Mohon tunggu...
project kwn
project kwn Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa universitas andalas

halo nice to meet u hobi baking, menonton, membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyimpangan Seksual: Penyebab Munculnya Perilaku Pedhofilia dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental Korban

23 Juni 2024   20:59 Diperbarui: 23 Juni 2024   21:38 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

I. PENDAHULUAN

Perilaku seksual yang normal adalah perilaku yang dapat beradaptasi dengan baik, tidak hanya sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga memenuhi kebutuhan individu untuk kebahagiaan dan pertumbuhan pribadi, yaitu perwujudan diri dan peningkatan kemampuan individu dalam mengembangkan kepribadian yang lebih baik (Maramis, 2004). Kartono (2003) menyatakan bahwa perilaku seksual yang tidak wajar mencakup perilaku atau fantasi seksual yang mencapai orgasme melalui relasi di luar hubungan heteroseksual, dengan sesama jenis atau dengan pasangan yang belum dewasa, serta melanggar norma-norma seksual yang diterima secara umum dalam masyarakat. Salah satu bentuk abnormalitas dalam dorongan seksual adalah pelecehan seksual terhadap anak, yang mencakup tindakan pra-kontak seksual antara anak dengan orang dewasa, seperti incest, pemerkosaan, pedofilia, dan eksploitasi seksual.

Pedofilia adalah perilaku memuaskan hasrat seksual dengan menggunakan anak-anak di bawah umur sebagai objek. Perilaku ini dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, namun sebagian besar pelaku pedofilia adalah pria dengan korban anak perempuan, yang disebut pedofilia heteroseksual, sedangkan jika korbannya anak laki-laki disebut pedofilia homoseksual. Menurut Probosiwi (2015), pedofilia adalah gangguan seksual di mana seseorang memiliki ketertarikan seksual untuk berhubungan dengan anak-anak. Maslim (2013) menjelaskan bahwa pedofilia adalah preferensi seksual yang berulang dan menetap terhadap anak-anak, biasanya yang masih pra-pubertas atau awal pubertas, baik laki-laki maupun perempuan. Termasuk orang dewasa yang biasanya memiliki preferensi terhadap pasangan dewasa, namun karena frustrasi kronis atau faktor lain yang menghalangi hubungan seksual yang diinginkan, kebiasaannya beralih ke anak-anak. Yogatama menambahkan bahwa pedofilia bukan hanya sebuah perilaku tetapi juga sikap yang menyimpang, di mana kecenderungan menyukai anak-anak untuk kepuasan seksual oleh orang dewasa (dalam Ruhma, 2012).

Pedofilia adalah kelainan psikologis yang ditandai dengan ketertarikan seksual yang tidak normal pada anak-anak pra-remaja. Ini melibatkan orang dewasa yang melakukan aktivitas seksual dengan anak di bawah umur, baik melalui manipulasi atau paksaan. Dalam masyarakat tradisional, kasus pedofilia dikaitkan dengan individu yang mencari kekuatan supernatural atau kekebalan. Mayoritas pedofil adalah laki-laki, namun beberapa perempuan juga mungkin menunjukkan kelainan ini. Perilaku ini seringkali melibatkan manipulasi alat kelamin anak atau penetrasi dengan tujuan mencapai kenikmatan seksual.

Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual, khususnya pedofilia, sering kali menderita dalam kesunyian, menghindari mendiskusikan pengalaman mereka dan menutup diri dari orang lain. Hal ini dapat menyebabkan berkembangnya gangguan kecemasan, yang berasal dari konflik internal yang berkepanjangan seperti perasaan bersalah dan putus asa. Dampak pedofilia terhadap korban bervariasi tergantung pada usia mereka, dengan korban biasanya menunjukkan perilaku seperti penarikan diri, disfungsi seksual, depresi, rendah diri, pikiran untuk bunuh diri, penyalahgunaan narkoba, dan melarikan diri dari rumah. Dalam kasus pedofilia heteroseksual, korban mungkin mengalami trauma mental, rasa malu, dan depresi berat. Di sisi lain, korban pedofilia homoseksual mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku karena trauma yang dialaminya.

Oleh karena itu, dari latar belakang permasalahan diatas, Penulis akan melakukan penelitian yang bersiifat studi literatur untuk mengetahui secara lebih mendalam terkait kasus penyimpangan seksual pedhofilia dan dampak negatif yang dapat dihasilkan dari perbuatan seksual yang menyimpang ini terhadap korban. Oleh karena itu, penulis akan membahas topik penelitian ini dengan judul artikel "Penyimpangan Seksual: Penyebab Munculnya Perilaku Pedhofilia dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental Korban."

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Penyimpangan Seksual dan Perilaku Pedofilia

Kasus penyimpangan seksual semakin marak terjadi di Indonesia. Meningkatnya jumlah kasus penyimpangan seksual terhadap anak menjadi fenomena yang menarik perhatian berbagai kalangan, baik tua maupun muda. Perilaku penyimpangan seksual adalah tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh semua kalangan di masyarakat karena tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama (Abidin, 2018). Penyimpangan seksual terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik tindakan verbal seperti perilaku nyata pelecehan maupun nonverbal seperti ucapan atau perkataan yang dilontarkan (Novrianza & Santoso, 2022). Selain itu, pelecehan seksual terhadap anak juga mencakup tindakan meminta atau memaksa anak untuk melakukan aktivitas seksual, serta memberikan perlakuan yang tidak pantas kepada anak, contohnya penyimpangan seksual dengan adanya perilaku pedofilia yang mengancam anak-anak.

Perilaku penyimpangan seksual adalah bentuk perilaku seksual yang tidak diterima oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama yang berlaku (Abidin, 2018). Menurut teori dasar Psikologi Abnormal, Freud (1963) menyatakan bahwa pedofilia diartikan sebagai bentuk ketertarikan seksual terhadap anak-anak sebelum pubertas. Pelaku pedofilia memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak di bawah usia 13 tahun (Wardhani & Kurniasari, 2016).

Pedofilia adalah kejahatan yang dikutuk secara universal dan tidak dapat dan tidak akan diterima oleh masyarakat, sebagian besar disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum dan efektivitas pilihan terapi yang tersedia. Menurut DSM IV-TR, pedofilia ditandai dengan fantasi, dorongan, atau tindakan seksual yang melibatkan anak-anak pra-remaja, dengan pelaku berusia minimal 16 tahun atau lima tahun lebih tua dari korban.

Seringkali terdapat kebingungan antara istilah pedofil dan penganiaya anak, sehingga menimbulkan kesulitan dalam mendefinisikannya secara hukum dan dalam bidang psikopatologi. Penganiaya anak adalah seseorang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak, sedangkan pedofilia dipandang sebagai preferensi seksual di mana individu memiliki hasrat atau fantasi seksual yang melibatkan anak di bawah umur, dengan atau tanpa tindakan terhadapnya. Secara hukum, pedofilia mengacu pada orang dewasa yang melakukan aktivitas seksual dengan seseorang yang secara hukum dianggap di bawah umur.

Menurut Kitaeff (2017), pedofilia tergolong sebagai gangguan hasrat seksual yang ditandai dengan fantasi dan tindakan yang berpusat pada mencari kepuasan seksual dari anak. Penting untuk dicatat bahwa definisi ini berbeda dengan gambaran pedofilia di media dan wacana publik, yang seringkali berfokus pada pelecehan seksual terhadap anak. Penderita pedofilia tidak serta merta melakukan perilaku kekerasan atau pemaksaan terhadap anak. Hagan (2017) mengemukakan bahwa individu dengan pedofilia biasanya memiliki fantasi seksual yang melibatkan anak-anak di bawah usia 12 tahun atau yang belum mencapai pubertas. Artinya, mereka tertarik pada anak-anak yang tubuhnya belum sepenuhnya mengembangkan ciri-ciri seksual sekunder, seperti payudara pada anak perempuan atau ejakulasi pada anak laki-laki. Akibatnya, usia anak mungkin menjadi ambigu ketika mendefinisikan pedofilia.

Sedangkan bagi individu dewasa yang menyukai individu anak yang memasuki usia pubertas atau mendekati pubertas disebut hebefilia. Hebefilia mengacu pada ketertarikan terhadap individu yang berada di tengah-tengah masa pubertas atau di ambang mencapai pubertas. Atraksi ini difokuskan pada anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda perkembangan seksual sekunder, seperti perkembangan payudara pada anak perempuan atau tumbuhnya rambut kemaluan. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang dewasa yang tertarik pada individu dalam tahap perkembangan fisik tertentu.

Dalam penelitiannya pada tahun 2017, Kitaeff membedakan hebefilia dari pedofilia dan mencatat bahwa hebefilia tidak diklasifikasikan sebagai gangguan preferensi seksual dalam DSM IV TR. Hal ini dianggap normal bagi individu yang sedang melewati masa pubertas untuk memiliki dorongan seksual (Frances & First, 2011). Pedofil biasanya menggunakan taktik seperti berteman atau mendapatkan kepercayaan dari korbannya dengan menawarkan camilan, memiliki hewan peliharaan, atau memberikan mainan (Febrianti, 2017). Mereka seringkali memposisikan diri berdekatan dengan anak-anak di tempat-tempat seperti sekolah, pemukiman, taman bermain, atau lapangan terbuka guna menjalin hubungan dengan calon korban.

3.2 Penyebab Muncul dan Kategori Pedofilia

Pada awalnya, pelaku memiliki berbagai alasan yang menjadi awal mula mereka menjadi pedofil. Beberapa di antaranya termasuk adanya rasa iba pada anak, sering menonton film porno, melakukan sentuhan fisik dengan anak, tindakan iseng atau coba-coba, serta tertarik dengan fisik dan keberadaan anak. Awalnya pelaku tidak menunjukkan kecenderungan seksual terhadap anak. Namun adanya faktor internah dan atau eksternal, dapat memengaruhi dari munculnya penyimpangan seksual tersebut.

Hasil dari literatur penelitian terdahulu menunjukkan bahwa mayoritas pelaku perilaku penyimpangan seksual, seperti pedofilia, pernah mengalami pedofilia atau pelecehan seksual pada masa lalu. Beberapa penyebab lainnya yang memunculkan perilaku penyimpangan seksual pedofilia sebagai berikut:

a. Pengalaman sebagai Korban

Mayoritas pelaku perilaku penyimpangan seksual, termasuk pedofilia, pernah mengalami pedofilia atau pelecehan seksual pada masa lalu. Pengalaman ini dapat mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku serupa terhadap orang lain di kemudian hari.

b. Pengaruh Media dan Teknologi Foto Berfantasi

Era teknologi saat ini memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku penyimpangan seksual. Media dan gambar, khususnya yang menampilkan anak-anak, dapat memberikan rangsangan dan fantasi seks kepada pelaku untuk melakukan perilaku menyimpang tersebut.

c. Kebutuhan Emosional dan Seksual yang Berlebihan

Beberapa pelaku menunjukkan ketertarikan dan kesukaan terhadap anak-anak kecil serta menyimpan foto atau gambar mereka. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan emosional atau psikologis serta hasrat seksual yang terlalu berlebih sehingga hanya dapat terpenuhi dengan melakukan perilaku menyimpang tersebut.

d. Pola Perilaku Berulang

Pengalaman masa lalu yang traumatis atau pelecehan yang dialami oleh pelaku dapat menyebabkan mereka mengulang pola perilaku yang sama terhadap korban-korban baru di lingkungan mereka.

Pelaku perilaku menyimpang seksual memiliki ciri-ciri yang serupa, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengetahuan, sikap, perilaku, pola asuh, pengalaman masa lalu, trauma, lingkungan, dan budaya. Ciri-ciri tersebut muncul dari lingkungan tempat individu hidup, dikelilingi oleh orang lain yang berperilaku menyimpang.

Pola asuh orang tua, keluarga yang berantakan, dominasi orang tua, tabu budaya, sosialisasi, trauma, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang semuanya berperan dalam membentuk perilaku menyimpang seksual. Faktor lainnya termasuk pengalaman masa kecil, status ekonomi, pelecehan, masalah identitas gender, keterampilan sosial, dan kepercayaan diri.

Mereka yang memiliki riwayat pelecehan, interaksi sosial yang terbatas, sering direlokasi, pernah ditangkap sebelumnya, dan fokus pada anak-anak lebih besar kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku menyimpang. Orang-orang ini mungkin memanipulasi dan merayu anak-anak, menggunakan perhatian, kasih sayang, dan hadiah untuk mendapatkan kepercayaan mereka. Mereka juga mungkin terlibat dalam aktivitas yang menarik bagi anak-anak, mengumpulkan pornografi anak, dan memiliki dekorasi rumah yang berorientasi pada remaja.

Ciri-ciri pedofilia dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis. Pelaku pelecehan seksual terhadap anak dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin korbannya. Pedofil heteroseksual tertarik pada anak berjenis kelamin berbeda, sedangkan pedofil homoseksual tertarik pada anak berjenis kelamin sama. Beberapa orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak mungkin memiliki masalah mendasar lainnya seperti usia lanjut, psikotik, atau gangguan mental, dimana penyimpangan seksual hanyalah salah satu aspek dari gangguan yang lebih besar. Ada juga kelompok penjahat atau psikopat yang mungkin melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak sebagai bagian dari gaya hidup kriminal atau untuk memuaskan dorongan hati yang agresif atau sadis. Orang-orang ini merupakan sebagian kecil dari keseluruhan populasi pedofil.

Mayoritas individu yang terlibat dalam pelecehan seksual dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berbeda.

  • Pedofilia Tipe I, terdiri dari individu yang kesulitan berinteraksi sosial dengan perempuan karena kecemasan atau ketidakmampuan sosial. Orang-orang ini dapat dirangsang secara seksual baik oleh benda normal maupun oleh anak-anak.
  • Pedofilia Tipe II, mencakup individu yang dapat berinteraksi sosial dengan wanita dewasa namun hanya terangsang secara seksual oleh anak-anak.
  • Pedofilia Tipe III, terdiri dari individu yang tidak dapat berinteraksi secara sosial dengan perempuan dan hanya terangsang secara seksual oleh anak-anak.

Kemudian, ada 2 kategori pedofilia, yaitu pedofilia heteroseksual dan homoseksual. Saat mengidentifikasi pedofil heteroseksual dalam populasi umum mungkin sulit karena penelitian menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan dalam hal kecerdasan, pekerjaan, dan pendidikan dibandingkan dengan mereka yang bukan pelaku. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pedofil heteroseksual mungkin memiliki tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang lebih rendah, penelitian lain menunjukkan tingkat kecerdasan yang luas di antara kelompok ini, dengan persentase kecil yang diklasifikasikan sebagai orang yang berpikiran lemah.

Selain itu, sebagian besar pedofil heteroseksual memiliki pendidikan terbatas dan bekerja pada posisi tidak terampil atau semi-terampil. Terlepas dari temuan ini, penting untuk dicatat bahwa mayoritas pedofil heteroseksual tidak memiliki riwayat perilaku kriminal. Faktanya, banyak yang menunjukkan perilaku prososial dan mempertahankan konsep diri non-kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam aspek-aspek tertentu dalam kehidupan mereka, seperti pendidikan dan pekerjaan, para pedofil heteroseksual tidak serta merta menunjukkan perilaku non-seksual yang menyimpang di luar perilaku mereka yang menyinggung.

Kemudian pada pedofilia kemoseksual, perilaku seorang pedofil homoseksual melibatkan orang dewasa yang melakukan tindakan seksual dengan anak laki-laki prapubertas, dengan penyimpangan utama adalah usia dan jenis kelamin dalam pilihan objek seksual. Pedofil homoseksual biasanya memiliki riwayat perilaku homoseksual sebelumnya, dengan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka pernah memiliki pengalaman homoseksual dan sebagian kecil sudah menikah.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa perilaku ini adalah pilihan gaya hidup para pedofil homoseksual, karena mereka sudah mengidentifikasi diri sebagai homoseksual. Telah diketahui bahwa pedofil homoseksual lebih cenderung memiliki rasa keselarasan dengan tindakannya dan menolak perubahan dibandingkan dengan pedofil heteroseksual. Selain itu, tingkat kekambuhan pedofil homoseksual secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pedofil heteroseksual.

3.3 Implikasi Penyimpangan Seksual Pedofilia Terhadap Kesehatan Mental Anak Sebagai Korban 

Mengalami kejahatan seksual memiliki dampak serius pada kesehatan mental anak. Banyak dari mereka mengalami trauma, kurang percaya diri, kesulitan dalam menerima keadaan, depresi, dan gangguan psikologis lainnya. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual sering kali menjadi pemarah dan sensitif terhadap lingkungan sekitar, yang dapat berpotensi menyebabkan kondisi depresi.

Gangguan emosional yang dialami oleh anak korban pedofilia juga dapat mengakibatkan perilaku agresif dan bahkan membahayakan diri mereka sendiri. Berikut ini merupakan dampak.implikasi negatif yang terjadi pada kesehatan mental anak sebagai korban perilaku pedofilia berdasarkan literatur dari penelitian oleh Timotius Mailanus pada 2018, sebagai berikut:

1. Anak-anak yang menjadi korban pedofilia sering kali mengalami kurangnya keyakinan diri dalam meraih prestasi.

Ketika ditanya apakah mereka ingin mencapai kesuksesan seperti teman sekelasnya, mereka mungkin mengatakan ingin, namun segera merasa tidak mampu. Mereka cenderung lebih fokus pada luka batin mereka daripada prestasi. Faktor yang menghalangi mereka dalam meraih prestasi termasuk kurangnya percaya diri dan rasa merasa tidak mampu. Anak-anak korban pedofilia sering tidak memiliki niat untuk menjadi yang terbaik dan hanya melakukan sebatas kemampuan mereka. Ketika bekerja sama dengan orang lain, mereka mungkin menghadapi hambatan dan tidak total dalam kolaborasi. Mereka juga mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang erat dengan orang lain dan lebih suka melakukan segala hal sendiri.

2. Anak korban pedofilia memiliki sifat tidak menerima dan menjadi seorang pribadi yang mudah marah.

Anak-anak yang menjadi korban pedofilia cenderung menunjukkan sifat tidak menerima dan mudah marah. Ketika difitnah atau disalahpahami, mereka dapat bereaksi dengan kemarahan dan tersinggung. Mereka merasa tidak nyaman dan mungkin menunjukkan perilaku ekspresif seperti marah atau perilaku non-ekspresif seperti menjauhkan diri dari situasi yang membuat mereka tidak nyaman. Anak-anak korban pedofilia juga mungkin merasa tidak menerima ketika kasus pedofilia mereka diungkit oleh orang lain. Saat mereka masih merasa sebagai korban, mereka dapat menunjukkan perubahan perilaku dan reaksi agresif, baik lisan dengan kata-kata atau fisik dengan tindakan agresif.

3. Anak korban pedofilia merasa berbeda dengan temannya.

Anak-anak yang menjadi korban pedofilia sering merasa berbeda dengan teman sebayanya. Setelah menjadi korban, mereka cenderung menjadi lebih pendiam dan menjauhi interaksi dengan teman seumurannya. Menjadi korban pedofilia membuat mereka merasa bersalah.

4. Korban merasa malu dan minder

Anak-anak korban pedofilia sering merasa malu, minder, dan ragu dalam berinteraksi sosial. Mereka mungkin merasa malu ketika berada di hadapan umum, yang dapat mengakibatkan penurunan prestasi dan kesulitan tampil di depan orang lain karena mereka kehilangan fokus dan cenderung berprasangka negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

5. Anak korban pedofilia adalah mereka tidak mencari pengakuan

Anak-anak korban pedofilia sering merasa tidak mendapatkan pengakuan atau perhatian dari orang lain. Ketika merasa diabaikan, mereka bisa menunjukkan perilaku berlebihan dan semakin menyendiri. Mereka mulai menarik diri dari pergaulan dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu sendiri di rumah. Hal ini sering kali terjadi ketika mereka tidak mendapat dukungan dari orang-orang di sekitar mereka, yang membuat mereka cenderung mengisolasi diri.

IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pedofilia, sebagai salah satu bentuk ekstrem dari penyimpangan seksual, menunjukkan ketertarikan seksual yang tidak wajar terhadap anak di bawah umur, seringkali tanpa memandang dampak traumatis yang ditimbulkannya. Anak-anak yang menjadi korban pedofilia sering mengalami dampak psikologis yang serius. Mereka cenderung mengalami penurunan percaya diri, kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat, dan rentan terhadap perasaan marah serta depresi. Beberapa di antara mereka bahkan merasa terisolasi dan merasa tidak diperhatikan oleh lingkungannya, yang dapat mengakibatkan perilaku menyendiri dan perasaan malu yang mendalam. Selain itu, perubahan perilaku seperti agresi verbal atau fisik juga dapat muncul sebagai respons terhadap pengalaman traumatis yang mereka alami.

Implikasi dari penyimpangan seksual terhadap anak mencakup dampak yang meluas terhadap kehidupan psikososial korban. Mereka sering merasa tidak diterima dan merasa berbeda dengan teman-teman sebayanya, yang dapat mengganggu perkembangan emosional dan sosial mereka. Hal ini menciptakan tantangan serius dalam memulihkan kesehatan mental mereka, memerlukan dukungan yang intensif dari keluarga, sekolah, dan profesional kesehatan mental untuk memfasilitasi proses penyembuhan.

Dengan demikian, diperlukan pendekatan yang sesuai dan efektif dalam penanganan kasus pedofilia atas dampak yang terjadi pada korban pedofilia. Diperlukan kiat-kiat untuk melindungi dan mendukung korban serta mencegah terulangnya tindakan tersebut. Upaya pencegahan yang efektif harus mencakup pendidikan yang lebih luas tentang kesadaran seksual, peningkatan pengawasan terhadap interaksi antara anak-anak dan orang dewasa, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku. Hanya dengan upaya bersama yang dapat mengurangi  dampak negatif dari penyimpangan seksual pedofilia ini terhadap anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun