Dirga menarik tubuhnya sedikit menjauh, tetapi tatapan tajamnya tetap mengunci mata Anna. "Benarkah? Karena dari sini, wajahmu berkata lain."
Mencoba menutupi rasa malunya, ia berdiri dengan cepat, tetapi langkahnya goyah karena selimut yang masih terbungkus di kakinya. Dirga dengan sigap menangkap lengannya sebelum ia jatuh. "Kamu tidak perlu terburu-buru," ujar Dirga dengan nada puas, matanya memancarkan godaan yang membuat Anna semakin gugup.
"Dirga, kamu menyebalkan," gerutu Anna, mencoba melepaskan diri dari cengkeramannya.
"Tapi kamu tidak pernah meminta aku berhenti," balas Dirga santai, senyumnya semakin lebar.
Anna akhirnya menarik lengannya dengan tegas, membelakangi Dirga untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. "Aku pergi tidur. Jangan ganggu aku lagi."
Dirga hanya tertawa pelan di belakangnya, tetapi suara itu terdengar seperti kemenangan. "Selamat malam, Kinan," ujarnya, nada suaranya penuh kehangatan yang membuat hati Anna, atau mungkin Kinan, terasa semakin kacau.
Anna tidak bisa tidur malam itu. Foto dirinya yang tersimpan di ponsel Dirga, dan nama "Kirana" yang muncul saat ia mengetik nomor lamanya, terus berputar di pikirannya. Siapa Kirana? Mengapa Kinanti, yang jelas-jelas memiliki ingatan masa lalu, sama sekali tidak menyebutkan nama itu?
Pagi harinya, Dirga bersikap seolah tidak ada yang terjadi, tetapi Anna bisa merasakan ada jarak yang lebih dingin darinya. Saat sarapan, Anna akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Dirga," ujarnya, memecah keheningan.
Pria itu menoleh, tapi tidak menghentikan aktivitasnya. "Ya?"
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Siapa Kirana?"