Mohon tunggu...
BUSTANUL ARIFIN
BUSTANUL ARIFIN Mohon Tunggu... Guru - Guru/Mahasiswa Pascasarjana

Guru dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Qomaruddin Bungah Gresik Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Akhlak Ibnu Miskawaih

3 Juli 2023   12:08 Diperbarui: 3 Juli 2023   12:13 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagaimana yang telah banyak disinggung di atas, bahwa akhlak merupakan keadaan jiwa (hl nafs) yang darinya bersumber segala tingkah laku manusia. Organ dan anggota tubuh manusia akan bergerak seiring dengan komando jiwa yang merupakan raja dan esensi seluruh badan manusia. Sedangkan jiwa rasional sebagai penasehat selalu memberikan uraian, penjelasan, serta arahan sebelum anggota tubuh tersebut menjalankan perintah, bahkan sang raja kerap kali bertanya padanya. Maka dari sini timbullah sebuah sikap atau tindakan yang dapat kita sebut dengan "berakhlak" yaitu cerminan hati pelakunya.

Sejatinya, berakhlak adalah keluarnya sebuah tindakan atau perbuatan yang tak pernah ada rasa tekanan, sandiwara, bahkan pemikiran. Tindakan tersebut spontan dan telah tertanam dengan kuat dalam jiwa seseorang. Maka dengan itu, tak terdetik sedikit pun dalam dirinya untuk menalarnya, baik itu terpuji atau pun tercela. Namun meskipun demikian, terkadang sebelum mengambil sifat, adakalanya seseorang menimbang-nimbang, memikirkan, hingga merenungkan akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Hal ini bukan berarti tak disebut akhlak, tetapi sebuah proses pembiasaan dari perbuatan yang baik untuk kemudian menjadi akhlaknya. Inilah yang Miskawayh sebut dengan pelatihan berakhlak baik (Tah}dhb al-Akhlk).

Dari sini mungkin dapat kita katakan, bahwa berakhlak setidaknya dapat dibagi menjadi dua, pertama mahmdah dan kedua madhmmah. Berakhlak mulia (al-Takhalluq bi al-Akhlk al-Mah}mdah}), yaitu berperilaku terpuji yang merupakan cerminan hati yang bersih, seperti: berkata jujur, sopan-santun, bijaksana dan lainnya. Hal ini dapat berupa hasil dari pembiasaan sifat baik, sehingga pada waktu lain keluar secara spontan tanpa adanya hambatan. Di samping itu, juga akibat dari keadaan jiwa yang bersih serta selalu tunduk dan taat pada ajaran-ajaran agama. Maka tindakan-tindakannya pun terdorong oleh ajaran tersebut. Selain itu, mungkin juga pengaruh dari ilmu-ilmu (baik) yang dipelajari, sehingga jiwa rasional memahami dan menggerakannya untuk berakhlak mulia.

Yang kedua adalah berakhlak tercela (al-Takhalluq bi al-Akhlkal-Sayyi'ah) yaitu keluarnya sebuah sikap atau tindakan yang tercela dan tidak sesuai dengan fitrah manusia.32 Tindakan itu juga spontan, tanpa pemikiran, dan telah menjadi akhlaknya, seperti: berkata kasar-kotor, sombong dan lainya. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan cerminan dari keadaan hatinya yang tidak bersih, atau tidak stabil. Sehingga, daya- daya dalam hatinya pun bergejolak dan menghasilkan sikap perbuatan yang tak menunjukkan hakikat jati diri manusia. Ini disebabkan oleh ilmu-ilmu, ajaran-ajaran, yang tak sesuai dengan nilai-nilai spiritualitas. Di samping itu, jiwa rasional juga tak didengarkan dan diberikan porsi dalam mengarahkan setiap pekerjaan. Akhirnya segala arah tindakannya hanya berpangku pada syahwat kebuasan, dan menjadikannya berakhlak.

Kedua keberakhlakan ini, masing-masing mempunyai konsekuensi sendiri-sendiri, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Namun, jika melihat sedikit pada yang kedua, maka manusia akan menjadi makhluk yang sehina-hinanya, bahkan lebih rendah dari pada binatang. Sebab, tak lagi menggunakan anugerah terbesar yang membedakannya dengan makhluk Tuhan lainnya, yaitu jiwa rasional. Berbeda dengan itu, Akhlak mah}mda akan dapat mengantarkan manusia meraih tujuan dari hidupnya, yaitu sebuah kebahagiaan. Dan hal itu hanya dapat digapai melalui akhlak mah}mda yang menjadikannya memiliki keutamaan di antara para makhluk lainnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada ajaran agama, Ibnu Miskawayh dan para filusuf Muslim lainnya, menekankan akan urgensinya berakhlak mulia, agar dapat meraih keutamaan (fadhilah) yang merupakan aspek penting dalam meraih kebahagiaan.

Keutamaan (Fadhilah)

Mengenai fadhilah, Ibnu Miskawayh berpandangan bahwa setiap manusia memiliki satu jiwa yang di dalamnya memiliki tiga fungsi dalam oprasionalnya. Jiwa tersebut saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila dapat seimbang di antara ketiganya maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.33 Keharmonisan tersebut bukanlah pengekangan antar jiwa-jiwa, namun mendamaikan dan mengusahakan agar dapat seimbang.

Keutamaan sebagaimana ingin dimaksud adalah kondisi kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan bijak secara ringan, suka-rela tanpa ada unsur paksaan. Hal ini sekali lagi bukan perbuatan maupun pengetahuan. Karena perbuatan terkadang tidak menggambarkan kondisi kejiwaan yang ikhlas sehingga benar-benar memunculkan sikap tersebut. Sedangkan pengetahuan selalu berpasangan dengan lawannya.35 Oleh karena itu, keutamaan tersebut merupakan keadaan jiwa yang mampu melahirkan perbuatan-perbuatan terpuji.

Dalam merumuskan sifat utama (fadhlah), Ibn Miskawaih menawarkan posisi pertengahan (al-wast}) yang tampaknya mengikuti filusuf pendahulunya. Menurutnya posisi ini adalah moderat, harmoni dan utama di antara ekstrim berlebihan atau ekstrim kekurangan dari jiwa manusia. Karena posisi ini merupakan jalan lurus dan menjadi prinsip umum sifat keutamaan. Oleh sebab itu, ketika hal ini condong ke satu ekstrim, maka akan menghilangkan sisi-sisi keutamaannya.

Setidaknya prinsip umum keutamaan ini terdiri dari empat macam yang pada dasarnya berangkat dari pembagian daya jiwa di atas, pertama, kebijaksanaan (al-h}ikmah) yang merupakan keutamaan jiwa rasional, yaitu rindu akan ilmu pengetahuan mengenal seluruh mawjdt, isu-isu kemanusiaan, dan keTuhanan. Kedua, al-'iffah (kehormatan diri) adalah keutamaan jiwa syahwat, yaitu jika manusia memperlakukan syahwatnya sesuai dengan arahan jiwa rasional, maka jiwanya tidak akan tunduk dan menjadi budak nafsu. Ketiga, keberanian (al-Shaj'ah) adalah keutamaan jiwa emosi, yaitu ketundukan kepada jiwa rasional menghasilkan keberaniannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bersabar atas cobaan dengan cara yang terpuji. Keempat, keadilan (al-'adlah) yaitu keutamaan jiwa yang timbul dari sebab berkumpulnya keutamaan- keutamaan sebelumnya. Hal ini karena harmonisnya daya-daya itu serta tunduk kepada daya rasional yang dapat membedakan antara terpuji dan tercela, sehingga tidak saling timpang-tindih bergerak ke tabi'at buruk, dan inilah yang ia sebut dengan jalan tengah (al-wasat}).

Selain itu, sebagaimana disebutkan di atas, jiwa manusia selalu dilingkupi oleh dua ekstrim (ekstrim kelebihan atau kekurangan). Ketika ekstrim kekurangan ini membesar pada jiwa rasional, maka menimbulkan kedunguan, tetapi jika ekstrim kelebihan yang melebar, maka melahirkan kelancangan, atau bahkan kesombongan. Hal serupa jika jiwa bahmiyyah lebih meluas ekstrim kekurangan maka memunculkan dingin hati, namun bila lebih condong ke kelebihan maka menimbulkan sifat tamak dan rakus. Tak tertinggal oleh itu, ketika jiwa emosi lebih menurun ke kekurangan maka melahirkan sifat pengecut, namun sebaliknya bila terlalu tinggi maka akan melahirkan sifat nekad, dan ceroboh. Sedangkan akumulasi dari ekstrim-ektrim kekurangan di atas akan menibulkan "keteraniayaan", dan bila menjunjung tinggi maka akan melahirkan "aniaya".  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun