Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Visi Generasi Emas Sulit Tercapai Jika Pemimpin Tidak Memiliki Kapasitas

1 Desember 2024   13:01 Diperbarui: 1 Desember 2024   13:01 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Pembangunan Berkelanjutan/ SDG's (freepik)

Hampir dapat dipastikan Gubernur Aceh yang baru periode 2025-2030, akan dipegang oleh Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf atau biasa disebut Mualem. Kemenangan Muzakir Manaf bersama wakilnya Fadhlullah atas rivalnya Bustami Hamzah-Syeh Fadhil pada Pilkada Serentak 2024 ditengarai banyak terjadi keanehan-keanehan.

Sejumlah kejanggalan misalnya yang terjadi pada masa pencoblosan pada hari pemungutan suara dan dilanjutkan perhitungan suara di TPS yang diduga terindikasi adanya kecurangan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.

Termasuk adanya intimidasi dan teror terhadap calon pemilih, tim pendukung/tim pemenangan paslon tertentu yang terjadi di beberapa daerah basis suara Bustami Hamzah-Syeh Fadhil, dan lain sebagainya yang mewarnai aksi kekerasan Pilkada.

Baca Juga : Singgung Tsunami Dahsyat 2004, Penceramah Ini Ajak Masyarakat Meninggalkan MaksiatSinggung Tsunami Dahsyat 2004, Penceramah Ini Ajak Masyarakat Meninggalkan Maksiat

Meski setiap perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah di negeri ini kerap berlangsung dengan kualitas buruk, namun hal itu tidak menjadi soal. Terpenting berhasil meraih suara terbanyak, karena itulah ukuran kemenangan sebuah pesta demokrasi.

Sekilas kedengarannya sangat tidak mengenakkan. Tetapi itulah faktanya. Proses pemilu (Pilkada) yang berlangsung di negeri khatulistiwa ini kerap berjalan sangat kotor dan penuh kecurangan.

Keterpilihan Muzakir Manaf-Fadhlullah yang didukung oleh Partai Aceh sebagai partai lokal, para mantan kombatan GAM, dan Partai Gerindra atas Bustami Hamzah-Syeh Fadhil yang didukung oleh Partai Golkar, dan PAN disambut gegap gempita oleh simpatisannya.

Bagi para loyalis Muzakir Manaf, keberhasilan bos-nya menguasai jabatan penting di pemerintahan merupakan sebuah kemenangan besar. Dengan kekuasaan di tangan, setidaknya aspirasi kelompok tersebut yang selama ini belum terakomodir, maka akan mudah untuk dieksekusi kembali.

Bagi rakyat Aceh secara keseluruhan, sosok Muzakir Manaf juga bukanlah orang asing. Semua juga tahu, Muzakir Manaf pernah memimpin Aceh bersama Dr Zaini Abdullah pada posisi sebagai Wakil Gubernur pada saat itu. Namun keduanya kemudian terlihat tidak harmonis dalam menjalankan kepemimpinan tersebut hingga masa jabatan habis.

Muzakir Manaf memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal apalagi menikmati bangku kuliah di perguruan tinggi. Sehingga ia dianggap tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk membawa Aceh mencapai visi Indonesia Emas dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Persepsi ini terbangun katanya berdasarkan pengalaman rakyat Aceh saat ia memimpin sebelumnya.

Tudingan tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Kepemimpinan Muzakir Manaf nyaris gagal membangun Aceh pada saat dia di pemerintahan dahulu. Bahkan janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan menjadi sebuah pepesan kosong belaka tanpa realita. Rakyat pun merasa dibohongi.

Ada pula sebagian masyarakat menilai, Muzakir Manaf tidak akan mampu bersikap adil dalam menjalankan amanah yang diembannya. Dia cenderung berpihak kepada kelompoknya sendiri, dan mengabaikan pihak-pihak yang tidak dia sukai.

Maka tidak salah jika ada kesan di tengah-tengah masyarakat kalau Partai Aceh berkuasa di pemerintahan dan legislatif, yang lainnya siap-siap berpuasa. Seakan mereka lupa bahwa Aceh sangat heterogen dan memiliki banyak warna. Selain itu anasir politik balas dendam masih melekat dalam gerakan politik nya. Begitu tingkat kekuatiran publik saat ini.

Lantas apa modal Muzakir Manaf memimpin Aceh agar tidak gagal lagi? 

Secara demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Pintu demokrasi terbuka untuk semua warga negara yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah hingga kepala negara atau presiden.

Demikian pula halnya dengan Muzakir Manaf, walaupun pernah melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah, namun dia masih tetap sebagai warga negara Indonesia yang haknya dijamin oleh undang-undang. Maka ini adalah modal pertama sebagai pemimpin.

Akan tetapi dengan modal itu saja tidak cukup. Menurut Imam Al Ghazali, seorang pemimpin, setidaknya harus memiliki tiga kriteria lain yang itu menjadi modal utama dalam ia memimpin, baik level rendah hingga seorang raja. Jika terdapat ketiga hal ini, maka dia layak menjadi pemimpin.

Pertama; pemimpin harus memiliki kecerdasan dan intelektualitas. Kata Imam Al Ghazali, kecerdasan dan intelektualitas sangat penting artinya bagi pemimpin karena faktor tersebut dibutuhkan untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir dan akalnya. Sehingga akan muncul ide-ide dan gagasan yang baik dalam menjalankan kepemimpinannya.

Seorang pemimpin perlu mengedepankan intelektualitas atau pengetahuannya (ilmu pengetahuan) untuk merumuskan berbagai kebijakan dan program kerja untuk kemaslahatan rakyatnya. Lalu darimana intelektualitas ini diperoleh? Tentu saja dari bangku pendidikan.

Memang ada pepatah rakyat yang mengatakan, "tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang malas belajar." Artinya karena tidak mau belajar akhirnya ia menjadi bodoh.

Baca Juga: Menetralkan Perbedaan dan Perselisihan dengan Pendekatan Pemikiran Imam As-syafii Konten ini telah tayang di KMenetralkan Perbedaan dan Perselisihan dengan Pendekatan Pemikiran Imam As-syafii

Mengenai intelektualitas calon pemimpin, kita telah menyaksikan bagaimana kualitas mereka saat debat calon gubernur-wakil gubernur, bupati/walikota yang digelar KPU/KIP Aceh.

Kedua; pemimpin itu harus peduli agama dan religius. Soal ini mungkin atau pada umumnya pemimpin di negeri ini memilikinya kecuali atheisme. 

Namun yang dimaksudkan oleh Imam Al Ghazali bahwa seorang pemimpin itu harus takut dan dekat dengan Allah SWT. Takut berbuat curang sehingga menimbulkan kejujuran karena Allah. Takut melakukan korupsi sebab dia meyakini bahwa Allah SWT pasti melihatnya.

Imam Al-Ghazali memaknai religiusitas adalah pemimpin yang memiliki hubungan baik secara vertikal dengan Allah. Mereka yang senantiasa menjaga hak-hak Allah SWT dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. 'Amal ma'ruf nahi mungkar.'

Ajaran Islam melarang memilih pemimpin bagi umat muslim mereka yang tidak melakukan shalat, gemar melakukan maksiat, dan mengambil hak-hak orang tanpa izin.

Oleh karena itu, apabila seseorang telah baik agamanya, bagus hubungan nya dengan Allah SWT. Maka hubungan dengan sesama manusia pun akan baik atau pemimpin yang takut kepada Allah dan mencintai rakyatnya.

Ketiga; akhlak dan moralitas. Ini merupakan aspek sangat penting dalam dunia kepemimpinan saat ini. Kenapa? Karena kebanyakan pemimpin yang sedang berkuasa atau sebelumnya berkuasa tidak memiliki moralitas yang baik. Mereka dapat disebut cacat moral disebabkan perilaku koruptif yang mereka lakukan.

Imam Al-Ghazali menekankan bahwa, akhlak ini merupakan buah dari segala bentuk ibadah yang dilakukan oleh seseorang. Ini bermakna, meskipun seseorang tersebut telah melakukan ibadah yang banyak, namun jika akhlaknya buruk, berarti ibadah yang ia lakukan tidak memiliki dampak terhadap pembentukan akhlak.

Bentuk perilaku akhlak yang buruk seperti mencurangi orang lain, memfitnah, merusak harta yang bukan miliknya, money politik, menebar teror untuk menciptakan ketakutan, menuduh orang lain padahal dia sendiri pelakunya, dan pelbagai sikap negatif lainnya.

Konon profil buruknya akhlak seseorang dapat dilihat dari gaya komunikasi nya. Bentuk kata-kata yang dipilih dan ucapkan biasa kasar tidak ia tidak peduli apakah orang lain tersinggung dengan ucapannya atau tidak, bagi mereka itu tidak penting.

Lalu apakah dampak memiliki pemimpin yang buruk akhlaknya? Kata Nabi Muhammad Saw, maka tunggulah kehancuran. Selain gagal dalam membangun komunikasi publik, juga akan menyebabkan pola pemerintahan menjadi tertutup dan ekslusif. Ini dapat   mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Menurut penulis, Aceh hari ini membutuhkan seorang pemimpin yang cerdas, bukan hanya cerdas secara intelektualitas, namun juga secara moralitas, spritualitas, dan kecerdasan emosional. Aceh paska damai tidak ingin lagi diseret ke jurang konflik hanya karena untuk memuaskan nafsu sekelompok orang yang ingin meraup keuntungan.

Namun sayangnya, proses demokrasi yang berlangsung hari ini belum dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang menginginkan hidup damai, sejahtera, dan membawa Aceh menuju Indonesia Emas. Menjadikan Aceh yang terbebas dari korupsi dan kehancuran di laut, di darat, dan di gunung. #saveAceh

Disclaimer: Tulisan ini hanya pandangan pribadi dan bersifat asumsi. Jika ada yang tidak sesuai, maka jawablah dengan tulisan lainnya. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun