Mohon tunggu...
charla SusantiSE
charla SusantiSE Mohon Tunggu... Administrasi - Bekerja sebaga Pegawai Negeri Sipil

AnalisPertahanan Negara Ahli Muda Setditjen Pothan Kemhan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aturan PSE Kominfo Niat Baik Bertaburan Pasal-pasal Problematika

18 Januari 2023   09:30 Diperbarui: 18 Januari 2023   09:42 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir Juli 2022 lalu, Kominfo menggegerkan publik, karena telah melakukan pemblokiran terhadap beberapa situs dan aplikasi. Mulai dari Steam, Yahoo Search Engine, hingga Paypal. Pemblokiran itu sendiri dilakukan sebagai tindak lanjut penegakan Permenkominfo nomor 5 tahun 2020.[1]

Dalam aturan tersebut, Kominfo mewajibkan seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) mendaftar ke Online Single Submission (OSS) milik pemerintah. Tujuannya untuk mengelola ekosistem serta ruang digital lebih aman dan teratur.

Karena beberapa platform digital belum mendaftarkan layanannya hingga tenggat waktu yang ditentukan, akhirnya Kominfo memblokir situs dan aplikasi tersebut. Masyarakat pun terkena imbasnya, karena tak bisa menggunakan sejumlah platform untuk mendukung produktivitasnya.

Di samping itu, meski tujuan pemerintah baik dalam menetapkan aturan PSE, namun kebijakan itu sendiri tak terlepas dari berbagai polemik. Salah satunya yaitu banyaknya pasal-pasal karet yang dinilai problematik, sehingga dikhawatirkan akan meresahkan masyarakat di kemudian hari.

Mengenal Lebih Dekat Aturan PSE Rancangan Kominfo

Sebelum menganalisa beberapa isi pasal Permenkominfo tentang PSE yang dinilai problematik, ketahui terlebih dahulu awal mula pembuatan kebijakan ini. Peraturan Menteri Kominfo nomor 5 tahun 2020 ini sendiri sebenarnya telah dirancang sejak lama.

Peraturan itu merupakan turunan PP nomor 71 tahun 2019 tentang PSE. Kemudian, kebijakan itu berubah menjadi PP Nomor 82 Tahun 2012 dan direvisi lagi hingga berlaku mulai 10 Oktober 2020 lalu.[2]

Hingga akhirnya terbentuk Permenkominfo nomor 8 tahun 2020 yang menjadi dasar hukum kewajiban perusahaan digital mendaftar PSE Lingkup Privat ke Kominfo. Peraturan ini berlaku untuk semua perusahan digital yang beroperasi di Indonesia, baik lokal maupun asing.

PSE Lingkup Privat ini sendiri mencakup berbagai jenis layanan digital dan online. Mulai dari aplikasi perbankan, marketplace, streaming, game, hingga media sosial dan instant messaging. Sebut saja Facebook, WhatsApp, Google, TikTok, YouTube, Shopee, Netflix, dan masih banyak lagi.

Menurut Kominfo, kewajiban pendaftaran PSE Lingkup Privat ini memiliki empat tujuan utama[3], yaitu:

  • Menciptakan sistem yang lebih terkoordinasi untuk seluruh PSE yang beroperasi di Indonesia.
  • Menjaga ekosistem dan ruang digital di Indonesia agar lebih aman dan teratur.
  • Melindungi seluruh masyarakat Indonesia dalam mengakses ruang digital dari berbagai layanan situs, aplikasi, dan platform yang ada.
  • Mewujudkan keadilan bersama, terutama berkaitan dengan kebijakan pemungutan pajak yang berlaku.

Untuk menegakkan aturan itu, sebelumnya Kominfo telah mengingatkan semua layanan PSE agar segera mendaftarkan layanannya paling lambat 20 Juli 2022. Namun, karena sejumlah penyedia layanan digital belum mendaftar, akhirnya Kominfo terpaksa memblokir layanan mereka.

Hal itu yang menimpa tujuh platform digital, seperti EpicGames, DOTA, PayPal, Steam, Yahoo Search Engine, Game CS, dan Origin. Menyusul kemudian sejumlah situs judi online ikut diblokir, seperti Domino Qiu Qiu, MVP Domino, Pop Poker, Ludo Dream, Pop Gaple, Topfun, dll.[4]

Dampak Gencarnya Pemblokiran Kominfo

Pemblokiran sejumlah platform digital yang dilakukan Kominfo telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Banyak orang yang terdampak akibat pemblokiran itu, terutama para pekerja yang mengandalkan PayPal untuk transaksi dengan klien luar negeri.

Apalagi, wacana pemblokiran itu juga masih akan terus berlanjut dan besar kemungkinannya menarget aplikasi-aplikasi digital lain. Otomatis warganet pun kesal dan ramai-ramai mengkritik kebijakan Kominfo lewat tagar #BlokirKominfo, termasuk membuat petisi di Change.org.[5]

LBH Jakarta juga menilai pemblokiran yang dilakukan Kominfo itu adalah hal sewenang-wenang dan merugikan masyarakat. Shaleh Al Ghifari, pengacara LBH Jakarta menyebutkan jika pemerintah suka memakai jargon yang mendukung ekonomi kreatif dan literasi digital, tapi justru bertindak sebaliknya.[6]

Meskipun bertujuan baik, namun pemblokiran paksa terhadap sejumlah platform digital membawa banyak dampak yang merugikan masyarakat, di antaranya:

1. Menghambat Ekonomi Digital

Saat ini banyak orang menggantungkan nasibnya dengan bekerja dan mencari penghasilan dari internet. Mulai dari berjualan online, membuka jasa profesional berbasis digital kepada orang luar negeri, hingga berjejaring antar perusahaan lintas negara.

Tentunya semua kegiatan itu memerlukan layanan digital yang dapat diandalkan, mulai dari email, teleconference, transaksi keuangan, dan banyak lagi. Salah satu contohnya adalah penggunaan PayPal untuk transaksi, Google untuk email, transfer data, kolaborasi dengan tim, dll.

Jika berbagai aplikasi penting itu sampai diblokir, otomatis akan menghambat aktivitas perekonomian warga di ranah digital. Masyarakat kesulitan bertransaksi, menjalin relasi, hingga berakhir tidak mendapat penghasilan penuh seperti biasanya.

2. Memungkinkan Sejumlah PSE Menghentikan Layanan di Indonesia

Kebijakan Kominfo yang mengharuskan semua PSE mendaftar ke OSS pemerintah juga bisa menimbulkan kontra di pihak PSE, terutama layanan asing. Bisa jadi mereka tidak menyetujui aturan tersebut, sehingga terpaksa menghentikan semua layanannya di Indonesia.

Otomatis, masyarakatlah yang kembali terkena imbasnya. Seharusnya masyarakat bisa leluasa menikmati layanan digital dari aplikasi tertentu, tapi perusahaan aplikasi bersangkutan justru enggan membuka layanannya di Indonesia.

3. Masyarakat Tidak Punya Banyak Pilihan

Ketika banyak platform digital penting diblokir, pilihan masyarakat menjadi sangat terbatas. Contohnya, saat PayPal diblokir, masyarakat dituntut mencari aplikasi pengganti. Namun, ini bukan hal mudah mengingat tak banyak aplikasi sejenis dengan keunggulan setara.

Atau misalnya pemerintah menciptakan aplikasi baru buatan sendiri sebagai solusi. Tentu kualitasnya masih sangat diragukan. Apalagi, pembuatan sebuah platform digital butuh waktu yang tidak sebentar. Masyarakat pun tidak bisa mendapatkan layanan secara optimal.

Banyak Pasal Problematik

Di samping menimbulkan banyak dampak negatif, sebenarnya dari sisi aturan PSE sendiri masih kontroversial. Banyak pihak menilai Permenkominfo nomor 5 tahun 202 itu memuat pasal-pasal karet yang problematik dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, di antaranya:

1. Rentan Kriminalisasi Akibat Konten Dianggap 'Meresahkan'

Dalam pasal 9 ayat 3, PSE Lingkup Privat wajib memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi yang dilarang dan meresahkan. Kebijakan serupa juga dinyatakan dalam pasal 14 ayat 3 yang membahas permohonan terhadap konten meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.[7]

Penggunaan frasa 'meresahkan' dalam pasal-pasal itu sangatlah multitafsir dan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Hal ini memungkinkan pemerintah, lembaga, atau oknum berkepentingan lainnya melakukan tindakan represif hingga kriminalisasi.

Sedikit-sedikit dianggap meresahkan. Masyarakat pun terancam tak lagi memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, terutama ketika ingin mengkritik pemerintah. Nanti bisa dinilai meresahkan dan akhirnya dikriminalisasi. Tentu sangat disayangkan ini terjadi di negara demokrasi.

2. Data Pribadi Menjadi Taruhan

Pasal 36 berisi 3 ayat yang menyebutkan, PSE Lingkup Privat memberikan akses data dan informasi pengguna terhadap aparat penegak hukum. Pasal ini juga sangat problematik, karena berpotensi membuka data-data pribadi pengguna platform digital tanpa seizin pengguna.

Apalagi, pasal ini berkaitan dengan pasal 14 ayat 1 tentang pihak-pihak yang dapat melakukan permohonan pemutusan akses informasi. Yakni masyarakat, pemerintah, lembaga peradilan, dan aparat penegak hukum. Pasal ini dinilai terlalu luas, hingga rentan disalahgunakan.[8]

Pada dasarnya, rangkaian kebijakan Kominfo bisa diapresiasi dari niat dan tujuannya yang baik untuk menciptakan kedaulatan dalam ruang digital. Namun, dari beberapa isi pasal yang ada perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.

Hal ini bukan hanya menyangkut pemblokiran sejumlah aplikasi yang akhirnya menghambat ekonomi digital. Tapi juga sejumlah pasal karet yang disinyalir mengancam hak privasi dan hak berekspresi. Tentu aturan itu jelas-jelas menyalahi Hak Asasi Manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun