Mohon tunggu...
chandra krisnawan
chandra krisnawan Mohon Tunggu... SWASTA -

pekerja logistic di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dongeng Tiga Babak

24 Agustus 2016   20:55 Diperbarui: 24 Agustus 2016   21:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Puncak kepundan dari jauh"

sebuah versi kisah Lembu Suro

Satu

kelahiranmu pinta aku putari jagat,

seru pada alam, sekalian anjing liar melolong,

sekawanan gagak menyerak di atap rumah-rumah

dan geram segenap hewan buas

kudirikan puja di legah tegal lapang

pilihan dewata bagi ruang

kau kubur aku

 

berapa lama lagi waktu itu

hari, bulan, windu jejaki kedaraanmu

riapi percik api puja

 

aku luru tuah batu hitam untuk kubur,

aku bangkitkan ruh beribu lembu jantan

dan gembalakan untukmu

di pusat padang batu keramat pilihan

demi malam melelahkan dinanti;

namun adakah semua itu kubur aku

hendak kuputar taman Sriwedari

bagi pangkuanmu seorang

 

tapi bukan itu lontar yang tinggal padaku

langit merah, kokok ayam, dan keramaian

layaknya pagi adalah tanda bagiku

lagi pula kejemuan tempuh puluhan kota

bekukan kuda kaki-kaki keretaku;

bawakan janji pertemuan denganmu

 

dan bila saat itu tiba kau 'kan tertegun

malam-malammu 'kan memimpi lelaki

berotot barisan panjang beribu lembu jantan

yang sanggup gali ke dasar bumi

 

Dua

selalu seperti kau tatap dasar sumur

sisir kembali jejak langkah

waktu tinggalkan taman keputren

tuju penggalian tempat keramat

yang kini jadi tungku pengikat

lambaikan selendang hijau

lelap gelisah mimpi

dari abad-abad lewat

 

gemuruh angin

suruk tebing dinding

bawa gamelan kayangan

kibar hitam rambutmu

duh, perempuan berdada kencana

amukku amuk ruh beribu lembu jantan

berderap turuni kepundan

warnai langit dengan busa abu

lindas seluruh yang ada

 

selalu seperti kau turuni gunung

jalan sejingkat agar tak bangun aku

tapi riap aroma kulitmu

panasi seluruh sisa darahku

hempas tidur penuh igau

 

windu-windu terlempit di dinding kepundan

seperti bangun di pinggir setumpuk kitab

cari matahari yang selalu jauh

'pabila bayang purnama terangi tempat ini

terdengar kidung kayangan

duh, jiwa kuyu terperam layu

mengapa pilih gelap ceruk

lekuk tekuk kepundan...

 

selalu, selalu, dan 'kan selalu seperti kau

menatap ke dasar

dalam temaram malam senandung purnama

kau sembahkan angin, korban-korban, sesaji

beribu manusia kau perintah;

adakah tuah hitam batu bumi kubur sukmaku

duh, kidung panjang sangkakala yang jauh!

 

Tiga

suatu ketika, pasti, ada

'rontak tiap gusarku ini

juga gelisah resahi kodrat

bahwa mulut kepundan mudah

didaki, dan sekali

gedruk gemeluduk

bumi kayangan;

menangislah aku lalu

jiwa penggelisah ini

[memang harus] terkurung,

dan diam;

bahwa di dasar gunung ini

sembilan cinta berkekuatan lembu

terperipih,

sedang langit,

peteduh satu kita,

arak teratai:

bagaimana, bagaimana teguh terus

dalam kekelaman ikhlas

sementara jiwa

melenguh lunglai

 

maka, berdoalah, untuk aku, putri

dari tiap suci wirid perawanmu

agar abu yang menyampiri angkasa,

semelang gemeluduk bumi dan langit

jelma puja;

maka, doani mana pintakan ini,

selain engkau, kasih:

bagi tiap jengkal kekalku!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun