Karena tidak ingin membebani orang tua, Roselina dan Tjiptadinata pindah ke rumah kontrakan di jalan Ratulangi. Margaretha adik Roselina ikut tinggal di Ratulangi.
Dua tahun kemudian Tjipta dan Lina bersama Irmansyah pindah rumah di belakang pabrik kecap Ang Ngo Koh. Bila bulan purnama datang maka air pasang naik. Seluruh pekarangan rumah Tjipta dan Lina digenangi air.
Setahun berselang Tjiptadinata dan Roselina pindah ke kedai yang sekaligus sebagai tempat tinggal di Tanah Kongsi.
Kedai di Tanah Kongsi dulunya digunakan oleh ayahnya Tjiptadinata sebagai tempat berjualan.Â
Tjiptadinata mengambil alih urusan sewa-menyewa kedai di pasar Tanah Kongsi dan tinggal di sana.Â
Hanya ada satu ruang yang digunakan sebagai kamar tidur. Kamar mandi hanya ditutup dengan seng bekas.
Air sumur di tempat itu warnanya kuning, sehingga hanya bisa gunakan untuk mandi. Air untuk minum dan masak diambil dari sumur tetangga yang ditimba oleh Tjiptadinata setiap pagi hari.Â
Tjiptadinata dan Roselina berjualan kelapa parut dan kantong plastik di Tanah Kongsi.
Roselina setiap hari jam 3 pagi datang ke stasiun kereta api di Pariaman untuk membeli kelapa. Â Irmansyah yang masih berusia dua tahun turut dibawa ke Pariaman.
Kemudian kelapa dibawa ke Tanah Kongsi menggunakan becak. Sesampainya di Tanah Kongsi, kelapa diparut Tjiptadinata sesuai pesanan langganan. Hanya mendapat untung 5 rupiah setiap satu butir kelapa. Siang harinya Tjiptadinata berangkat mengajar di SMP Plus.
Kehidupan ekonomi Tjiptadinata dan Roselina tidak membaik setelah berdagang di Pasar Kongsi. Â Malahan semakin terpuruk. Pada satu momen cincin pernikahan Tjiptadinata dan Roselina terpaksa terjualÂ