Mataku nyaris tidak berkedip. Dia sangat tampan! Dadanya sungguh bidang! Aih. Diam-diam aku merasa bangga memacari anaknya. Â
"Pacarnya?"
"Eh? Iya Om," jawabku malu.
Ketika dia duduk di samping istrinya tepat di depanku, senyumku melenyap seketika. Darahku makin mendidih. Tubuhku bergetar ingin mengeluarkan hatter di sela jaket. Ah! Tato tengkorak ada di punggung tangannya! Tidak mungkin! Apakah ini alasan mengapa Rizki selalu menolak ketika aku ingin berkunjung ke rumahnya? Tapi, ke mana bekas irisan pisau di pipinya? Apakah mendapat perawatan khusus hingga bekas itu hilang?
***
"Lucky! Maafkan aku tidak menghubungimu semalam."
Aku hanya mengangguk.
"Hei! Kau marah padaku? Aku benar-benar minta maaf, Sayang. Tugas skripsiku benar-benar mendesak."
Kuangguki lagi. Dia kemudian menggeser bangkunya hingga makin dekat denganku.
"Maafkan aku, Sayang."
"Itu kebiasaanmu. Mengapa tidak menginfokan padaku kalau kau sibuk?"