Mohon tunggu...
Pipit ZL ceritaoryza.com
Pipit ZL ceritaoryza.com Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Anna dan Kinan (7/10)

13 Januari 2025   20:01 Diperbarui: 14 Januari 2025   04:42 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 7 -- Tentang Kirana

Hanya 2 hari mereka di hotel itu. Di hari ketiga Dirga harus mengantar Kinan kontrol ke rumah sakit. Saat menunggu antrian, seorang dokter seusia dokter Hasan mendekati Dirga.

"Maaf kemarin aku tidak bisa hadir," ujarnya sambil menjabat tangan Dirga. "Selamat ya! Kali ini kamu benar-benar menikah dengan anak Pak Kusumah. Kinan, semoga pernikahan ini membuatmu bisa tersenyum kembali."

"Terimakasih, Dok," timpal Dirga tampak cukup menghormatinya. "Nanti saya mampir ke ruangan Dokter."

Anna tersenyum tipis lalu mengangguk. Tersenyum kembali? Siapa sebenarnya dokter itu? Sepertinya aku kenal baik, tapi tidak ingat. 

Perawat memanggil Anna ke ruangan dokter Hasan. "Wah, pengantin baru koq bulan madunya di rumah sakit, sih?" godanya.

Dirga menggandeng Anna menemui dokter Hasan. Ternyata ada banyak kemajuan kesehatan jantung Kinan.

"Ternyata pernikahan kalian benar-benar membawa progres untuk kesehatanmu, Kinan! Ingat Dirga, sekarang tanggung jawabmu semakin besar," tuah dokter Hasan.

Seusai pemeriksaan, mereka ke apotek untuk mengambil obat.

"Kinan, kamu tunggu di sini dulu, aku ada yang harus dibicarakan dengan dokter Yudi," perintah Dirga.

"Ikut!" jawab Anna.

Mata Dirga mendelik, "Aku mau bahas pasien. Bukan urusanmu. Jadi tunggu saja di sini, tidak lama koq!"

Agak kecewa Anna melihat tingkah Dirga yang masih mengurusi pekerjaannya bahkan saat sedang cuti pasca pernikahan. Anna merajuk, "Kamu ke sini kan untuk menemani aku, bukan untuk bekerja..."

           

"Ini demi kamu juga, Kinan," jawabnya sambil melangkah pergi.

Sesampainya di rumah, Anna merasa tubuhnya sedikit kedinginan. Saat ia mulai terbangun dari tidurnya di kursi dekat jendela. Udara malam yang seharusnya dingin terasa hangat di satu sisi wajahnya. Ketika ia membuka matanya perlahan, pandangannya bertemu dengan wajah Dirga yang sangat dekat, hanya beberapa inci dari bibirnya.

Napasnya tercekat. Ia merasakan hembusan napas hangat Dirga di kulitnya, membuat pipinya langsung memerah. Mata Dirga tampak lembut, tetapi ada sesuatu di sana yang membuat jantung Anna berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Kamu mau apa?" bisik Anna, suaranya hampir tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Dirga menghentikan gerakannya.

Dirga tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Anna lebih dalam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Kamu terlihat nyaman sekali tidur di sini. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak kedinginan."

Anna mencoba menegakkan tubuhnya, tetapi gerakan itu justru membuat wajah mereka semakin dekat. Bibir Dirga hanya berjarak beberapa sentimeter dari miliknya, dan ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Dirga..." Anna mencoba berkata lagi, tetapi kata-katanya terhenti ketika Dirga tersenyum kecil, senyum yang penuh godaan.

"Kenapa kamu gugup, Kinan?" tanyanya pelan, nadanya dingin tetapi menggoda.

Anna memalingkan wajahnya cepat, tetapi ia tahu pipinya pasti sudah semerah apel. "Aku tidak gugup," bantahnya, meskipun suaranya sedikit bergetar.

Dirga menarik tubuhnya sedikit menjauh, tetapi tatapan tajamnya tetap mengunci mata Anna. "Benarkah? Karena dari sini, wajahmu berkata lain."

Mencoba menutupi rasa malunya, ia berdiri dengan cepat, tetapi langkahnya goyah karena selimut yang masih terbungkus di kakinya. Dirga dengan sigap menangkap lengannya sebelum ia jatuh. "Kamu tidak perlu terburu-buru," ujar Dirga dengan nada puas, matanya memancarkan godaan yang membuat Anna semakin gugup.

"Dirga, kamu menyebalkan," gerutu Anna, mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya.

"Tapi kamu tidak pernah meminta aku berhenti," balas Dirga santai, senyumnya semakin lebar.

Anna akhirnya menarik lengannya dengan tegas, membelakangi Dirga untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. "Aku pergi tidur. Jangan ganggu aku lagi."

Dirga hanya tertawa pelan di belakangnya, tetapi suara itu terdengar seperti kemenangan. "Selamat malam, Kinan," ujarnya, nada suaranya penuh kehangatan yang membuat hati Anna, atau mungkin Kinan, terasa semakin kacau.

Anna tidak bisa tidur malam itu. Foto dirinya yang tersimpan di ponsel Dirga, dan nama "Kirana" yang muncul saat ia mengetik nomor lamanya, terus berputar di pikirannya. Siapa Kirana? Mengapa Kinanti, yang jelas-jelas memiliki ingatan masa lalu, sama sekali tidak menyebutkan nama itu?

Pagi harinya, Dirga bersikap seolah tidak ada yang terjadi, tetapi Anna bisa merasakan ada jarak yang lebih dingin darinya. Saat sarapan, Anna akhirnya memutuskan untuk bertanya.

"Dirga," ujarnya, memecah keheningan.

Pria itu menoleh, tapi tidak menghentikan aktivitasnya. "Ya?"

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Siapa Kirana?"

Sendok di tangan Dirga terhenti. Sorot matanya berubah dingin, tapi kali ini Anna bisa menangkap bayangan rasa sakit di baliknya. "Aku sudah bilang, kamu tidak perlu tahu," jawabnya pendek.

"A merasa nama itu... penting," ujar Anna, memilih kata-kata dengan hati-hati. Tambahnya dalam hati, "Tapi anehnya, aku tidak mengingatnya. Bukankah aku---Kinanti---seharusnya tahu tentang orang yang bernama Kirana ini?"

Dirga menatap Anna lama, seolah mencoba mencari sesuatu di wajahnya. Akhirnya, ia meletakkan sendoknya dan menyandarkan tubuh ke kursi. "Kirana adalah masa lalu. Tidak ada hubungannya dengan kita sekarang."

Jawaban itu membuat Anna semakin curiga. "Masa lalu siapa? Aku atau kamu?" desaknya.

Dirga berdiri, tatapannya kembali dingin. "Kirana adalah masa lalu kita semua. Jangan ungkit lagi."

---

Masih memikirkan Kirana, Anna duduk di balkon sambil memandangi langit sore dengan pandangan kosong. Ketika Dirga pulang, ia mendapati Anna tetap berada di luar, meski angin sore mulai terasa dingin.

"Kamu nggak masuk?" tanya Dirga, nada suaranya datar tanpa perhatian yang tulus.

Anna menoleh, menatap Dirga dengan sorot mata penuh emosi. "Aku ingin bicara."

Dirga mengangkat alis, memasukkan tangannya ke dalam saku jas. "Bicara soal apa? Kalau soal makananmu yang nggak habis tadi siang, aku nggak peduli. Aku cuma memastikan kamu nggak pingsan lagi."

Anna mendesah frustrasi. "Bukan soal itu. Aku ingin bicara tentang Kirana."

Ekspresi Dirga langsung berubah, tetapi ia berusaha menutupinya dengan nada ketus. "Sudah kubilang, jangan ungkit nama itu lagi. Kamu cuma bikin semuanya makin rumit."

Anna berdiri dari kursinya, menatap Dirga dengan tatapan tajam. "Rumit untuk siapa? Untukmu, atau untukku?"

Dirga mendekat dengan langkah berat, wajahnya terlihat kesal. "Untuk kita semua, Kinan. Aku lelah dengan semua ini. Aku bekerja sepanjang hari, pulang ke rumah, dan masih harus menghadapi pertanyaan nggak penting darimu."

"Nggak penting? Jadi nama yang terus muncul di kepalaku itu nggak penting? Foto di album keluarga kita juga nggak penting?"

"Kirana sudah meninggal, Kinan!" bentak Dirga, suaranya meninggi. "Apa kamu puas sekarang?!"

Anna terpaku, tetapi kemarahannya tak surut. "Meninggal? Siapa dia, Dirga? Kenapa aku bahkan nggak mengingatnya?"

Dirga memutar tubuhnya, seolah ingin menghindari percakapan ini. "Kamu memang nggak akan ingat. Dan sebaiknya tetap begitu."

Anna mengejar, berdiri di hadapannya. "Kenapa kamu selalu memutuskan apa yang harus aku ketahui atau tidak?! Aku punya hak untuk tahu!"

Dirga akhirnya kehilangan kesabarannya. "Baik! Kirana itu kakakmu. Dia meninggal tiga tahun lalu. Puas?!"

Anna mundur selangkah, dadanya berdebar. Semua kemarahannya mereda, digantikan oleh rasa syok yang tak terlukiskan. "Kakakku...?"

Kalau Kirana adalah kakak Kinan, berarti aku sudah meninggal? Anna meradang. Dia terhuyung ke atas kursi. Kenapa aku tidak ingat apa-apa? Bagaimana aku kembali ke tubuhku? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun