Dalam seminggu ini kita banyak disuguhi video yang viral kemarahan seorang Bupati di wilayah propinsi Sulawesi Utara, di suatu Kabupaten kecil bernama Bolaang Mongondow Timur ( Boltim), yang kecewa dengan simpang siurnya data dan kebijakan pemberian bantuan sosial darurat bencana bagi terdampak wabah Covit-19.
Jika kita dengar kemarahan Bupati itu seolah-olah sudah sampai ke ubun-ubun, dan sakin jengkelnya menyebut menteri goblok, walaupun tidak berani secara langsung menyebutkan siapa nama menteri goblok dimaksud.
Setidaknya ada beberapa menteri yang terlibat soal bantuan sosial darurat bencana itu, mulai dari Mendagri, Mensos, Menteri Desa, dan Menteri Tenaga Kerja. Â Kepada menteri mana yang dituduh goblok, karena terkait BLT, dan dana BLT Â bersumber dari Dana Desa, dan dari Kemensos, kita paham siapa yang jadi sasaran.
Para menteri  yang terkait dengan bansos darurat bencana setahu kami tidak ada yang merespons secara langsung komplain Bupati Boltim,  hanya Mensos menjelaskan dengan tenang bagaimana proses pendataan dan distribusi bantuan, dan peranan Pemda setempat.  Semuanya memang  harus serba cepat, dan tepat sasaran. Jadi tidak dipungkiri dalam prosesnya ada yang tidak berjalan dengan cepat dan mungkin ada yang tidak tepat sasaran, disitulah sebenarnya peran Bupati yang harus kuat melakukan pengendalian dilapangan, didukung perangkat Gugas tiap daerah.
Yang hebatnya Bupati Lumajang Thoriqul Haq (TH) marah besar sama Bupati Boltim SSL (Sehan Salim Landjar). Dapat dimaklum Bupati Lumajang politisi PKB, satu partai dengan salah satu menteri yang di label "goblok" oleh SSL.
Seolah memarahi anak buahnya, Bupati Thoriq teriak "Bupati Bolaang Timur ingat itu. Kerja keras kita semua kerja. Soal ruwet memang ruwet. Kalau sekarang banyak masalah memang banyak masalah, diselesaikan," kata Bupati Thoriq dalam video Selasa (5/5/2020).
"Jangan menyalahkan menteri dan jangan membodohkan menteri. Jangan-jangan anda yang salah urus," imbuhnya.
Bupati Boltim SSL, tidak mau kalah. Apa katanya dalam video yang berdurasi 3 menit 57 detik itu, "Itu kan diatas 12 persen miskinnya. Di Lumajang kan banyak peminta-minta, kalau kita kan tidak ada satu pun. Beda dong. Saya bicara regulasi. Yang kedua, dari Menteri Sosial itu rekrutnya gampang. Dalam surat edaran (SE) Menteri Sosial kita diberi kuota 4446. Kita rekrut gampang yang sulit itu untuk menerimakan dipersyaratkan harus membuka rekening," katanya.
"Lha di situ juga saya protes. Rakyat terima Rp 600 ribu tapi rakyat harus keluarkan uang Rp 250 ribu sampai Rp 450 ribu. Pergi pulang ke bank Rp 200 ribu, buka rekening bank Rp 150, kalau dapat lagi ambil duitnya," lanjutnya.
Menurutnya, tidak ada bank yang sanggup menerbitkan buku rekening lebih dari 30 buah. Kalau 4446 buah rekening bank maka diperlukan 5 bulan.
"Mangkanya saya mencak-mencak itu ada dua hal pertama kayaknya saya tidak boleh berikan beras tapi BLT nya belum datang. Untuk Bupati Lumajang anda perlu ingat anda cuma kasih 5 kilo, saya minimal 15 kilo dan saya beri beras premium dan saya tidak potong dari PNS," papar dia.
Dia mengaku tidak mau memotong gaji PNS karena itu merupakan hak keluarganya.
"Itu milik keluarganya mangkannya saya tidak potong. Kalau anda kasih 5 kilo udah rasanya deh. Kalau saya tidak. Bahkan ibu-ibu yang diberi supermi dan beras 5 kilo, saya kasih 2 juta. Perempuan 65 tahun ke atas saya kasih 2 juta dalam JHT dan beras 10 kilo. Ini sudah tahun ke 4. Rasanya lucu saja dengan bupati itu Urus saja rakyatmu. Kalau dengan menteri biarkan saya berdebat dengan menteri supaya ada bantuan dari pusat masak rakyat miskin keluar uang lebih dari separuh," tandasnya.
Perbedaan ini sebenarnya sesuatu yang positif. Menunjukkan para Bupati itu begitu besar perhatiannya dalam membantu rakyatnya yang terdampak covid-19. Karena mereka penguasa daerah, dan bertanggungjawab atas daerahnya masing-masing, ada ketersinggungan atas komentar Bupati Lumajang terhadap Bupati Boltim. Sebab mereka itu hakekatnya berada pada level jabatan yang sama.
Idealnya, adalah apa yang disampaikan Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Sang Bupati dengan jelas mengutarakan apa yang sedang dan telah dilakukan untuk menyalurkan bantuan sosial darurat bencana, dengan  berbagai jenis bantuan baik yang bersifat cash transfer maupun in-kind transfer. Tentu dengan berbagai problem serta strategi penyelesainnya, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya sebagai Bupati.
Kita yang mendengarnya juga dapat paham dan mengerti progress yang telah dilaksanakan. Tidak dengan marah-marah dan teriak-teriak. Maklum, beliau pernah menjadi anggota DPR dan saya bersamanya pernah satu tim menyusun UU Tentang Penanggulangan Bencana.
Sebaiknya Mendagri cepat meredam perdebatan di media sosial apalagi via video. Caranya bagaimana sudah pahamlah Pak Menteri, apalagi mantan Kapolri. Supaya persoalan ini tidak  merembes ke persoalan politik, dan terbelahnya para Bupati / Walikota pada pro dan kontra, baik secara terbuka maupun dibelakang layar. Apalagi sudah menjalar ke level Lurah, seperti yang diungkapkan oleh Lurah Propinsi Jawab Barat,, terkait bansos ini.
Kita sangat mengapresiasi, bagaimana Gubernur Jawa Barat dan DKI Jakarta, saling bahu membahu, membangun komunikasi, koordinasi, dan aliansi, agar semua proses yang berkaitan penanganan medis mereka yang ODP, PDP, dapat teratasi, demikian juga terkait dengan  bantuan sosial darurat bencana.
Kedua Kepala Daerah ini dengan sabar mengikuti ritme Pemerintah Pusat, dengan Kepala dingin, termasuk kesabaran untuk mendapatkan ijin PSBB dari Menkes, dan juga pembatasan transportasi dari Menhub. Kita semua berharap kedua figur ini, dapat menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Bagaimana dengan Pemerintah Pusat
Perlu kita pahami, bahwa Kabinet Indonesia Maju di Pimpin Presiden Jokowi, kebijakan bersifat sentralistik. Â Para menteri tidak boleh membuat kebijakan strategis ( maka itu tidak ada yang mananya visi dan misi kementerian). Semua kebijakan strategis keluar dari Kantor Presiden. Jangan heran, di Istana Negara itu, banyak sekali tim pendukung Presiden. Ada KSP, ada Staf khusus, staf khusus milenial, disamping Sekkab dan Mensekneg.
Tetapi jangan lupa ada beberapa menteri yang menjadi think tank Presiden Jokowi, dan punya pengaruh besar dalam mempengaruhi kebijakan Presiden. Siapa itu sudah terbacalah di berbagai media. Walaupun sudah ada Tim Gugas Covid-19, dengan kekuatan dua Keppres yang memayungi Tim Gugas, tetapi masyarakat merasakan peran dominan menteri tertentu dalam kebijakan pelaksanaan PSBB.
Saat ini, ada dua kementerian yang kerjanya ekstra keras sesuai dengan tupoksinya. Yaitu Kementerian Kesehatan (aspek medis), kekarantinaan kesehatan masyarakat, dan PSBB, serta Kementerian Sosial terkait data dan penyaluran bantuan sosial darurat bencana.
Saya sudah menulis 2 artikel tentang bantuan sosial terkait darurat bencana, pada link dibawah ini,  yang memberikan masukan soal data dan unifikasi bantuan sosial, tetapi  rupanya tidak mudah karena terkait dengan program reguler Kemensos yang beririsan dengan bansos bantuan Presiden dan dari sektor lainnya.Â
http://www.jurnalsocialsecurity.com/news/bantuan-sosial-dampak-covid-19-yang-terintegrasi.html
Soal data, Kemensos sudah mempunyai DTKS ( Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), yang setiap 3 bulan di verifikasi dan validasi. Awalnya sumber data ini dari BPS, kemudian disempurnakan (verifikasi dan validasi terus menerus oleh Kemensos), sesuai dengan mandat UU Nomor 13/2011, tentang Penanganan Fakir Miskin.
Kita simak Pasal 8 ayat (1)Menteri (Mensos) Â menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin.Â
(2) Dalam menetapkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.Â
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik untuk melakukan pendataan.Â
(4)Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan statistik sebagaimana dimaksud pada ayat (3).Â
(5)Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali.Â
(6) Verifkasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan apabila terjadi situasi dan kondisi tertentu yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi seseorang menjadi fakir miskin.Â
(7) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang ada di kecamatan, kelurahan atau desa.Â
(8) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaporkan kepada bupati/walikota.Â
(9) Bupati/walikota menyampaikan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
Merujuk pada ayat (8) dan (9) , Pasal 8 UU 13/2011, Bupati/Walikota dan Gubernur adalah pihak yang turut bertanggungjawab atas DTKS. Serta dapat melakukan perubahan dalam keadaan tertentu (seperti wabah covid-19), merujuk pada ayat (6).
Sepengetahuan saya, sampai saat ini, DTKS adalah satu-satunya data skala nasional yang digunakan  semua sektor yang membutuhkan, dan oleh Kemensos digunakan untuk melaksanakan program PKH dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), dan dalam sejarahnya juga sebagai data  untuk BLT dua kali putaran periode Presiden SBY.
Bagi Kemensos, PKH dan BPNT adalah program unggulan Pemerintah, dan sudah berjalan bertahun-tahun sebagai program reguler untuk orang miskin. Karena wabah covid-19 ini, Presiden Jokowi membuat kebijakan terkait kedua program itu dengan meningkatkan besaran biayanya, dan cakupan pesertanya, karena beratnya dampak covid-19.
Jadi, untuk PKH dalam bentuk pemberian uang tunai sudah clear, dan BPNT dalam bentuk sembako juga sudah clear dan berjalan selama ini. Tetapi ada penugasan tambahan dari Presiden Jokowi untuk Mensos, menyalurkan Bantuan Presiden (Banpres), untuk Jakarta  dan Botabek.
Sasarannya adalah mereka yang terdampak pekerja harian, yang perusahaannya tutup karena PSBB, pedagang kali lima, pekerja bangunan, pekerja swalayan, eceran, Ojol, yang juga terdampak PSBB. Mereka ini sangat banyak jutaan orang. Mereka ini disiapkan sembako dengan judul  Banpres. Siapa yang bertanggungjawab atas data mereka?. Kemensos tidak pegang data itu.
Datanya dan siapa orangnya diajukan oleh RT/RW setempat dan dikompilasi oleh Gubernur dan Bupati/Walikota se Jabodetabek. Disinilah banyak persoalan, ada yang salah sasaran, ada yang menolak karena merasa tidak berhak, dan ada yang ribut tidak dapat, sedangkan namanya sudah di data. Macam-macamlah persoalan di masyarakat itu. Kemensos tidak berdaya karena terkait data diluar kendali mereka. Kewajibannya sesuai penugasan menyalurkan Banpres tersebut. Apa boleh buat itulah resiko sebagai penyelenggara negara.
Soal BLT, lain lagi persoalannya. Kebijakan pemberian uang tunai bagi mereka yang menjadi miskin karena covid-19, sehingga  kehilangan pendapatan, khususnya terkait kebijakan PSBB, ditugaskan kepada Kemensos, diluar anggaran APBN reguler Kemensos, mendapatkan alokasi dana BLT untuk  9 juta keluarga, dan dari Dana Desa Kemendes, dilokasikan BLT untuk 10 juta keluarga.
Kemensos membuat kebijakan, yang cukup fair, bahwa bagi mereka yang mendapat PKH dan BPNT (karena unit cost nya sudah ditingkatkan) tidak lagi mendapatkan dana BLT. Disinilah "mencak-mencaknya" Bupati Boltim, karena sembako tidak boleh diberikan, sementara BLT belum datang, disamping soal nomor rekening. Soal nomor Rekening Itukan persoalan teknis bisa diselesaikan dengan Himbara (Himpunan Bank Negara), dan tidak perlu berbulan-bulan. Kondisi tersebut terkesan di besar-besarkan. Dan menuding menteri goblok, waddoohh.
Kemensos sudah memberikan quota penerima BLT tiap Kab/Kota, dan wewenang Bupati/Walikota untuk menetapkan siapa yang berhak menerimanya. Yang penting jangan double dengan penerima PKH dan BPNT. Clear kan.
Jika Bupati ingin menambahkan bantuan untuk peserta PKH dan BPNT, silahkan gunakan APBD masing-masing. Jelaskan?. Pilihanya ada ditangan Bupati/Walikota.
Diharapkan  Bupati dan Walikota bekerja dalam kerangka seperti yang diuraikan diatas, dan Mendagri melakukan pengendalian, pembinaan dan komunikasi yang  itensif, persuasif, dan menjadi mediator dalam berbagai perbedaan antara pusat dan daerah, di yakini tidak akan ada kata-kata yang tidak baik keluar dari mulut  Bupati dan menjadi pembicaraan di masyarakat yang dapat menjatuhkan martabat kita sebagai bangsa.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H