kebijakan pemberian uang tunai bagi mereka yang menjadi miskin karena covid-19, sehingga  kehilangan pendapatan, khususnya terkait kebijakan PSBB, ditugaskan kepada Kemensos, diluar anggaran APBN reguler Kemensos, mendapatkan alokasi dana BLT untuk  9 juta keluarga, dan dari Dana Desa Kemendes, dilokasikan BLT untuk 10 juta keluarga.
Kemensos membuat kebijakan, yang cukup fair, bahwa bagi mereka yang mendapat PKH dan BPNT (karena unit cost nya sudah ditingkatkan) tidak lagi mendapatkan dana BLT. Disinilah "mencak-mencaknya" Bupati Boltim, karena sembako tidak boleh diberikan, sementara BLT belum datang, disamping soal nomor rekening. Soal nomor Rekening Itukan persoalan teknis bisa diselesaikan dengan Himbara (Himpunan Bank Negara), dan tidak perlu berbulan-bulan. Kondisi tersebut terkesan di besar-besarkan. Dan menuding menteri goblok, waddoohh.