sebuah versi kisah Lembu Suro
Satu
kelahiranmu pinta aku putari jagat,
seru pada alam, sekalian anjing liar melolong,
sekawanan gagak menyerak di atap rumah-rumah
dan geram segenap hewan buas
kudirikan puja di legah tegal lapang
pilihan dewata bagi ruang
kau kubur aku
Â
berapa lama lagi waktu itu
hari, bulan, windu jejaki kedaraanmu
riapi percik api puja
Â
aku luru tuah batu hitam untuk kubur,
aku bangkitkan ruh beribu lembu jantan
dan gembalakan untukmu
di pusat padang batu keramat pilihan
demi malam melelahkan dinanti;
namun adakah semua itu kubur aku
hendak kuputar taman Sriwedari
bagi pangkuanmu seorang
Â
tapi bukan itu lontar yang tinggal padaku
langit merah, kokok ayam, dan keramaian
layaknya pagi adalah tanda bagiku
lagi pula kejemuan tempuh puluhan kota
bekukan kuda kaki-kaki keretaku;
bawakan janji pertemuan denganmu
Â
dan bila saat itu tiba kau 'kan tertegun
malam-malammu 'kan memimpi lelaki
berotot barisan panjang beribu lembu jantan
yang sanggup gali ke dasar bumi
Â
Dua
selalu seperti kau tatap dasar sumur
sisir kembali jejak langkah
waktu tinggalkan taman keputren
tuju penggalian tempat keramat
yang kini jadi tungku pengikat
lambaikan selendang hijau
lelap gelisah mimpi
dari abad-abad lewat
Â
gemuruh angin
suruk tebing dinding
bawa gamelan kayangan
kibar hitam rambutmu
duh, perempuan berdada kencana
amukku amuk ruh beribu lembu jantan
berderap turuni kepundan
warnai langit dengan busa abu
lindas seluruh yang ada
Â
selalu seperti kau turuni gunung
jalan sejingkat agar tak bangun aku
tapi riap aroma kulitmu
panasi seluruh sisa darahku
hempas tidur penuh igau
Â
windu-windu terlempit di dinding kepundan
seperti bangun di pinggir setumpuk kitab
cari matahari yang selalu jauh
'pabila bayang purnama terangi tempat ini
terdengar kidung kayangan
duh, jiwa kuyu terperam layu
mengapa pilih gelap ceruk
lekuk tekuk kepundan...
Â
selalu, selalu, dan 'kan selalu seperti kau
menatap ke dasar
dalam temaram malam senandung purnama
kau sembahkan angin, korban-korban, sesaji
beribu manusia kau perintah;
adakah tuah hitam batu bumi kubur sukmaku
duh, kidung panjang sangkakala yang jauh!
Â
Tiga
suatu ketika, pasti, ada
'rontak tiap gusarku ini
juga gelisah resahi kodrat
bahwa mulut kepundan mudah
didaki, dan sekali
gedruk gemeluduk
bumi kayangan;
menangislah aku lalu
jiwa penggelisah ini
[memang harus] terkurung,
dan diam;
bahwa di dasar gunung ini
sembilan cinta berkekuatan lembu
terperipih,
sedang langit,
peteduh satu kita,
arak teratai:
bagaimana, bagaimana teguh terus
dalam kekelaman ikhlas
sementara jiwa
melenguh lunglai
Â
maka, berdoalah, untuk aku, putri
dari tiap suci wirid perawanmu
agar abu yang menyampiri angkasa,
semelang gemeluduk bumi dan langit
jelma puja;
maka, doani mana pintakan ini,
selain engkau, kasih:
bagi tiap jengkal kekalku!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H