"Kenapa itu paaaakk ...?" Mbak Vera, staff personalia berteriak. "Kasih bangku, pak ... kasih bangku ... kasihan anak itu ..."
Aku masih menggerung-gerung tak ingat malu. Pak Aris buru-buru mengambil kursi lipat, meletakkan di dekatku, lalu membantuku berdiri.
"Ya sudah ... ditenangkan dulu. Diatur nafasnya, baru cerita."
Belum selesai tanya jawab, dua anak sewing (penjahit) tiba-tiba masuk kantor dan menyela pembicaraan kami. Dengan genitnya, kedua perempuan itu berbicara sambil menggoda Pak Aris. Personalia yang masih lajang itu memang suka bercanda. Orangnya asik ...
"Ya sudah, kamu kerja dulu saja, ya. Nanti biar saya urus mobilnya." Â
Tahukah kalian ... betapa susahnya menceritakan hal ini. Tapi selalu saja ada yang menggangguku setiap malam menjelang tidur. Suara-suara yang entah dari mana datangnya, bergaung di telingaku ...
"Kamu harus ceritakan ini!"
"Ini adalah pengalaman yang mungkin akan bermanfaat bagi orang lain, terutama kaummu, agar mereka bisa mengantisipasi."
"Kita tidak bisa belajar hanya dari pengalaman sendiri. Perlu juga belajar dari pengalaman orang lain, karena kita tidak punya banyak waktu untuk mengalaminya sendiri."
"Dunia ini sangat luas, populasi manusia terus meningkat, maka persoalan yang muncul pun semakin banyak dan beragam bentuknya." Â
Berhari-hari aku sempat bingung. Harus memulai dari mana? Aku tidak ingin sekedar menulis. Aku selalu ingin bagaimana sebuah pesan itu bisa tersampai dengan baik. Bagaimana agar tulisanku enak dibaca, tidak membosankan. Tapi beberapa kali aku terpaksa harus berhenti. Menangis. Beruntung aku sedang sendirian, sehingga tak perlu malu melakukannya. Tidak perlu sembunyi, karena tak ada yang tahu dan tak akan ada yang bertanya. Kubiarkan cairan bening itu membanjiri seluruh mukaku.