"Pak, saya nggak mau lagi ..."
"Nggak mau apa?"
"Nggak mau lagi, kalau ..."
"Kalau apa? Ngomong saja, nggak apa-apa."
"Kalau ..."
Pak Aris menunggu kelanjutan kalimatku, tapi rasanya aku tidak sanggup. Seperti ada yang menggantung di sekitar tenggorokanku, menahan beban entah berapa ratus gram. Lelaki muda itu adalah kepala personalia tempatku bekerja. Dari awal memasuki kantor, aku sudah ingin menangis, tapi kutahan. Mungkin itu yang membuat aku merasa kesulitan untuk berkata.
"Kalau ..."
Pria yang terkenal sabar dan halus tutur katanya itu, masih menunggu. Memandangiku tanpa berkata apa-apa. Aku berdiri. Sebentar melihatnya, lalu menunduk menatap meja ...
"Kalau, pulang malam, lagiiiiiiiiiii ..."
Akhirnya, tangisku meledak juga. Kakiku gemetar, tak sanggup lagi ditegakkan. Tubuhku lunglai, terserak di lantai. Suasana kantor yang tenang sore itu, menjadi gaduh.
"Ehh ... kamu kenapa ...?" Panik Pak Aris.