Mohon tunggu...
Cucu Sutrisno
Cucu Sutrisno Mohon Tunggu... -

saya seseorang mahasiswa PKnH FIS UNY 2010 Kelahiran Sumedang jawa barat. Memiliki hoby olahraga dan nonton film, memiliki ketertarikan lebih terhadap dunia pendidikan dan sosial. Senang dengan karya sastra terutama fiksi sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prospek Otonomi Desa atau Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia Setelah Era Reformasi

2 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 2 Agustus 2016   23:16 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suharno (2011, 1) menyebutkan bahwa kebijakan penyeragaman desa di Indonesia oleh pemerintah era Orde Baru—melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah yang merupakan cikal bakal lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa—merupakan sebuah politik monokulturalisme diambil untuk semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Politik monokulturalisme telah menghancurkan local cultural geniuses kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Padahal, struktur desa yang dimiliki beberapa masyarakat tertentu seperti sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat, pemerintahan marga di Sumatera Selatan, pemerintahan Saniri di Maluku, tidak hanya mengandung sistem pelayanan administrasi namun juga pelayanan adat, dan bahkan memiliki mekanisme resolusi jika terjadi konflik (Suharno, 2011: 2).

Kebijakan politik monokulturalisme akan mempersempit ruang koeksistensi antar berbagai elemen multikultural. Padahal, Indonesia, sebagai negara multikultural, menghadapi potensi konflik yang tinggi antar elemen pembentuk multikulturalismenya. Sehingga diperlukan ruang koeksistensi (space of co-existence) bagi sebagian besar identitas agar meminimalisir potensi konflik yang dapat muncul dari elemen identitas yang berbeda berupa etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lainnya. Negara, sebagai institusi yang mengikat, memaksa, dan mencakup semua (all-encompassing, all-embracing), seharusnya mampu menghadirkan kebijakan yang memberikan ruang bagi diakuinya berbagai elemen identitas di Indonesia guna mencegah munculnya konflik antar elemen masyarakat di Indonesia (Suharno, 2011: 1-2).

Kelahiran era reformasi yang didasari tuntutan reformasi di berbagai bidang telah melahirkan tiga undang-undang yang mengatur tentang desa. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang lahir pada masa transisi sebelum adanya perubahan UUD 1945. Kedua,Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang lahir setelah perubahan UUD 1945. Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang lahir jauh setelah perubahan UUD 1945. Pengaturan desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjadi penting untuk dikaji selain karena undang-undang tersebut merupakan kebijakan teranyar yang sedang diimplementasikan di Indonesia, juga karena undang-undang tersebut merupakan tumpuan bagi pembaharuan desa di Indonesia setelah sekian banyak kebijakan terdahulu mengenai desa yang mengurangi otonomi desa serta menghilangkan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. 

Oleh karena itu, tulisan singkat ini akan mengkaji prospek otonomi desa atau kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dalam mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri sehingga kembali menjadi sistem pengelolaan hidup bersama (governnance system) yang dapat mencegah bahkan mengatasi dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat didaerahnya. 

Terlebih, menurut Ni’matul Huda (2015: 58), masih ada tiga fenomen sosial berupa keterkikisan yang berkaitan dengan peran masyarakat hukum adat yang berlangsung saat ini yakni: 1) keterkikisan ekologi, yaitu adanya kerusakan lingkungan hidup, 2) keterkikisan sosiologis yaitu melemahnya hubungan kekerabatan marga/susku daerah asal usul antar anak rantau dengan kerabat/suku/marga dikampung halamannya; 3) keterkikisan ekonomi disetiap daerah dalam rangka otonomi daerah.

Dasar Kewajiban Negara Terhadap Desa atau Kesatuan Masyarakat Hukum Adat(Local Genius)di Indonesia

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat).Hal itu telah termuat dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Konsep negara hukum tetap dipertahankan pada perubahan ketiga UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat). Rechtsstaatmerupakan istilah yang diperkelanlakn Carl, J Friedrich dan Friedrich J. Stahl dalam meneyebut negara hukum. Sedangkan A. V. Dicey menyebut negara hukum sebagai the rule of law yang secara sederhana berarti keteraturan hukum. Konsep negara hukum dari para ahli tersebut menuurut Jimly Assidiquie (2009: 24) meskipun menjadi dasar perkembangan negera hukum di berbagai dunia namun mendapat gugatan menjelang pertengahan abad ke-20 tepatnya setelah perang dunia ke 2 karena pandangan negara hukum tersebut—yang oleh Miriam Budiarjo disebut sebagai negara hukum klasik—menempatkan negara tidak lebih dari hanya sekedar penjaga malam (nachtwachterstaat) karena negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif.

Gugatan tersebut akhirnya melahirkan gagasan baru welvaart staat atau welfare stateyang menekankan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat sehingga negara harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial (Jimly Assidiquie, 2009: 25). Kemunculan ide rechtsstaat maupun rule of law tak terpisahkan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental yakni pengakuan pentingnya adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional (Jimly Assidiquie, 2009: 29). Pada negara yang menganut demorasi konstitusional, muatan hak asasi manusia wajib ada dalam konstitusi negara dan merupakan materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan hak asasi manusia dianggap sebagao ciri yang mutlak ada di setiap negara yang disebut rechstaat(Jimly Assidiquie, 2012: 343).

Hak-hak kebebasan yang tercantm dalam UUD 1945 dan apabila yang tercantum dalam UU tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki konstiusional importanceyang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai prinsip kontrak sosial (social contraract) maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya (Jimly Assidiquie, 2013: 365). Sebab pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Tuhan YME dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak inilah yang disebut sebagai hak asasi manusia yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia sang pencipta (UU No. 39 Tahun 1999).

Selain, gagasan Negara Indonesia sebagai negara yang berdasar hukum (Rechtsstaat)yang telah ditegaskan dalam konstitusi sejak masa awal kemerdekaan hingga kini, Negara Indonesia juga merupakan negara penganut demokrasi. Ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar. Prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) memang dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi mata uang. Pada konsep negara hukum yang demokratis (constitutional democracy) seperti demikian, hukum dibangun dan ditegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi dan sebaliknya demokrasi haruslah diatur berdasarkan hukum (Jimly Assidiquie, 2011: 132-133).

Jaminan perlindungan hak asasi manusia menjadi bagian yang harus ada dalam negara penganut rule of law maupun  negara constitutional democracy. Instrumen internasional sebagai jaminan hak asasi manusia bagi keberadaan masyarakat adat sebenarnya sudah ada dalam Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di negara-Negara Merdeka 1989 (no. 169). Pasal 5 huruf (a) konvensi tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai sosial, budaya, agama dan kejiwaan dan praktik-praktik para penduduk ini harus diakui dan dilindungi, dan harus diberikan perhatian yang semestinya pada sifat masalah yang menghadang mereka bukan saja sebagai kelompok tetapi juga perseorangan. Selanjutnya sebagaimana sudah disebutkan di awal, pada penjelasan Bab VI UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurende land-schappen dan Volksgemeen-schappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun