Sendok di tangan Dirga terhenti. Sorot matanya berubah dingin, tapi kali ini Anna bisa menangkap bayangan rasa sakit di baliknya. "Aku sudah bilang, kamu tidak perlu tahu," jawabnya pendek.
"A merasa nama itu... penting," ujar Anna, memilih kata-kata dengan hati-hati. Tambahnya dalam hati, "Tapi anehnya, aku tidak mengingatnya. Bukankah aku---Kinanti---seharusnya tahu tentang orang yang bernama Kirana ini?"
Dirga menatap Anna lama, seolah mencoba mencari sesuatu di wajahnya. Akhirnya, ia meletakkan sendoknya dan menyandarkan tubuh ke kursi. "Kirana adalah masa lalu. Tidak ada hubungannya dengan kita sekarang."
Jawaban itu membuat Anna semakin curiga. "Masa lalu siapa? Aku atau kamu?" desaknya.
Dirga berdiri, tatapannya kembali dingin. "Kirana adalah masa lalu kita semua. Jangan ungkit lagi."
---
Masih memikirkan Kirana, Anna duduk di balkon sambil memandangi langit sore dengan pandangan kosong. Ketika Dirga pulang, ia mendapati Anna tetap berada di luar, meski angin sore mulai terasa dingin.
"Kamu nggak masuk?" tanya Dirga, nada suaranya datar tanpa perhatian yang tulus.
Anna menoleh, menatap Dirga dengan sorot mata penuh emosi. "Aku ingin bicara."
Dirga mengangkat alis, memasukkan tangannya ke dalam saku jas. "Bicara soal apa? Kalau soal makananmu yang nggak habis tadi siang, aku nggak peduli. Aku cuma memastikan kamu nggak pingsan lagi."
Anna mendesah frustrasi. "Bukan soal itu. Aku ingin bicara tentang Kirana."