Mata Dirga mendelik, "Aku mau bahas pasien. Bukan urusanmu. Jadi tunggu saja di sini, tidak lama koq!"
Agak kecewa Anna melihat tingkah Dirga yang masih mengurusi pekerjaannya bahkan saat sedang cuti pasca pernikahan. Anna merajuk, "Kamu ke sini kan untuk menemani aku, bukan untuk bekerja..."
     Â
"Ini demi kamu juga, Kinan," jawabnya sambil melangkah pergi.
Sesampainya di rumah, Anna merasa tubuhnya sedikit kedinginan. Saat ia mulai terbangun dari tidurnya di kursi dekat jendela. Udara malam yang seharusnya dingin terasa hangat di satu sisi wajahnya. Ketika ia membuka matanya perlahan, pandangannya bertemu dengan wajah Dirga yang sangat dekat, hanya beberapa inci dari bibirnya.
Napasnya tercekat. Ia merasakan hembusan napas hangat Dirga di kulitnya, membuat pipinya langsung memerah. Mata Dirga tampak lembut, tetapi ada sesuatu di sana yang membuat jantung Anna berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kamu mau apa?" bisik Anna, suaranya hampir tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat Dirga menghentikan gerakannya.
Dirga tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Anna lebih dalam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Kamu terlihat nyaman sekali tidur di sini. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak kedinginan."
Anna mencoba menegakkan tubuhnya, tetapi gerakan itu justru membuat wajah mereka semakin dekat. Bibir Dirga hanya berjarak beberapa sentimeter dari miliknya, dan ia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Dirga..." Anna mencoba berkata lagi, tetapi kata-katanya terhenti ketika Dirga tersenyum kecil, senyum yang penuh godaan.
"Kenapa kamu gugup, Kinan?" tanyanya pelan, nadanya dingin tetapi menggoda.
Anna memalingkan wajahnya cepat, tetapi ia tahu pipinya pasti sudah semerah apel. "Aku tidak gugup," bantahnya, meskipun suaranya sedikit bergetar.