Mohon tunggu...
Cucu Sutrisno
Cucu Sutrisno Mohon Tunggu... -

saya seseorang mahasiswa PKnH FIS UNY 2010 Kelahiran Sumedang jawa barat. Memiliki hoby olahraga dan nonton film, memiliki ketertarikan lebih terhadap dunia pendidikan dan sosial. Senang dengan karya sastra terutama fiksi sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prospek Otonomi Desa atau Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia Setelah Era Reformasi

2 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 2 Agustus 2016   23:16 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian, tujuan yang menguatkan kepemilikan hak asal usul dan hak tradisional desa atau kesatuan masyarakat hukum adat itu diperkuat oleh konsideran “menimbang” Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tidak sebatas hanya pada pengakuan namun juga pada tata kelola pemerintahan desa dan teritori, dan kepentingan masyarakatnya sendiri. Itu sebagaimana yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Pasal 1 angka 2 juga menjelaskan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Adapun Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa (Pasal 1 angka 3). Ketentuan-ketentuan itu merupakan prospek pengelolaan otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia agar dapat lebih berdaya daripada dibawah ketentuan dalam peraturan perundangan mengenai desa yang telah ada sebelumnya.

Meski demikian, kewenangan desa atau kesatuan masyarakat hukum adat ternyata bukan tanpa ketentuan namun didasari asas penyelenggaraan desa dari yang tadinya berdasarkan asas desentralisasi, yakni otonomi daerah, sekarang menjadi asas rekognisi dan subsidiaritas (Ni’Matul Huda: 2015: 213). Itu sebagaimana penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai asas pengaturan bahwa Asas pengaturan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2014  adalah:

  • rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
  • subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
  • keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalamkehidupan berbangsa dan bernegara;
  • kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
  • kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
  • kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
  • musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
  • demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem
  • pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
  • kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
  • partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
  • kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
  • pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
  • keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan Desa.

Ni’matul Huda (2015: 214) memaparkan bahwa kewenangan desa teridiri dari beberapa hal sebagaimana ketentuan Pasal 3 dan Penjelasan Umum UU No. 6 Tahun 2014 yakni meliputi kewenangan di bidang Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Kewenang desa meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul yang paling sedikit terdiri atas: a. sistem organisasi masyarakat adat; b. pembinaan kelembagaan masyarakat; c. pembinaan lembaga dan hukum adat; d. pengelolaan tanah kas Desa; dan e. pengembangan peran masyarakat (Pasal 34 ayat (1) PP. No. 43 Tahun 2014). Selain itu kewenangan desa juga meliputi kewenangan lokal berskala desa meliputi: a. pengelolaan tambatan perahu; b. pengelolaan pasar Desa; c. pengelolaan tempat pemandian umum; d. pengelolaan jaringan irigasi; e. pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa; f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu; g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;h. pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan; i. pengelolaan embung Desa; j. pengelolaan air minum berskala Desa; dan k. pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah pertanian. Kemudian kewenang desa juga meliputi kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014). 

Terakhir, kewenangan desa juga meliputi kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014 jo. Pasal 34 ayat (3) PP No. 43 Tahun 2014). Pengaturan mengenai kewenang desa atau kesatuan masyarakat ada ini menjadi peluang bagi pengembangan kesatuan masyarakat adat di Indonesia karena ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 2014 meberikan peluang adanya otonomi desa atau kesatuan masyarakat adat untuk eksis dalam mengurusi pemerintahan desa atau kesatuan masyarakat adatnya masing-masing. Kini tinggal partisipasi dan peran serta masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 dan berbagai peraturan pelaksananya. Melalui politik multikulturalisme ini pula, kesatuan masyarakat hukum adat dapat menjadi bagian dalam rangka mencegah dan menangani konflik akibat elemen identitas yang berbeda berupa etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lainnya.

Kesimpulan

Otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat local cultural geniuses sebagai zelfstandige gemeentschappen dan volksgemeenschappen adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa tidak memiliki jaminan dan pengaturan yang jelas terutama pada pemerintahan Era Orde Baru. Padahal, teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni oleh banyak desa atau kesatuan masyarakat hukum adat yang sejak sebelum Indonesia merdeka sudah ada dan secara natural telah lebih dahulu memiliki otonomi asli (original autonomy power)bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, apabila tidak ada pengakuan atas otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat, justru merupakan suatu diskriminasi.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) telah mengakui keberadaan eksistensi dan otonomi desa dan kesatuan masyarakat hukum ada di Indonesia. Namun, pengaturan mengenai desa atau kesatuan masyarakat hukum adat yang dikeluarkan pemerintah acapkali tidak cukup untuk mewadahi keberagaman kultural masyarakat hukum adat di Indonesia. Itu telah terjadi sejak Indonesia merdeka hingga Era Reformasi saat ini. 

Pengaturan mengenai desa atau kesatuan masyarakat hukum adat tidak memberikan otonomi sebagaimana mestinya yang harus dimiliki oleh local cultural geniuses sebagai zelfstandige gemeentschappen dan volksgemeenschappen.Bahkan, tidak jarang justru kebijakan pemerintah mengebiri otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat seperti penyeragaman nama, sistem dan penyelenggaraan pemerintahan desa maupun kedudukan dan kewenangan desa yang dikontrol oleh pemerintah pusat maupun daerah serta tidak adanya pengakuan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah perubahan) sebenarnya memuat keberpihakan terhadap kesaatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Hal itu nampak pada rumusan Pasal Pasal 18 B ayat (2) yang secara tegas mengemukakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kehadiran UU No. 6 Tahun 2014 sebagai pengejawantahan Pasal 18 B ayat (2) merupakan peluang bagi perwujudan otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia saat ini setelah kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum mampu memberikan otonomi yang lebih baik.

Prospek otonomi desa dalam pengaturan desa atau kesaatuan masyarakat hukum adat di Indonesia yang dimuat dalam UU No. 6 Tahun 2014 diantaranya yakni: 1) pengakuan terhadap nama lain selain desa, 2) ada penggabungan fungsi self-governing community dengan local self governmentsehingga kesaatuan masyarakat hukum adat dapat menjalankan pemerintahannya secara otonom, 3) adanya kewenangan desa yang lebih luas dan maandiri dibidang ekonomi, sosial-budaya dan politik. Prospek otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat ini hanya tinggal dilengkapi dengan adanya partisipasi dan peran serta masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 dan berbagai peraturan pelaksananya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun