Mohon tunggu...
Cucu Sutrisno
Cucu Sutrisno Mohon Tunggu... -

saya seseorang mahasiswa PKnH FIS UNY 2010 Kelahiran Sumedang jawa barat. Memiliki hoby olahraga dan nonton film, memiliki ketertarikan lebih terhadap dunia pendidikan dan sosial. Senang dengan karya sastra terutama fiksi sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prospek Otonomi Desa atau Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia Setelah Era Reformasi

2 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 2 Agustus 2016   23:16 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Keberadaan desa sebagai bagian dari Indonesia telah menjadi perdebatan panjang dalam ketatanegaraan Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini. Pangkal persoalan yang memicu ketegangan hingga saat ini adalah ikhwal otonomi desa[1] apakah dilandasi hak berian ataukah hak bawaan. Esensi Pasal 18 UUD 1945 berikut penjelasannya memang telah memuat adanya pengakuan negara pada apa yang disebut sebagai “otonomi desa”. Itu dapat dilihat dalam bunyi Pasal 18 UUD 1945 bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 

Ni’matul Huda (2015: 7) mengemukakan bahwa pada pasal tersebut terkandung esensi  mengenai pemerintah tingkat daerah yang harus disusun dan diselenggarakan dengan “memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa desa dan satuan pemerintah asli lainnya semacam desa dan zelfstandige gemeentschappen adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa. Oleh karena itu, susunan daerah di Indonesia akan terdiri dari dua susunan yaitu daerah besar yang dicerminkan oleh zelfstandige gemeentschappendan daerah kecil berupa desa dan satuan lain semacam desa (Ni’matul Huda, 2015: 7-8).

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 18 UUD 1945 yang dibuat oleh founding father khususnya Soepomo telah menuliskan pengakuan terhadap keberadaan volksgemeenschappen yang beragam di Indonesia jauh sebelum Indonesia lahir (Ni’matul Huda, 2015: 101-102). Penjelasan itu berbunyi:

“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah--daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”

Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengidentifikasikan hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa sebagai daerah-daerah yang memiliki susunan asli yaitu zelfstandige gemeentschappendanvolksgemeenschappen.Pada penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa volksgemeenschappen,seperti desa, negeri, dusun dan marga, dll., dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Ni’matul Huda (2015: 10) memaknai volksgemeenschappenatau indlandsche gemeente adalah daerah otonom yang dibiarkan mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangga mereka sendiri. Dengan demikian, zelfstandige gemeentschappendanvolksgemeenschappenyang dimaksud penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menunjuk kepada daerah otonomi asli Indonesia yaitu swapraja dan desa.

Namun, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa pada era Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, tidak lagi mengakui penyebutan selain desa untuk menunjuk organisasi komunitas lokal berbasis adat di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menyebabkan berbagai sebutan dari kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang tersebar di seluruh Indonesia dengan sebutan masing-masing yang khas seperti Gampong atau menasah di Aceh, HutadanHuria di Sumatra Utara, Nagari di Sumatra Barat, Margadi Sumatra Selatan dan Lampung, Kelurahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kampung di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain, dihapuskan (Ni’matul Huda, 2015: 148-149). Bagi masyarakat adat terutama masyarakat adat diluar Jawa dan Madura, implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Itu terjadi karena pemerintah daerah di luar Jawa dan Madura dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan masyarakat hukum yang tidak menggunakan kata desa. Sebab, desa yang dimaksud pada undang-undang tersebut sangat terpola seperti desa-desa di Jawa (Ni’matul Huda, 2015: 151-153).

Kesatuan masyarakat hukum adat tidak berhak lagi mengurus rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Hal tersebut telah menjadikan desa tidak lagi otonom sehingga kesatuan masyarakat hukum adat saat itu menjadi tidak lebih dari sekedar ranting patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim Orde Baru (Ni’matul Huda, 2015: 103). Dengan demikian, kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa tidak menjiwai semangat para pendiri bangsa dan esensi Pasal 18 UUD 1945 terutama yang berkaitan dengan desa atau yang sejenis dengannya di Indonesia yang dikatakan sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Selain itu, otonomi desa yang diakui dalam muatan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sebatas hak yang bersifat hak berian bukan hak bawaan. Itu dapat terlihat dari ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pada pasal tersebut, meskipun memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun bersamaan dengan itu pula dinyatakan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan yang terendah langsung di bawah camat. 

Ni’matul Huda (2015: 146) memandang bahwa dengan sendirinya desa merupakan representasi pemerintah pusat dan dengan demikian berarti apa yang dianggap baik oleh pemerintah pusat kala itu, dipandang baik pula oleh desa. Maka, pengintegrasian desa kedalam struktur pemerintah nasional menempatkannya sebagai rantai terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistik. Posisi desa dan kesatuan masyarakat adat yang demikian menempatkan desa hanya memiliki kekuasaan sebatas yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sehingga hak otonomi yang dimiliki desa kala itu menjadi hak yang bersifat berian dari pemerintah pusat, tidak lagi hak yang bersifat bawaan.

Ni’matul Huda (2015: 149) mengatakan bahwa sebutan bagi pemimpin-pemimpin desa dan kesatuan masyarakat hukum adat seperti Keucik, Wali Nagari, Lurah, Petinggi, Kuwu, Kapala Nagari, Pembekal, Soa, Pesirah, Klebun, Kepala Soa, Wanua, Demang, Perbekel, dan lain sebagainya, juga tidak lagi dipergunakan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa bersamaan dengan itu sistem pengelolaan hidup bersama (governnance system) yang ada didalam desa atau kesatuan masyarakat hukum adat, yang didalamnya tercakup sistem pemerintahan (goverment system), digantikan oleh suatu sistem pemerintahan desa yang baru, yang sama sekali berbeda dan karenanya asing bagi warga desa atau kesatuan masyarakat hukum adat (Ni’matul Huda, 2015: 146). Itu menunjukan bahwa desa atau kesatuan masyarakat hukum adat tidak lagi memiliki ruang utnuk mengurusi rumah tangganya sendiri.

Suharno (2011, 1) menyebutkan bahwa kebijakan penyeragaman desa di Indonesia oleh pemerintah era Orde Baru—melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa—merupakan sebuah politik monokulturalisme diambil untuk semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Politik monokulturalisme telah menghancurkan local cultural geniuses kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Padahal, struktur desa yang dimiliki beberapa masyarakat tertentu seperti sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat, pemerintahan marga di Sumatera Selatan, pemerintahan Saniri di Maluku, tidak hanya mengandung sistem pelayanan administrasi namun juga pelayanan adat, dan bahkan memiliki mekanisme resolusi jika terjadi konflik (Suharno, 2011: 2).

Kebijakan politik monokulturalisme akan mempersempit ruang koeksistensi antar berbagai elemen multikultural. Padahal, Indonesia, sebagai negara multikultural, menghadapi potensi konflik yang tinggi antar elemen pembentuk multikulturalismenya. Sehingga diperlukan ruang koeksistensi (space of co-existence) bagi sebagian besar identitas agar meminimalisir potensi konflik yang dapat muncul dari elemen identitas yang berbeda berupa etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lainnya. Negara, sebagai institusi yang mengikat, memaksa, dan mencakup semua (all-encompassing, all-embracing), seharusnya mampu menghadirkan kebijakan yang memberikan ruang bagi diakuinya berbagai elemen identitas di Indonesia guna mencegah munculnya konflik antar elemen masyarakat di Indonesia (Suharno, 2011: 1-2).

Kelahiran era reformasi yang didasari tuntutan reformasi di berbagai bidang telah melahirkan tiga undang-undang yang mengatur tentang desa. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang lahir pada masa transisi sebelum adanya perubahan UUD 1945. Kedua,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang lahir setelah perubahan UUD 1945. Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang lahir jauh setelah perubahan UUD 1945. Pengaturan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi penting untuk dikaji selain karena undang-undang tersebut merupakan kebijakan teranyar yang sedang diimplementasikan di Indonesia, juga karena undang-undang tersebut merupakan tumpuan bagi pembaharuan desa di Indonesia setelah sekian banyak kebijakan terdahulu mengenai desa yang mengurangi otonomi desa serta menghilangkan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. 

Oleh karena itu, tulisan singkat ini akan mengkaji prospek otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri sehingga kembali menjadi sistem pengelolaan hidup bersama (governnance system) yang dapat mencegah bahkan mengatasi dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat didaerahnya. 

Terlebih, menurut Ni’matul Huda (2015: 58), masih ada tiga fenomen sosial berupa keterkikisan yang berkaitan dengan peran masyarakat hukum adat yang berlangsung saat ini yakni: 1) keterkikisan ekologi, yaitu adanya kerusakan lingkungan hidup, 2) keterkikisan sosiologis yaitu melemahnya hubungan kekerabatan marga/susku daerah asal usul antar anak rantau dengan kerabat/suku/marga dikampung halamannya; 3) keterkikisan ekonomi disetiap daerah dalam rangka otonomi daerah.

Dasar Kewajiban Negara Terhadap Desa atau Kesatuan Masyarakat Hukum Adat(Local Genius)di Indonesia

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat).Hal itu telah termuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Konsep negara hukum tetap dipertahankan pada perubahan ketiga UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat). Rechtsstaatmerupakan istilah yang diperkelanlakn Carl, J Friedrich dan Friedrich J. Stahl dalam meneyebut negara hukum. Sedangkan A. V. Dicey menyebut negara hukum sebagai the rule of law yang secara sederhana berarti keteraturan hukum. Konsep negara hukum dari para ahli tersebut menuurut Jimly Assidiquie (2009: 24) meskipun menjadi dasar perkembangan negera hukum di berbagai dunia namun mendapat gugatan menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah perang dunia ke 2 karena pandangan negara hukum tersebut—yang oleh Miriam Budiarjo disebut sebagai negara hukum klasik—menempatkan negara tidak lebih dari hanya sekedar penjaga malam (nachtwachterstaat) karena negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif.

Gugatan tersebut akhirnya melahirkan gagasan baru welvaart staat atau welfare stateyang menekankan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat sehingga negara harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial (Jimly Assidiquie, 2009: 25). Kemunculan ide rechtsstaat maupun rule of law tak terpisahkan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental yakni pengakuan pentingnya adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional (Jimly Assidiquie, 2009: 29). Pada negara yang menganut demorasi konstitusional, muatan hak asasi manusia wajib ada dalam konstitusi negara dan merupakan materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan hak asasi manusia dianggap sebagao ciri yang mutlak ada di setiap negara yang disebut rechstaat(Jimly Assidiquie, 2012: 343).

Hak-hak kebebasan yang tercantm dalam UUD 1945 dan apabila yang tercantum dalam UU tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki konstiusional importanceyang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai prinsip kontrak sosial (social contraract) maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya (Jimly Assidiquie, 2013: 365). Sebab pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Tuhan YME dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak inilah yang disebut sebagai hak asasi manusia yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia sang pencipta (UU No. 39 Tahun 1999).

Selain, gagasan Negara Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum (Rechtsstaat)yang telah ditegaskan dalam konstitusi sejak masa awal kemerdekaan hingga kini, Negara Indonesia juga merupakan negara penganut demokrasi. Ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar. Prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) memang dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi mata uang. Pada konsep negara hukum yang demokratis (constitutional democracy) seperti demikian, hukum dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi dan sebaliknya demokrasi haruslah diatur berdasarkan hukum (Jimly Assidiquie, 2011: 132-133).

Jaminan perlindungan hak asasi manusia menjadi bagian yang harus ada dalam negara penganut rule of law maupun  negara constitutional democracy. Instrumen internasional sebagai jaminan hak asasi manusia bagi keberadaan masyarakat adat sebenarnya sudah ada dalam Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di negara-Negara Merdeka 1989 (no. 169). Pasal 5 huruf (a) konvensi tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai sosial, budaya, agama dan kejiwaan dan praktik-praktik para penduduk ini harus diakui dan dilindungi, dan harus diberikan perhatian yang semestinya pada sifat masalah yang menghadang mereka bukan saja sebagai kelompok tetapi juga perseorangan. Selanjutnya sebagaimana sudah disebutkan di awal, pada penjelasan Bab VI UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurende land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. 

Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Ini berarti, keberadaan dan eksistensi masyarakat hukum adat telah memiliki jaminan hukum internasional dan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Meskipun pada pemerintahan Orde Baru, ketentuan UUD 2945 itu tidak digubris bila mengingat muatan Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa yang justru mengebiri otonomi masyarakat hukum adat di Indonesia. 

Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B ayat (2) menyatakan bahwa (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjtnya, Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melengkapi dengan menyebutkan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sederet ketentuan itu sebenarnya dapat menjadi dasar bagi perlindungan dan pemajuan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat di Indeonsia. Melalui berbagai kebijakannya, pemerintah seyogianya memberikan otonomi kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagai pengejawantahan dianutnya paham rule of law dan constitutional democracy.Apalagi, selain itu merupakan hak sipil warga negara Indonesia, itu juga bagian dari hak asasi manusia.

Prospek Otonomi Desa atau Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Istilah penduduk/populasi adat (indigeunous populations) digunakan pertama kali pada forum internasional dalam konferensi Berlin Tahun 1884-1885. Istilah itu dipakai untuk menyebut penduduk asli/pribumi di afrika yang berada dibawah dominasi kolonial Kekuatan Besar (Great Power), untuk membedakannya dari warga negara atau penduduk dari bangsa-bangsa (Great Power) yang menjajah. Sedangkan, istilah masyarakat hukum adat biasanya digunakan dalam merujuk individu-individu dan kelompok-kelompok yang merupakan keturunan penduduk asli yang tinggal di sebuah negara. (Ni’matu Huda, 2015: 57).

Hasil penelitian yang dilakukan  oleh Van Vollenhoven, jauh sebelum kemerdekaan di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu daerah (1) Aceh, (2) Gayo, Alas, Batak dan Nias, (3) Minangkabau, Mentawai, (4) Sumatera Selatan, Enggano, (5) Melayu, (6) Bangka, Belitung,  (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali, Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, (18) Solo, Yogyakarta, (19) Jawa Barat, Jakarta.  Martua Sirait, Chip Fay dan A.Kusworo, 2000: 2-3). Menurut NI’Matul Huda (2015: 212) desa yang ada saat ini sudah berjumlah 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) Kelurahan. 

Sebelum itu, Bab VI UUD 1945 menyatakan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurende land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Menurut Ni’matul Huda (2015: 58), masyarakat hukum adat (indigeunous populations)dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, secara natural telah lebih dahulu memiliki otonomi asli (original autonomy power) dan hak-hak atas tanah (entitiesmens to lands) dimana mereka menetapkan bersama komunitasnya.

Saat ini telah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang mengatur mengenai keberadaan desa dan atau kesatuan masyarakat adat selain desa. Ni’Matul Huda (2015: 206) menyebutkan bahwa meskipun lahir di tahun politik sebelum pemilihan umum tahun 2014, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 telah memberikan payung hukum yang lebih kuat dibandingkan pengaturan desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Menurutnya, otonomi daerah yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menaruh perhatian pada pemenuhan hak-hak otonomi kabupaten/kota, sedangkan desa lebih hanya menjadi komoditas politik pemilihan kepala daerah (Ni’Matul Huda, 2015: 207).

Adanya keberpihakan terhadap eksistensi otonomi asli desa atau kesatuan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 nampak pada muatan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 telah menyebutkan bahwa Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Itu berarti, melalui undang-undang itu, negara telah secara tegas mendasari pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 atas dasar konstitusi yang memuat keberpihakan kepada kesatuan masyarakat hukum adat. 

Selain itu, masih dalam penjelasan umum menyatakan bahwa ada penggabungan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal¬usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.

Penguatan terhadap eksistensi otonomi asli desa dibidang sosial, ekonomi dan politik juga nampak pada tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

  • memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  • memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
  • melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  • mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  • membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  • meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat  perwujudan kesejahteraan umum;
  • meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  • memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  • memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Kemudian, tujuan yang menguatkan kepemilikan hak asal usul dan hak tradisional desa atau kesatuan masyarakat hukum adat itu diperkuat oleh konsideran “menimbang” Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tidak sebatas hanya pada pengakuan namun juga pada tata kelola pemerintahan desa dan teritori, dan kepentingan masyarakatnya sendiri. Itu sebagaimana yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian Pasal 1 angka 2 juga menjelaskan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Adapun Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa (Pasal 1 angka 3). Ketentuan-ketentuan itu merupakan prospek pengelolaan otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia agar dapat lebih berdaya daripada dibawah ketentuan dalam peraturan perundangan mengenai desa yang telah ada sebelumnya.

Meski demikian, kewenangan desa atau kesatuan masyarakat hukum adat ternyata bukan tanpa ketentuan namun didasari asas penyelenggaraan desa dari yang tadinya berdasarkan asas desentralisasi, yakni otonomi daerah, sekarang menjadi asas rekognisi dan subsidiaritas (Ni’Matul Huda: 2015: 213). Itu sebagaimana penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengenai asas pengaturan bahwa Asas pengaturan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2014  adalah:

  • rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
  • subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
  • keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalamkehidupan berbangsa dan bernegara;
  • kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
  • kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
  • kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
  • musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
  • demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem
  • pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
  • kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
  • partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
  • kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
  • pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
  • keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan Desa.

Ni’matul Huda (2015: 214) memaparkan bahwa kewenangan desa teridiri dari beberapa hal sebagaimana ketentuan Pasal 3 dan Penjelasan Umum UU No. 6 Tahun 2014 yakni meliputi kewenangan di bidang Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. Kewenang desa meliputi: kewenangan berdasarkan hak asal usul yang paling sedikit terdiri atas: a. sistem organisasi masyarakat adat; b. pembinaan kelembagaan masyarakat; c. pembinaan lembaga dan hukum adat; d. pengelolaan tanah kas Desa; dan e. pengembangan peran masyarakat (Pasal 34 ayat (1) PP. No. 43 Tahun 2014). Selain itu kewenangan desa juga meliputi kewenangan lokal berskala desa meliputi: a. pengelolaan tambatan perahu; b. pengelolaan pasar Desa; c. pengelolaan tempat pemandian umum; d. pengelolaan jaringan irigasi; e. pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa; f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu; g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;h. pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan; i. pengelolaan embung Desa; j. pengelolaan air minum berskala Desa; dan k. pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah pertanian. Kemudian kewenang desa juga meliputi kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014). 

Terakhir, kewenangan desa juga meliputi kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014 jo. Pasal 34 ayat (3) PP No. 43 Tahun 2014). Pengaturan mengenai kewenang desa atau kesatuan masyarakat ada ini menjadi peluang bagi pengembangan kesatuan masyarakat adat di Indonesia karena ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 2014 meberikan peluang adanya otonomi desa atau kesatuan masyarakat adat untuk eksis dalam mengurusi pemerintahan desa atau kesatuan masyarakat adatnya masing-masing. Kini tinggal partisipasi dan peran serta masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 dan berbagai peraturan pelaksananya. Melalui politik multikulturalisme ini pula, kesatuan masyarakat hukum adat dapat menjadi bagian dalam rangka mencegah dan menangani konflik akibat elemen identitas yang berbeda berupa etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lainnya.

Kesimpulan

Otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat local cultural geniuses sebagai zelfstandige gemeentschappen dan volksgemeenschappen adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa tidak memiliki jaminan dan pengaturan yang jelas terutama pada pemerintahan Era Orde Baru. Padahal, teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni oleh banyak desa atau kesatuan masyarakat hukum adat yang sejak sebelum Indonesia merdeka sudah ada dan secara natural telah lebih dahulu memiliki otonomi asli (original autonomy power)bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sehingga, apabila tidak ada pengakuan atas otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat, justru merupakan suatu diskriminasi.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum perubahan) telah mengakui keberadaan eksistensi dan otonomi desa dan kesatuan masyarakat hukum ada di Indonesia. Namun, pengaturan mengenai desa atau kesatuan masyarakat hukum adat yang dikeluarkan pemerintah acapkali tidak cukup untuk mewadahi keberagaman kultural masyarakat hukum adat di Indonesia. Itu telah terjadi sejak Indonesia merdeka hingga Era Reformasi saat ini. 

Pengaturan mengenai desa atau kesatuan masyarakat hukum adat tidak memberikan otonomi sebagaimana mestinya yang harus dimiliki oleh local cultural geniuses sebagai zelfstandige gemeentschappen dan volksgemeenschappen.Bahkan, tidak jarang justru kebijakan pemerintah mengebiri otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat seperti penyeragaman nama, sistem dan penyelenggaraan pemerintahan desa maupun kedudukan dan kewenangan desa yang dikontrol oleh pemerintah pusat maupun daerah serta tidak adanya pengakuan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah perubahan) sebenarnya memuat keberpihakan terhadap kesaatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Hal itu nampak pada rumusan Pasal Pasal 18 B ayat (2) yang secara tegas mengemukakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kehadiran UU No. 6 Tahun 2014 sebagai pengejawantahan Pasal 18 B ayat (2) merupakan peluang bagi perwujudan otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia saat ini setelah kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum mampu memberikan otonomi yang lebih baik.

Prospek otonomi desa dalam pengaturan desa atau kesaatuan masyarakat hukum adat di Indonesia yang dimuat dalam UU No. 6 Tahun 2014 diantaranya yakni: 1) pengakuan terhadap nama lain selain desa, 2) ada penggabungan fungsi self-governing community dengan local self governmentsehingga kesaatuan masyarakat hukum adat dapat menjalankan pemerintahannya secara otonom, 3) adanya kewenangan desa yang lebih luas dan maandiri dibidang ekonomi, sosial-budaya dan politik. Prospek otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat ini hanya tinggal dilengkapi dengan adanya partisipasi dan peran serta masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 dan berbagai peraturan pelaksananya.

Daftar Pustaka

Nasution, Adnan Buyung & A. Petra M, Zen. (2006). Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Jimly Assidiquie (2005). Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta: Kencana

Jimly Assidiquie (2011). Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers

Jimly Assidiquie (2012). Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika

Martua Sirait, Chip Fay & A.Kusworo. (2001). Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur. Dalam ICRAF. Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat Diindonesia;  Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan Dalam Era Otonomi Daerah. Lampung: ICRAF-SEA

Ni’matul Huda. (2015). Hukum Pemerintahan Desa dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi. Malang: Stara Press

Sekertariat Negara Republik Indonesia. (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidi Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Jakarta: Sekertariat negara Republik Indonesia

Suharno. (2011). Politik Rekognisi dalam Peraturan Daerah Tentang Penyelesaian Konflik di Dalam Masyarakat Multikultural,Studi Kasus Terhadap Perumusan dan Implementasi  Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur No.  5 Tahun 2004 Tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik di Sampit Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah. Yogyakarta: Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM

[1] Ni’matul Huda mengatakan bahwa berkaitan dengan adanya pengakuan atas otonomi desa, dalam wacana politik hukum dikenal adanya dua macam konsep berdasarkan asal-usulnya. Pertama adalah hak yang bersifat berian (hak berian) yang wacananya bergeser dari hak menjadi wewenang (autorithy) yang harus selalu dipertanggungjawabkan. Selain itu, konsep urusan rumah tangga daerah hilang digantikan dengan konsep kepentingan masyarakat. Kedua, hak yang merupakan bawaan yang melekat pada sejarah asal-usul unit yang emmiliki otonomi itu. Hak bawaan adalah hak yang telah tumbuh berkembang dan terpelihara oleh suatu kelembagaan (institution)yang mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Lihat Ni’matul, Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press, Malang, 2015, Hlm. 16

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun