"Malam itu Ayah menyadari kelalaiannya. Ayah meminta maaf. Tapi keputusan ibu sudah bulat. Ibu pernah meluapkan isi pikiran Ibu, Ayah mendengarkan tapi entah pikirannya sedang di mana."
Kami mulai menata hati, menata angan yang barangkali sekian waktu tersumbat oleh kebungahan. Ibu tetap berbicara.
"Nak, Ibu sering menasehati kalian. Hadirkan perasaan disetiap apa yang kalian lakukan. Hidup ini bukan hanya tentang seberapa penting capaian tapi kalian juga harus menimbang etika perasaan. Selama ini Ayah dan Ibu hanya tidak bisa berkomunikasi melalui hati masing-masing."
Sebagai seorang istri, ibu memerlukan kehadiran hati ayah. Menjadi anak-anaknya kami tidak pernah tahu gejolak batin itu yang menyebabkan trigger setiap kali terabai oleh ayah.
 Bagaimana tidak, diam-diam ibu memendam perasaan sendiri. Segala kesedihan, keputusasaan, dan kesepian sudah berlangsung selama sepuluh tahun lebih.Â
Belum lagi sebelum berpindah rumah ibu telah dibuat luka batin oleh ibu dari ayah. Kata ibu, permasalahan yang lumrah, namun siapa yang pernah menyangka jika hati seseorang tidak pernah disamakan untuk menerima terpaan dari luar.
Ini bukan masalah ibu beriman atau tidak.Â
Aku rasa trauma tidak ada kaitannya dengan fluktuasi iman.Â
Seperti ketika kamu flu bukan berarti tidak memiliki iman. Ibu hanya perlu obat penenang psikisnya untuk sembuh, sayangnya orang terdekat ibu abai pun kami sebagai anak terlena dengan persembunyian ibu.
"Malam itu Ibu yang memutuskan untuk istirahat. Ibu rasa ingin menyembuhkan diri tanpa Ayah lagi. Ayah sebetulnya juga keberatan dengan keputusan Ibu. Tapi mau tidak mau harus diterima. Semua aset Ayah sudah diberikan untuk kalian pun juga dengan rumah ini. Ibu rasa, Ayah juga sudah membekali banyak hal untuk bertahan hidup."
"Lalu Ibu punya apa?" Celetus adik.