Mohon tunggu...
Cadis Luz
Cadis Luz Mohon Tunggu... Nelayan - Sing tenang.

Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentangku. Imam Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kupu-Kupu Cacat

4 September 2019   22:51 Diperbarui: 4 September 2019   23:02 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku juga pernah dalam fase saat masih menjadi ulat dan banyak menerima cacian. Bahkan banyak pasang mata yang menatapku hina. Kadang mereka terlihat ketakutan, jijik, dan seperti ingin membunuh.

Namun, sekarang aku tengah menjadi kepompong, menunggu saatnya tiba menjadi kupu-kupu, yang mana kata orang, mereka ... cantik. Memiliki sayap dengan warna, juga lukisan indah yang digores sempurna oleh Tuhan.

Ya, aku masih menunggu saat dapat membuka kepompong lalu terbang. Walaupun harus kulalui hujan, panas, bahkan angin kencang yang sewaktu-waktu bisa membuatku jatuh dari ranting, juga beberapa serangga kelaparan yang ingin menyantap kepompongku.

Akan kulalui, apapun. Asalkan Tuhan tidak mengirim seorang anak yang memiliki terlalu banyak belas kasih, dia hanya akan merobek kulit kepompong ketika melihatku kesusahan membukanya.

Jangan Tuhan! Kumohon! Dia hanya akan membuatku cacat meski tetap terlihat cantik di mata semua orang.

Itulah yang kutulis pada selembar kertas, lalu menempelnya di dinding kamar dengan selotip sebelum melanjutkan kembali kegiatan melukis.

Namaku Alya kelas dua SMA, menyukai melukis sejak masih duduk di bangku SD. Berawal dari melihat-lihat lukisan Intan teman sejak kecil yang selalu membuatku ternganga, apalagi ketika menjelaskan maksud dari lukisan yang dibuat. Dari warna sampai hanya sebuah goresan tipis sekali pun. Bahkan jika ia mengikuti lomba melukis, hampir selalu mendapatkan juara satu. Tidak hanya itu, beberapa hasil karyanya juga sempat terjual dengan harga yang menurutku cukup fantastis.

Ternyata, semua yang tergores pada kertas kanvas memiliki arti tersendiri yang saling bersenandung. Karena itulah aku tertarik, hingga mengikuti les melukis. Hanya saja, aku mengambil tempat yang berbeda dengan Intan. Alasannya sederhana, hanya ingin memberikan kejutan padanya dengan memperlihatkan karyaku yang hebat dari segi lukis maupun arti, suatu hari nanti.

Sesekali aku mendongak melihat jam dinding, dan mulai gelisah karena Intan belum juga datang menjemputku.

Hari ini, kami berjanji akan pergi ke pameran lukisan yang digelar di Taman Ismail Marzuki, merupakan sebuah pusat kesenian dan kebudayaan yang berlokasi di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Di taman itu, memiliki enam teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan bioskop. Tepat di Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III ada pameran karya lukis dari beberapa pelukis terkenal dari Indonesia, seperti Basuki Abdullah, Affandi Koesoema, dan Agust Djaya.

Suara klakson dari luar rumah membuatku terkesiap, segera mencuci tangan yang kotor karena cat warna. Sambil berganti pakaian aku berteriak dan sedikit melongok lewat jendela. "Bentar, Tan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun