Mohon tunggu...
Cadis Luz
Cadis Luz Mohon Tunggu... Nelayan - Sing tenang.

Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentangku. Imam Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kupu-Kupu Cacat

4 September 2019   22:51 Diperbarui: 4 September 2019   23:02 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku yang memang sudah lelah seharian melukis, dengan mudah menyerahkannya, lukisanku sendiri. Aku pikir ini boleh juga, Intan sudah berbaik hati akan mengumpulkan karyaku itu. Lalu ada perasaan senang dan tegang karena baru kali ini mengikuti sebuah perlombaan melukis, membayangkan lukisan tersebut terpampang bersama dengan lukisan milik seniman terkenal, sungguh luar biasa!

*

Jika orang bilang sebuah persahabatan adalah ketika  ia membantumu dalam kesulitan ... itu benar, tapi jika sahabat sendiri mengambil alih kesulitan tersebut bagaimana? Bukankah itu terkesan egois dengan mengambil beban orang lain dan memilih memikulnya sendiri? Itu adalah sikap jahat!

Jahat kepada diri sendiri.

Beberapa hari kemudian, yang begitu ditunggu-tunggu, pengumuman pemenang. Aku datang kembali ke Taman Ismail Marzuki, rencananya aku dan Intan akan bertemu di sana.

Ketika aku melangkah masuk, beberapa orang terlihat mengerumuni sebuah lukisan yang tidak asing. Aku melangkah semakin dekat, lantas mataku segera membulat melihat lukisan tersebut.

Kukira Intan menjadi pemenangnya, ternyata ....

"Milik Intan?" Dahiku mengernyit membaca arti juga nama pelukisnya dan lebih terbelalak ketika tahu jika lukisan itu pemenangnya. Lalu aku mengarahkan pandangan pada pojok kiri bawah lukisan, berusaha memastikan, tapi  kosong! Tidak ada tanda tangan Intan. Lebih tepatnya seperti ditutupi dengan tambahan cat warna.

Kata orang, kekecewaan terdalam adalah ketika kamu tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Seperti yang kurasakan sekarang. Apakah Intan tidak percaya padaku jika aku bisa. Kenapa anak yang mengasihani itu adalah Intan sendiri? Dan kenapa Tuhan mengirimnya?  Atau ... ah! Apa yang sebenarnya Intan inginkan?

Aku masih terdiam tidak mengerti, hingga detik kemudian, saat aku menoleh, kulihat Intan datang dengan berlari ke arahku.

"Al, maaf gue telat, tadi macet banget soalnya," ucapnya dengan napas tersengal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun