Mohon tunggu...
BUSTANUL ARIFIN
BUSTANUL ARIFIN Mohon Tunggu... Guru - Guru/Mahasiswa Pascasarjana

Guru dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Qomaruddin Bungah Gresik Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Akhlak Ibnu Miskawaih

3 Juli 2023   12:08 Diperbarui: 3 Juli 2023   12:13 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KONSEP AKHLAQ IBNU MISKAWAIH

Konsentrasi Pendidikan Agama Islam Program Pascasarjana

Universitas Qomaruddin Bungah Gresik

Abstrak : Tulisan ini berusaha menjelaskan konsep Akhlak Ibn Miskawaih, yaitu sebuah konsep yang didasarkan pada aspek paling utama dalam diri manusia yaitu jiwa (nafs). Secara sederhana Ibn Miskawaih memetakan bahwa daya yang ada pada jiwa manusia setidaknya dapat dibagi menjadi tiga, di antaranya al-nafs-Nt}iqah, al-nafs al-Sab'iyyah and al-nafs al-Bahmiyyah. Ketiga daya ini memiliki karakteristik dan tugas masing-masing yang terkadang bisa saling mengalahkan antara satu dengan lainnya. Namun demikian di sisi lain, ketiganya juga dapat seimbang dan harmonis. Kedua keadaan ini sama-sama memiliki konsekuensi logis yang sangat berbeda. Pertama, jika seandainya ketiga daya tersebut tak dapat harmonis, maka cukup dapat dipastikan akan menimbulkan malapetaka serta kesengsaraan, baik bagi dirinya maupun orang atau makhluk lain. Kedua, bila ketiganya dapat seimbang serta pada porsinya, maka orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dan hal itu tercermin dari akhlak terpujinya. Melalui konsep ini, Ibn Miskawaih dipandang sebagai salah satu tokoh yang cukup berhasil mensistematiskan pembahasan mengenai akhlak. Sehingga beberapa tokoh setelahnya juga tak canggung untuk mengadobsi beberapa variabelnya.

Kata Kunci : al-Nafs, Akhlak, Daya Rasional, Daya Emosi, Daya Syahwat, Kebahagiaan.

Pendahuluan

Akhlak adalah satu di antara tiga kerangka dasar ajaran Islam (aqidah, syari'ah dan akhlak) yang juga mempunyai kedudukan penting.[1] Wujudnya merupakan bukti konkrit dari penerapan aqidah dan syari'ah. Selain itu, juga menjadi gambaran dari kualitas keimanan seorang mukmin. Ibn Qoyyim dalam fawid nya mengatakan bahwa perbuatan anggota badan dapat menjadi bukti keimanan seseorang selain nilai spiritualitas batinnya. Sebab, menurutnya iman memiliki dua bentuk, yaitu zahir dan batin. Pertama, dapat berupa ungkapan lisan maupun perbuatan anggota badan, sedangkan kedua, adalah kepercayaan hati, ketundukan dan kecintaan.[2] Namun demikian, hal yang zahir ini tidak akan mempunyai manfaat manakala batinnya kosong dari keimanan, meskipun tindakan dan pengorbanan tersebut besar serta berat.[1]

 Melihat urgensi akhlak tersebut, maka tak heran jika banyak ulama` yang membahasnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Razi, Ibn Miskawaih, Ibn Hazam, Imam al-Ghazli, Fakhruddin al-Razi dan lainya. Mereka banyak menorehkan tinta emasnya dalam mengkonsepsikan akhlak dengan melandaskan kepada rujukan utama agama.

 Salah satu tokoh yang cukup intens dalam masalah ini adalah Ibn Miskawaih. Melalui risalah Tahdhb al-Akhlk ia dianggap orang yang cukup memberikan kontribusi dalam mensistematiskan pembahasan akhlak. Maka tak heran beberapa ulama` setelahnya juga banyak mengadopsi beberapa pemikiran akhlaknya, seperti; Imam al-Ghazli, Nasirudn at-Tsi, Jalluddin al-Dawwni dan lain sebagainya.[2] Berlandaskan pada hal di atas, tidak berlebihan kiranya jika pembahasan akhlak dalam tulisan ini difokuskan pemikirannya (Ibn Miskawaih).

BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH

 Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Ya'qub bin Miskawaih, tetapi lebih dikenal Ibnu Miskawaih atau Maskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia), kemudian masuk Islam. Julukannya adalah Abu 'Ali, yang merujuk kepada sahabat 'Ali bin Abi alib. Di samping itu, ia juga bergelar al-Khazin yang berarti bendaharawan. Jabatan sebagai bendaharawan/menteri keuangan itu berlangsung pada masa kekuasaan 'Aud ad-Daulah dari Bani Buwaih (al-Dawlah al-Buwaihiyyah).[3]

 Ibnu Miskawaih dilahirkan di Rayy (Teheran, di Iran sekarang). Para penulis sejarah berselisih pendapat tentang tanggal kelahirannya. Namun pendapat umum mengatakan Miskawaih lahir pada tahun 330 H/942 M, dan meninggal dunia pada tanggal 9 afar 421H/16 Februari 1030 M.

 Tidak banyak informasi yang menjelaskan riwayat pendidikannya. Menurut sejarawan Ahmad Amin, pendidikan anak-anak pada zaman Abbasiyah pada umumnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Quran dan dasar-dasar bahasa Arab (Nahwu) serta membuat syair. Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kih, sejarah, matematika, dan ilmu-ilmu praktis seperti ilmu musik, catur, dan militer. Ibnu Miskawaih sendiri belajar sejarah dari Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi, belajar lsafat dari Ibnu al-Akhmar, dan belajar kimia dari Abu ayyib. Ia juga berkawan dengan para ilmuwan lain, diantaranya Ibnu Sina.

Ibnu Miskawaih dikenal sebagai sejarawan besar, kemasyhurannya melebihi pendahulunya, yaitu A-abari. Ia adalah seorang dokter, penyair, ahli bahasa, dan losof Muslim yang mampu memadukan metode pemikiran Yunani dan Islam. Di samping itu

ia juga ahli dalam lsafat Romawi, India, Arab, dan Persia. Miskawaih memiliki perhatian besar terutama pada lsafat etika Islam. Hal ini terlihat dari berbagai buku atau karyanya, diantaranya: 1) Risalah fi al-Lazzat wa al-Alam; 2) Rislah f a-abi'at; 3) Rislah f Jauhar an-Nafs; 4) Maqlat an-Nafs wa al-'Aql; 5) F Ibt a-uwr al-Runiyat allat l Yabula Lama, min Kitb al-'Aql wa al-Ma'ql; 6) Ta'rf li Miskawaih Yumayyizu bihi bain ad-Dahr wa az- Zamn; 7) Tazb al-Akhlq wa Tahir al-A'raq dan; 8) Rislah f Jawb f Su'al li 'Ali ibn Miskawaih Il Ab ayyn a-auli f Haqqat al-'Adl.[1] Oleh sebab itu, Ibnu Miskawaih menjadi ilmuwan Muslim pertama di bidang lsafat akhlak.

 

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MISKAWAIH DALAM KITAB TAHDZIB AL-AKHLAK

Definisi Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih

 Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang berarti perikeadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Dengan demikian dapat dijadikan fitrah manusia ataupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.[2] Ibnu miskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan.

 

"Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan".[3]

 Akhlak merupakan salah satu dasar dari konsep pendidikan Ibnu Miskawaih. Dia menawarkan konsep akhlaknya dengan mendasar pada doktrin jalan tengah (al-wasath). Secara umum dia mengartikannya dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secra umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.[4]

Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair), kebahagiaan (al-sa'adah), dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibnu Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud tertinggi. Dengan demikian, kebaikan merupakan kebahagiaan yang mencapai tingkat tertinggi. Kebaikan akan membawa pada kebenaran, dengan kebenaran tersebut akan menjadikan seseorang senantiasa  

berperilaku yang benar pula, sehingga kebaikan akan membawa kepada kebahagiaan tertinggi.[1]

Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan keinginan dan dengan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan hal yang menjadi penghambat manusia mencapai kebaikan. Terlihat sangat jelas bahwa kebaikan adalah hal yang dapat memenuhi kemauan kita, sedangkan keburukan atau kejahatan merupakan suatu hal yang negatif karena dapat menghambat keinginan.

Pembahasan akhlak berkaitan dengan jiwa, maka Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa jiwa (ruh) itu jauhar (elemen) yang hidup kekal tidak menerima mati dan binasah. Jiwa berbeda dengan materi karena jiwa dapat menangkap peristiwa baik material atau spiritual ataupun mental yang memiliki pengetahuan rasional bawaan.

 Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian:

  • Tingkat berpikir (al-quwwah al-natiqah) disebut sebagai Tingkatan raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak;
  • Tingkat nafsu syahwiyah disebut Tingkat binatang, dan organ tubuh yang digunakannya adalah hati;
  • Tingkat amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut Tingkat binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakannya adalah jantung.

Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan.

Ibnu Miskawaih berpendapat dalam kitab Tahdzib al-Akhlak bahwa pendidikan akhlak adalah:  pendidikan yang difokuskan untuk mengarahkan tingkah laku manusia agar menjadi baik"[1] 

Point penting dari definisi pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah mengarahkan tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia menurutnya ada dua yaitu baik dan buruk. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan esensi manusia diciptakan, karena menurutnya manusia mempunyai kecenderungan untuk menyukai kebaikan dari pada keburukan.

Kontruksi dan konsep yang berkaitan dengan pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih tergambar dalam kitab Tahdzib al-Akhlak dimulai dengan memaknai jiwa. Jiwa merupakan jauhar rohani yang berbeda dengan bentuk tubuh. Artinya, jika jiwa dan tubuh berpisah maka yang hancur hanyalah tubuh atau jasadnya, sedangkan jiwanya tetap hidup. Manusia selalu mengalami peningkatan pemahaman, manakala ia terus berlatih, lalu memproduk berbagai ilmu dan pengetahuan. Dari situ jelaslah bahwa jiwa bukan tubuh, jiwa muatannya lebih sempurna dibandingkan dengan tubuh. Tubuh dan tingkatan-tingkatanya dapat mengetahui ilmu-ilmu hanya dengan indera, dan tidak cenderung kecuali kepadanya. Sedangkan jiwa semakin jauh dari hal-hal jasadi maka semakin kuatlah dan sempurna ia, dan semakin mampu ia memiliki penilaian yang benar dan semakin ia menangkap ma'qulat yang simpel.

Hakikat Akhlak

Pada hakikatnya, akhlak sebagaimana pendefinisian di atas, bukanlah hanya satu gambaran perbuatan. Sebab sebuah perbuatan tidak dapat secara perinci mencerminkan jati diri. Karena suatu pekerjaan terkadang bertentangan dengan perikeadaan jiwanya. Sebagai misal seorang yang suka memberi, boleh jadi ia hanya untuk mencari ketenaran, namun tidak menutup kemungkinan ia benar seorang dermawan. Maka kurang tepat kiranya jika akhlak hanya digambarkan dengan sebuah sikap. Selain itu, akhlak juga bukan pengetahuan. Karena pada dasarnya (pengetahuan) selalu berusaha atau berkaitan dengan eksplorasi keindahan dan keburukan dalam satu waktu. Pengetahuan tentang kebaikan secara tidak langsung mengetahui akan hal buruk dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan akhlak merupakan penggambaran kondisi jiwa yang timbul melalui sikap dan perbuatan dengan ringan tanpa beban. Hal ini bukan berarti pengetahuan tentangnya nihil, bahkan ilmu mengenainya begitu melimpah, tetapi sekali lagi akhlak bukanlah

pengetahuan, melainkan keadaan jiwa. Maka benar adanya, jika Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah h}l nafs kondisi jiwa yang timbul darinya berbagai macam sifat, baik ataupun buruk. Ketika keadaan jiwa tersebut melahirkan sebuah tingkah laku buruk, maka dapat dipastikan bahwa akhlaknya adalah sayyi'ah, namun bila memunculkan darinya berbagai macam sikap baik maka akhlaknya adalah h}asanah.

Berkaitan dengan itu, ia membagi sifat atau keadaan jiwa ini menjadi dua; pertama adalah kondisi jiwa yang berasal dari tabiat, dimana kondisi tersebut telah melekat pada diri seseorang, sebagaimana yang ditawarkan dalam dirinya antara sifat dermawan atau kikir, pemberani atau penakut dan lainnya. Kedua, kondisi jiwa yang dapat dilatih dan dibiasakan. Hal ini biasanya dapat difikirkan atau direncanakan yang kemudian menjadi sebuah akhlak. Seperti pembiasaan berkata jujur, bertanggung jawab dalam berbuat, hingga pada akhirnya melekat dan menjadi akhlak. Oleh karena itu ia menambahkan, pada dasarnya manusia selalu membutuhkan pendidikan akhlak untuk menjaga dan melatih kondisi baik jiwanya, sehingga selalu sesuai dengan fitrahnya yaitu dalam kebaikan. Maka sangat tepat kiranya jika Ibn Miskawaih dalam membahas akhlak memulai bukunya dengan jiwa dan daya-dayanya.

Jiwa (al-Nafs) dan Dayanya

Jiwa menurut Ibnu Miskawayh adalah substansi yang tidak dapat diindra. Untuk memahami ini, ia selalu membedakan antara jiwa dengan materi. Jiwa sebagaimana dipahami, lebih condong kepada yang tidak dapat ditangkap dan diraba, sedangkan materi adalah berbentuk serta dapat diraba. Hal ini berarti, bahwa materi dapat dibuktikan dengan panca indra, sedangkan jiwa tidak, karena bukan fisik, bukan pula bagian dari fisik maupun kondisi fisik. Sebab itu, hakikatnya adalah sesuatu lain, karena berbeda dengan fisik, baik secara ciri-ciri, maupun perilaku. Singkat kata, jiwa ini berasal dari substansi yang lebih tinggi, mulia, dan utama dari segala sesuatu yang bersifat fisik di dunia. Oleh sebab itu sangat berbeda dengan jism yang sifatnya lebih kepada materi.

Dalam menjelaskan jiwa, Ibn Miskwaih mengatakan setidaknya manusia memiliki tiga daya, yang mana satu lainnya harus berimbang. Di antaranya; pertama daya rasional (al-Nafs al-Nt}iqah) yaitu menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat sesuatu. Pada taraf ini akalah yang menjadi pusatnya. Kedua, daya emosi, Ibnu Miskawayh biasanya menyebut dengan al-Nafs al-Sabu'iyyah (kebuasan). Jiwa ini menjadi dasar kemarahan, tantangan, keberanian atas hal-hal yang menakutkan, keingin berkekuasaan dan berbagai macam kesempurnaan. Pusat dari daya ini terdapat dalam hati. Ketiga, daya shahwat (al-Nafs al-Bahmiyyah) yaitu jiwa yang menjadi dasar shahwat, seperti mencari makan, kerinduan untuk menikmati makanan, serta berbagai macam kenikmatan inderawi lainnya. Sebagai pusat dari daya ini juga terdapat dalam hati.

Dari ketiga hal ini, sedikitnya menggambarkan adanya kemiripan dengan pemikiran Plato. Hanya saja, Ibnu Miskawayh tidak memasukkan ketiganya sebagai jiwa yang saling terpisah dan berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu dengan lainnya. Sebab menurutnya, setiap darinya dapat menguat dan melemah. Hal ini bergantung pada unsur-unsur sifat dasar atau tabi'atnya yang selalu melingkupinya. Ketika daya A menguat melebihi kapasitasnya, maka akan melemahkan lainnya. Oleh sebab itu, ketiganya harus seimbang satu dengan lain, sebab merupakan sesuatu yang tunggal.

Namun demikian, ia menambahkan bahwa untuk dapat menyeimbangkan daya-daya tersebut jiwa rasional mempunyai urgensi tinggi. Kemampuan berikhtiar, dan persepsi didukung dengan ilmu yang benar menjadi satu titik penting bagi terealisasinya keseimbangan itu. Maka sangat wajar jika daya emosi dan daya syahwat harus selalu berhubungan dengan daya rasional untuk tidak melampaui dan keluar dari batasan yang benar.

Daya rasional tersebut, sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, daya teoritis yaitu merupakan satu tanda kesempurnaan awal bagi wujud manusia. Daya inilah yang selalu membuat manusia rindu akan ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu membuatnya berpandangan, berfikiran, dan merenung secara benar, sehingga ia tidak salah tentang suatu keyakinan dan tidak ragu-ragu terhadap suatu hakikat. Daya ini digunakan manusia untuk memahami hal-hal yang bersifat rasional, umum dan abstrak. Kedua, daya praktis yaitu yang digunakan manusia untuk menyimpulkan tugas-tugas kemanusiaan, perilaku moral, dan perkerjaan profesi maupun keahlian. Dengan daya ini manusia dapat mewujudkan kesempurnaannya yang kedua, yaitu kesempurnaan akhlak. Melihat pembagian ini, cukup logis kiranya jika ia selalu menjadikan

daya rasional barometer bagi lainnya. Sebab, daya tersebut menjadi penasehat sekaligus mencegah daya-daya lainnya untuk melebihi kapasitas yang ada. Namun selain itu, daya ini juga menjadi pengendali dirinya sendiri dan dibantu oleh pengetahuan yang benar. Hal ini sekali lagi menggambarkan bahwa ketiganya layaknya seimbang dan tidak melebihi porsinya.

Untuk memperjelas pandangannya ini, Ibnu Miskawayh mengibaratkan manusia beserta ketiga daya atau jiwa tersebut dengan seorang yang menunggang kuda dan mengendalikan anjing untuk berburu. Jika orang tersebut mampu mengendalikan, mengarahkan, dan menguasai kuda sekaligus anjingnya, lalu keduanya patuh untuk berjalan, berburu, serta mengikuti seluruh perintah tuannya, maka tidak dapat diragukan bahwa ketiganya akan hidup harmonis, bahkan sejahtera. Tetapi ketika kuda itu tidak patuh, maka ia akan lari ke arah yang berbahaya sehingga pemburu dan anjingnya akan mengalami kehancuran. Demikian pula, ketika anjing tidak patuh kepada pemburu, manakala melihat sesuatu dari kejauhan yang ia anggap buruan, maka akan lari mengejarnya dan menarik pemburu beserta kudanya, sehingga mereka semua mengalami bahaya. Dalam contoh ini mengandung peringatan akan berbagai bahaya yang menimpa manusia jika daya rasional tidak menguasai dua daya lainnya, yaitu daya emosi dan daya shahwat.

Ber-akhlak

Sebagaimana yang telah banyak disinggung di atas, bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa (hl nafs) yang darinya bersumber segala tingkah laku manusia. Organ dan anggota tubuh manusia akan bergerak seiring dengan komando jiwa yang merupakan raja dan esensi seluruh badan manusia. Sedangkan jiwa rasional sebagai penasehat selalu memberikan uraian, penjelasan, serta arahan sebelum anggota tubuh tersebut menjalankan perintah, bahkan sang raja kerap kali bertanya padanya. Maka dari sini timbullah sebuah sikap atau tindakan yang dapat kita sebut dengan "berakhlak" yaitu cerminan hati pelakunya.

Sejatinya, berakhlak adalah keluarnya sebuah tindakan atau perbuatan yang tak pernah ada rasa tekanan, sandiwara, bahkan pemikiran. Tindakan tersebut spontan dan telah tertanam dengan kuat dalam jiwa seseorang. Maka dengan itu, tak terdetik sedikit pun dalam dirinya untuk menalarnya, baik itu terpuji atau pun tercela. Namun meskipun demikian, terkadang sebelum mengambil sifat, adakalanya seseorang menimbang-nimbang, memikirkan, hingga merenungkan akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Hal ini bukan berarti tak disebut akhlak, tetapi sebuah proses pembiasaan dari perbuatan yang baik untuk kemudian menjadi akhlaknya. Inilah yang Miskawayh sebut dengan pelatihan berakhlak baik (Tah}dhb al-Akhlk).

Dari sini mungkin dapat kita katakan, bahwa berakhlak setidaknya dapat dibagi menjadi dua, pertama mahmdah dan kedua madhmmah. Berakhlak mulia (al-Takhalluq bi al-Akhlk al-Mah}mdah}), yaitu berperilaku terpuji yang merupakan cerminan hati yang bersih, seperti: berkata jujur, sopan-santun, bijaksana dan lainnya. Hal ini dapat berupa hasil dari pembiasaan sifat baik, sehingga pada waktu lain keluar secara spontan tanpa adanya hambatan. Di samping itu, juga akibat dari keadaan jiwa yang bersih serta selalu tunduk dan taat pada ajaran-ajaran agama. Maka tindakan-tindakannya pun terdorong oleh ajaran tersebut. Selain itu, mungkin juga pengaruh dari ilmu-ilmu (baik) yang dipelajari, sehingga jiwa rasional memahami dan menggerakannya untuk berakhlak mulia.

Yang kedua adalah berakhlak tercela (al-Takhalluq bi al-Akhlkal-Sayyi'ah) yaitu keluarnya sebuah sikap atau tindakan yang tercela dan tidak sesuai dengan fitrah manusia.32 Tindakan itu juga spontan, tanpa pemikiran, dan telah menjadi akhlaknya, seperti: berkata kasar-kotor, sombong dan lainya. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan cerminan dari keadaan hatinya yang tidak bersih, atau tidak stabil. Sehingga, daya- daya dalam hatinya pun bergejolak dan menghasilkan sikap perbuatan yang tak menunjukkan hakikat jati diri manusia. Ini disebabkan oleh ilmu-ilmu, ajaran-ajaran, yang tak sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas. Di samping itu, jiwa rasional juga tak didengarkan dan diberikan porsi dalam mengarahkan setiap pekerjaan. Akhirnya segala arah tindakannya hanya berpangku pada syahwat kebuasan, dan menjadikannya berakhlak.

Kedua keberakhlakan ini, masing-masing mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Namun, jika melihat sedikit pada yang kedua, maka manusia akan menjadi makhluk yang sehina-hinanya, bahkan lebih rendah dari pada binatang. Sebab, tak lagi menggunakan anugerah terbesar yang membedakannya dengan makhluk Tuhan lainnya, yaitu jiwa rasional. Berbeda dengan itu, Akhlak mah}mda akan dapat mengantarkan manusia meraih tujuan dari hidupnya, yaitu sebuah kebahagiaan. Dan hal itu hanya dapat digapai melalui akhlak mah}mda yang menjadikannya memiliki keutamaan di antara para makhluk lainnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada ajaran agama, Ibnu Miskawayh dan para filusuf Muslim lainnya, menekankan akan urgensinya berakhlak mulia, agar dapat meraih keutamaan (fadhilah) yang merupakan aspek penting dalam meraih kebahagiaan.

Keutamaan (Fadhilah)

Mengenai fadhilah, Ibnu Miskawayh berpandangan bahwa setiap manusia memiliki satu jiwa yang di dalamnya memiliki tiga fungsi dalam oprasionalnya. Jiwa tersebut saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.33 Keharmonisan tersebut bukanlah pengekangan antar jiwa-jiwa, namun mendamaikan dan mengusahakan agar dapat seimbang.

Keutamaan sebagaimana ingin dimaksud adalah kondisi kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan bijak secara ringan, suka-rela tanpa ada unsur paksaan. Hal ini sekali lagi bukan perbuatan maupun pengetahuan. Karena perbuatan terkadang tidak menggambarkan kondisi kejiwaan yang ikhlas sehingga benar-benar memunculkan sikap tersebut. Sedangkan pengetahuan selalu berpasangan dengan lawannya.35 Oleh karena itu, keutamaan tersebut merupakan keadaan jiwa yang mampu melahirkan perbuatan-perbuatan terpuji.

Dalam merumuskan sifat utama (fadhlah), Ibn Miskawaih menawarkan posisi pertengahan (al-wast}) yang tampaknya mengikuti filusuf pendahulunya. Menurutnya posisi ini adalah moderat, harmoni dan utama di antara ekstrim berlebihan atau ekstrim kekurangan dari jiwa manusia. Karena posisi ini merupakan jalan lurus dan menjadi prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika hal ini condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya.

Setidaknya prinsip umum keutamaan ini terdiri dari empat macam yang pada dasarnya berangkat dari pembagian daya jiwa di atas, pertama, kebijaksanaan (al-h}ikmah) yang merupakan keutamaan jiwa rasional, yaitu rindu akan ilmu pengetahuan mengenal seluruh mawjdt, isu-isu kemanusiaan, dan keTuhanan. Kedua, al-'iffah (kehormatan diri) adalah keutamaan jiwa syahwat, yaitu jika manusia memperlakukan syahwatnya sesuai dengan arahan jiwa rasional, maka jiwanya tidak akan tunduk dan menjadi budak nafsu. Ketiga, keberanian (al-Shaj'ah) adalah keutamaan jiwa emosi, yaitu ketundukan kepada jiwa rasional menghasilkan keberaniannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bersabar atas cobaan dengan cara yang terpuji. Keempat, keadilan (al-'adlah) yaitu keutamaan jiwa yang timbul dari sebab berkumpulnya keutamaan- keutamaan sebelumnya. Hal ini karena harmonisnya daya-daya itu serta tunduk kepada daya rasional yang dapat membedakan antara terpuji dan tercela, sehingga tidak saling timpang-tindih bergerak ke tabi'at buruk, dan inilah yang ia sebut dengan jalan tengah (al-wasat}).

Selain itu, sebagaimana disebutkan di atas, jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan atau kekurangan). Ketika ekstrim kekurangan ini membesar pada jiwa rasional, maka menimbulkan kedunguan, tetapi jika ekstrim kelebihan yang melebar, maka melahirkan kelancangan, atau bahkan kesombongan. Hal serupa jika jiwa bahmiyyah lebih meluas ekstrim kekurangan maka memunculkan dingin hati, namun bila lebih condong ke kelebihan maka menimbulkan sifat tamak dan rakus. Tak tertinggal oleh itu, ketika jiwa emosi lebih menurun ke kekurangan maka melahirkan sifat pengecut, namun sebaliknya bila terlalu tinggi maka akan melahirkan sifat nekad, dan ceroboh. Sedangkan akumulasi dari ekstrim-ektrim kekurangan di atas akan menibulkan "keteraniayaan", dan bila menjunjung tinggi maka akan melahirkan "aniaya".  

Di samping itu, menurut Ibnu Miskawayh semua itu haruslah berlandaskan kepada syari'at yang telah banyak mengatur dan menjelaskannya. Karena hanya dengan inilah manusia akan mencapai keutamaan dan melahirkan kebahagiaan. Di sinilah Ibnu Miskawayh telah menunjukkan bahwa ia tidak semata-mata mengambil teori ini dari filusuf Yunani, namun telah mengintegrasikannya dengan nilai- nilai agama. Oleh sebab itu, hal ini menjadi dinamis karena dimulai dari agama kemudian diuraikan dengan daya rasional melahirkan sifat-sifat mah}mdah dan menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan.

Meskipun demikian, konsep jalan tengah tersebut tak selamanya sempurna. Karena dalam beberapa sifat utama lainnya tidak mencangkup pertengahan, misalnya jujur bukan sifat tengah antara bohong dengan sikap tercela lainnya. Artinya sifat utama tersebut tidak selalu berada dalam posisi tengah, tetapi terkadang tidak mungkin untuk dikonsepsikan pertengahan. Hal ini setidaknya mengisyaratkan bahwa posisi tengah tersebut tidak dapat pasti dijadikan landasan untuk menentukan keutamaan atapun fadhilah. Akan tetapi, cukup memberikan gambaran awal dari akhlak terpuji yang selayaknya manusia berakhlak.

 

Kebahagiaan (Sa'dah)

Dalam menjelaskan kebahagiaan, Ibnu Miskawayh memulainya dengan menjelaskan al-khair (kebaikan). Karena menurutnya al-khair merupakan bagian penting dari kebahagiaan. Ia mendefinisikan al-khair dengan suatu keadaan dimana seseorang sampai pada batas akhir kesempurnaan wujud. Dengan artian bahwa kebaikan tersebut bergantung dalam sifat-sifat terpuji manusia yang mengantarkannya menuju derajat mulia. Sebab hanya dengan sifat-sifat tersebut manusia mampu mencapai derajat kesempurnaan wujud.

Adapun kebaikan itu setidaknya dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, adalah kebaikan yang bersifat umum, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, atau dengan kata lain ukuran- ukuran kebaikan tersebut secara umum telah disepakati oleh manusia. Kedua, adalah kebaikan khusus yang menjadi ukuran diri pribadi setiap manusia.45 Kebaikan inilah yang disebut dengan kebahagiaan. Karena selalu berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap orang dan bergantung kepada cara dan usaha meraihnya. Namun dari keduanya terdapat kebaikan ketiga, yaitu kebaikan mutlak yang merupakan tujuan akhir dan identik dengan wujud. Kebaikan ini merupakan pencapaian tertinggi manusia dalam kemampuannya membedakan, berfikir, dan mengambil hikmah.46 Pada tahap ini manusia merasa malu dan takut dari sebab timbulnya sesuatu yang buruk dari dirinya. Sehingga ia selalu menjaga dirinya agar selalu dalam kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Hal inilah yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan tertinggi.

Sedangkan kebahagiaan sebagaimana ingin dimaksud di atas adalah kebaikan yang meluap dalam diri manusia yang mana tidak membutuhkan hal lainnya. Tetapi hal ini hanya akan terwujud dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa maupun jasmani manusia. Ini berarti, bahwa kebahagiaan itu merupakan akumulasi dari pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmani manusia. Namun demikian, pada dasarnya kebutuhan jiwa menjadi lebih utama dari pemenuhan kebutuhan lainnya. Oleh sebab itu, Ibnu Miskawayh selalu menekankan pentingnya pendidikan akhlak agar selalu terpelihara kondisi jiwanya.

Dalam membahas kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan pokok yang ingin dikompromikan oleh Ibnu Miskawayh. Pertama, adalah pandangan Plato yang menegaskan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena jasad selalu merasakan penderitaan.  Oleh sebab itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan, maka ia tak akan pernah mengalami kebahagiaan. Kedua, pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih berada dalam jasadnya.  Hanya saja, kebahagiaan tersebut berbeda-beda menurut masing-masing, seperti; orang miskin memandang kekayaan itu merupakan kebahagiaan, orang sakit ingin kesehatan yang merupakan kekayaan, dan seterusnya.

Menurut Ibnu Miskawayh, pada dasarnya manusia terdiri dari dua unsur jiwa dan raga, maka menurutnya manusia dalam hal ini mampu untuk mencapai kebahagiaan keduanya. Namun, menurutnya kebahagiaan yang ada di badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi dibandingkan kebahagiaan pada jiwa. Sebab kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghambat perkembangan jiwa menuju kebahagiaan yang tinggi. Sedangkan kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang mampu mengantarkan manusia menuju derajat malaikat. Pada tingkatan ini manusia tak lagi merasa kekurangan, meski materi dan kekurangan jasmani dirasakan. Namun, keadaan hati menjadikan semuanya indah dan damai hingga tercipta kebahagiaan.

Dengan ini, setidaknya menjelaskan bahwa kebahagian menurutnya dapat dibagi menjadi dua, pertama, kebahagiaan dunia yaitu dicapai dengan akhlak mulia dan perbuatan-perbuatan terpuji sebagaimana yang diarahkan oleh akalnya. Sedangkan kedua, kebahagiaan sempurna (qus}wa/'ulya), yaitu digapai dengan cara menyempurnakan ilmu serta segala kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Artinya bahwa hakikat kebahagiaan manusia itu hanya terletak pada dua tingkatan ataupun bagian ini. Jika melihat hal ini maka manusia selayaknya mengetahui jalan menuju kebahagiaan tersebut.

Untuk mencapai kebahagian ini, menurut Ibnu Miskawayh manusia setidaknya haruslah menyempurnakan dua hikmah. Pertama, hikmah teoritis yang dapat diperoleh dengan mempelajari semua ilmu dan mengenal mawjdt sehingga ia dapat melihat tujuan akhir (ultimate goal) yaitu sang Pencipta. Kedua, hikmah praktis yang dapat diperoleh dengan mempelajari buku-buku akhlak, hal ini sebagai pengontrol agar tetap harmonisnya daya-daya yang ada dalam diri manusia.Dengan hikmah teoritis dimungkinkan memperoleh pendapat yang benar, sedangkan dengan hikmah praktis diharapkan mendapat jalan utama dalam perilaku baik. Jika manusia dapat menyempurnakan keduanya, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

Dengan demikian, hakikat kebahagian paling tinggi dalam pandangan Ibn Miskawayh hanya akan terwujud jika manusia dapat berkembang dari makrifat mawjdt ke ma'rifatullh. Dan barang siapa yang mampu mencapai maqm ini, maka akan mencapai kebahagiaan tertinggi. Namun demikian bukan berarti ia manafikan hal-hal materil dan jasad (mawjudt), melainkan menjadikannya sebagai salah satu sarana menuju ma'rifatullh.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas setidaknya dapat kita ambil beberapa poin penting. Diantaranya; pertama, bahwa hakikat akhlak menurut Ibn Miskawaih adalah suatu keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan atapun tindakan secara spontan, tanpa adanya unsur sandiwara, rekayasa maupun paksaan. Suatu perbuatan yang dilakukan dengan adanya unsur paksaan, bukanlah akhlak. Namun demikian, suatu perbuatan akan dapat menjadi akhlak manakala hal tersebut terus-menerus dilatih dan dibiasakan hingga akhirnya menjadi sifat, watak dan pada akhirnya menjadi akhlaknya.

Kedua, jiwa yang merupakan salah satu bagian penting dari manusia, merupakan sumber dari akhlak atau perbuatan yang dikerjakan. Ibnu Miskawayh dalam hal ini membaginya ke dalam tiga, yaitu; al-Nafs al- Nt}iqah, al-Nafs al-Sabu'iyyah, al-Nafs al-Bahimiyyah. Masih-masing dari ketiganya akan saling mempengaruhi dan selalu mengambil porsi lebih dari yang lainnya. Jika hal ini terjadi maka akan terlahir dan keluar darinya sifat tercela yaitu menganiaya. Namun, jika ketiganya seimbang dan selalu mendengarkan nasehat al-Nafs al-Nt}iqah yang disokong oleh ilmu syari'at agama, maka akan menghasilkan akhlak mulia.

Ketiga, keutamaan (fadhlah) dalam diri manusia akan dapat digapai melalui pembenahan akhlak. Dan Riyad}atu al-Nafs merupakan jalan terbaik untuk melatih dan mendidik agar jiwa manjadi bersih sehingga berakhlak terpuji. Segala sifat serta perbuatan baik akan muncul dan menjadi akhlak mah}mudah manakala jiwanya bersih. Hal ini juga akan terdorong jika potensi daya-daya jiwa teroptimalkan menurut bagiannya masing-masing. Maka dengan begitu, akan membuka jalan tengah yang di dalamnya terdapat perbuatan-perbuatan hasanah.

Keempat, perbuatan-perbuatan terpuji tersebut merupakan manifestasi dari kondisi jiwa yang baik. Keadaan ini adalah cermin akhlak mulia manusia yang merupakan kebaikan (al-khair). Hal ini akan membawanya kepada sebuah kesempurnaan wujud yaitu tidak saja mengetahui mawjdt namun juga ma'rifatullh. Dalam keadaan inilah manusia akan mencapai sebuah wujud yang utama. Karena ia mencapai tingkatan tinggi manusia, maka dapat meraih al-sa'dah al-qus}w yang tidak pernah merasakan ke kekurangan, baik fisik maupun materi. Wallhu a'lam bis}awb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun