Tudingan tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Kepemimpinan Muzakir Manaf nyaris gagal membangun Aceh pada saat dia di pemerintahan dahulu. Bahkan janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan menjadi sebuah pepesan kosong belaka tanpa realita. Rakyat pun merasa dibohongi.
Ada pula sebagian masyarakat menilai, Muzakir Manaf tidak akan mampu bersikap adil dalam menjalankan amanah yang diembannya. Dia cenderung berpihak kepada kelompoknya sendiri, dan mengabaikan pihak-pihak yang tidak dia sukai.
Maka tidak salah jika ada kesan di tengah-tengah masyarakat kalau Partai Aceh berkuasa di pemerintahan dan legislatif, yang lainnya siap-siap berpuasa. Seakan mereka lupa bahwa Aceh sangat heterogen dan memiliki banyak warna. Selain itu anasir politik balas dendam masih melekat dalam gerakan politik nya. Begitu tingkat kekuatiran publik saat ini.
Lantas apa modal Muzakir Manaf memimpin Aceh agar tidak gagal lagi?Â
Secara demokrasi, setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Pintu demokrasi terbuka untuk semua warga negara yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah hingga kepala negara atau presiden.
Demikian pula halnya dengan Muzakir Manaf, walaupun pernah melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah, namun dia masih tetap sebagai warga negara Indonesia yang haknya dijamin oleh undang-undang. Maka ini adalah modal pertama sebagai pemimpin.
Akan tetapi dengan modal itu saja tidak cukup. Menurut Imam Al Ghazali, seorang pemimpin, setidaknya harus memiliki tiga kriteria lain yang itu menjadi modal utama dalam ia memimpin, baik level rendah hingga seorang raja. Jika terdapat ketiga hal ini, maka dia layak menjadi pemimpin.
Pertama; pemimpin harus memiliki kecerdasan dan intelektualitas. Kata Imam Al Ghazali, kecerdasan dan intelektualitas sangat penting artinya bagi pemimpin karena faktor tersebut dibutuhkan untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir dan akalnya. Sehingga akan muncul ide-ide dan gagasan yang baik dalam menjalankan kepemimpinannya.
Seorang pemimpin perlu mengedepankan intelektualitas atau pengetahuannya (ilmu pengetahuan) untuk merumuskan berbagai kebijakan dan program kerja untuk kemaslahatan rakyatnya. Lalu darimana intelektualitas ini diperoleh? Tentu saja dari bangku pendidikan.
Memang ada pepatah rakyat yang mengatakan, "tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang malas belajar." Artinya karena tidak mau belajar akhirnya ia menjadi bodoh.