Ekspresi Dirga langsung berubah, tetapi ia berusaha menutupinya dengan nada ketus. "Sudah kubilang, jangan ungkit nama itu lagi. Kamu cuma bikin semuanya makin rumit."
Anna berdiri dari kursinya, menatap Dirga dengan tatapan tajam. "Rumit untuk siapa? Untukmu, atau untukku?"
Dirga mendekat dengan langkah berat, wajahnya terlihat kesal. "Untuk kita semua, Kinan. Aku lelah dengan semua ini. Aku bekerja sepanjang hari, pulang ke rumah, dan masih harus menghadapi pertanyaan nggak penting darimu."
"Nggak penting? Jadi nama yang terus muncul di kepalaku itu nggak penting? Foto di album keluarga kita juga nggak penting?"
"Kirana sudah meninggal, Kinan!" bentak Dirga, suaranya meninggi. "Apa kamu puas sekarang?!"
Anna terpaku, tetapi kemarahannya tak surut. "Meninggal? Siapa dia, Dirga? Kenapa aku bahkan nggak mengingatnya?"
Dirga memutar tubuhnya, seolah ingin menghindari percakapan ini. "Kamu memang nggak akan ingat. Dan sebaiknya tetap begitu."
Anna mengejar, berdiri di hadapannya. "Kenapa kamu selalu memutuskan apa yang harus aku ketahui atau tidak?! Aku punya hak untuk tahu!"
Dirga akhirnya kehilangan kesabarannya. "Baik! Kirana itu kakakmu. Dia meninggal tiga tahun lalu. Puas?!"
Anna mundur selangkah, dadanya berdebar. Semua kemarahannya mereda, digantikan oleh rasa syok yang tak terlukiskan. "Kakakku...?"
Kalau Kirana adalah kakak Kinan, berarti aku sudah meninggal? Anna meradang. Dia terhuyung ke atas kursi. Kenapa aku tidak ingat apa-apa? Bagaimana aku kembali ke tubuhku?Â