Hampir dapat dipastikan Gubernur Aceh yang baru periode 2025-2030, akan dipegang oleh Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf atau biasa disebut Mualem. Kemenangan Muzakir Manaf bersama wakilnya Fadhlullah atas rivalnya Bustami Hamzah-Syeh Fadhil pada Pilkada Serentak 2024 ditengarai banyak terjadi keanehan-keanehan.
Sejumlah kejanggalan misalnya yang terjadi pada masa pencoblosan pada hari pemungutan suara dan dilanjutkan perhitungan suara di TPS yang diduga terindikasi adanya kecurangan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Termasuk adanya intimidasi dan teror terhadap calon pemilih, tim pendukung/tim pemenangan paslon tertentu yang terjadi di beberapa daerah basis suara Bustami Hamzah-Syeh Fadhil, dan lain sebagainya yang mewarnai aksi kekerasan Pilkada.
Meski setiap perhelatan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah di negeri ini kerap berlangsung dengan kualitas buruk, namun hal itu tidak menjadi soal. Terpenting berhasil meraih suara terbanyak, karena itulah ukuran kemenangan sebuah pesta demokrasi.
Sekilas kedengarannya sangat tidak mengenakkan. Tetapi itulah faktanya. Proses pemilu (Pilkada) yang berlangsung di negeri khatulistiwa ini kerap berjalan sangat kotor dan penuh kecurangan.
Keterpilihan Muzakir Manaf-Fadhlullah yang didukung oleh Partai Aceh sebagai partai lokal, para mantan kombatan GAM, dan Partai Gerindra atas Bustami Hamzah-Syeh Fadhil yang didukung oleh Partai Golkar, dan PAN disambut gegap gempita oleh simpatisannya.
Bagi para loyalis Muzakir Manaf, keberhasilan bos-nya menguasai jabatan penting di pemerintahan merupakan sebuah kemenangan besar. Dengan kekuasaan di tangan, setidaknya aspirasi kelompok tersebut yang selama ini belum terakomodir, maka akan mudah untuk dieksekusi kembali.
Bagi rakyat Aceh secara keseluruhan, sosok Muzakir Manaf juga bukanlah orang asing. Semua juga tahu, Muzakir Manaf pernah memimpin Aceh bersama Dr Zaini Abdullah pada posisi sebagai Wakil Gubernur pada saat itu. Namun keduanya kemudian terlihat tidak harmonis dalam menjalankan kepemimpinan tersebut hingga masa jabatan habis.
Muzakir Manaf memang tidak sempat mengenyam pendidikan formal apalagi menikmati bangku kuliah di perguruan tinggi. Sehingga ia dianggap tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk membawa Aceh mencapai visi Indonesia Emas dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Persepsi ini terbangun katanya berdasarkan pengalaman rakyat Aceh saat ia memimpin sebelumnya.