Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tuhan, Jangan Jadikan Aku Gay (Bagian I)

28 Desember 2012   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 2095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, matahari bersinar sangat terik. Cahayanya begitu menyilaukan membuat perih mata memandang. Sambil menahan gerah yang teramat sangat, seorang perempuan berkerudung coklat muda kira-kira berusia empat puluh tahunan, memilih mengambil jalan pintas yang melewati perkampungan. Seketika melewati sebuah pemakaman, laju motornya dijalankan perlahan. Bukan karena takut. Meski sepi, tidak ada alasan untuk takut bagi dirinya.

Namun, baru saja motornya melaju beberapa meter, tiba-tiba matanya dikejutkan melihat sesosok berbaju putih sedang berjongkok sambil memeluk sebuah nisan. Dia sangat mengenal sosok itu. Tetapi…..mengapa ada di kuburan ? Belum sempat motor dihentikan, sosok itu mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahnya.

“Trisman ? Kenapa kamu ada di sini ?” perempuan itu lalu memarkir motornya.

“Ibu…..,” sosok itu mengusap air matanya dengan tangannya.

“Trisman……itu makam siapa ?” tanya perempuan itu setelah mendekat.

“Ibu……ini makam bapak,” sosok yang bernama Tris menjawab sambil sesenggukan.

“Oh, maaf, ibu tidak tahu kalau kamu ternyata anak yatim,” perempuan itu merengkuh bahu Trisman dan ikut duduk jongkok di sebelah kirinya.

“Bapak meninggal waktu aku SD bu,” Trisman menjelaskan.

“Baiklah, mari kita berdoa untuk bapakmu,” perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai berdoa, dia mengajak Trisman bangkit.

“Trisman, ayo pulang, ibu antar kamu ke rumah,” katanya dengan lembut.

Trisman tidak menjawab. Dia hanya menurut sesaat tangannya diraih perempuan itu.

“Trisman, ibu tidak tahu dimana rumahmu. Nanti tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu kembali menyalakan mesin motornya.

“Rumah saya di Sumur Batu, bu,” Trisman menjawab perlahan.

“Ya, nanti beritahu arahnya, ya,” perempuan itu kini sudah duduk di bagian depan. Trisman segera mengikuti duduk membonceng di belakang.

Sepanjang perjalanan pulang pun Trisman tidak bercerita, hanya terdiam sambil sesekali mengusap air matanya.

“Trisman, kalau sudah dekat rumahmu, tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu sedikit menoleh ke belakang.

“Ya bu,” Trisman menjawab perlahan.

Perempuan itu terus melajukan motornya. Melewati beberapa truk sampah dari dinas kebersihan DKI Jakarta. Jalanan yang mereka lalui memang merupakan jalur menuju tempat pembuangan sampah akhir, Bantargebang. Sehingga sesekali bau “harum” sampah tercium begitu menggoda.

“Bu, masuk gang yang sebelah kanan,” Trisman menunjuk ke satu arah. Perempuan itupun dengan sigap membelokkan motornya memasuki sebuah gang kecil yang masih bertanah, belum beraspal. Jalanan di gang itupun tidak rata, seringkali ada batu-batu besar dan tajam menonjol di beberapa bagian jalan.

Setelah melewati beberapa rumah sederhana khas orang kampung, tibalah mereka di sebuah rumah besar yang tampaknya sedang dibangun. Perempuan itu mengira rumah itulah tempat Trisman tinggal. Ternyata……

“Bu, turun disini, nanti jalan terus ke belakang rumah itu,” Trisman menunjukkan jalan.

Motor pun dihentikan dan diparkir di samping sebuah pohon rambutan. Perempuan itu selanjutnya mengikuti langkah Trisman ke belakang rumah. Di belakang rumah ada semacam dapur kecil dan sebuah dipan sederhana dari kayu kasar. Di ujung dipan tergeletak tiga tumpukan bantal kusam. Belakang rumah itu hanya ditutupi beberapa lembar plastik besar juga beberapa terpal yang sudah bolong disana-sini.

“Bu, ini rumah saya,” Trisman berkata dengan nada getir.

Perempuan itu menahan nafas. Bibirnya mencoba tersenyum, meski pilu.

“Bu, silahkan duduk dulu di dipan, nanti saya panggilkan ibu saya,” Trisman menunjuk dengan sopan ke arah dipan.

Perempuan itu menganggukkan kepala dan tanpa ragu mendudukkan dirinya ke atas dipan. Sementara Trisman berlari keluar mencari ibunya, perempuan itu memandangi sekeliling. Sebuah rak piring sederhana buatan sendiri dari potongan kayu kasar, bersandar di sebuah dinding yang menjadi dinding rumah.

“Oh, ada bu Restu ?” terdengar sapa seorang perempuan yang seusia dengan dirinya.

“Iya, bu. Saya gurunya Sutrisman, saya cuma mengantar dia pulang saja,” perempuan itu yang bernama Restu menjawab dengan sopan sambil mengulurkan tangannya bersalaman.

“Yah, beginilah bu rumah Trisman, maklum orang susah,” ibunya Trisman tersenyum pahit.

“Tidak apa bu, yang penting bisa untuk berteduh,” bu Restu menenangkan.

“Ah ibu, berteduh gimana ? Lihat, gak ada temboknya, saya cuma kasian ngeliat trisman sama adenya kalo tidur keujanan,” ibu Trisman bicara apa adanya.

“Ini rumah siapa, bu ?” bu Restu memegang tembok di belakangnya.

“Rumah adik saya, mamangnya Trisman,” ibu Trisman menatap lesu. “Sebenernya sih, ini rumah warisan berdua, saya dan mamangnya itu, tapi…….mungkin biar enak, dibangun tembok dulu, baru nanti dibagi dua, saya separo, mamangnya separo,” ibu Trisman melanjutkan dengan nada penuh harap.

“Ibu sudah lama tinggal seperti ini ?” bu Restu ingin tahu.

“Udah lama juga, sejak bapaknya Trisman meninggal,” ibu Trisman menjawab dengan polos.

Bu Restu tidak bisa berkata lagi. Hanya bisa menghela nafas panjang. Bathinnya tidak bisa menerima ketimpangan seperti ini.

“Apakah selama ini ibu tidak pernah mendapat bantuan, misalnya dari kelurahan ?” bu Restu penasaran ingin tahu.

“Belon pernah bu, sama sekali belon pernah, paling daging korban, itupun cuman sekantong,”

Bu Restu tidak mau bertanya banyak lagi. Lebih dari cukup yang ia butuhkan. Tokh, jika sekedar bertanya tidak akan membantu apa-apa, demikian pikirnya. Bu Restu mencoba menahan dirinya untuk tidak bersikap emosional. Setelah minum beberapa teguk botol minuman teh dingin yang disuguhkan Trisman, diapun memohon diri.

Esoknya, siang itu di sekolah setelah bel pulang, bu Restu mengajak Trisman bicara berdua di teras masjid sekolah. Trisman mulanya tidak mau terbuka menceritakan kisah hidupnya. Namun, bukannya bu Restu kalau tidak bisa mengorek keterangan dari para murid. Maklum, bu Restu dikenal anak murid sebagai guru yang biasa menjadi tempat curhat, sekaligus diinterogasi kalau ada satu kasus.

Benar saja, Trisman pun mau cerita sedikit demi sedikit. Bu Restu mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali menanggapi dengan bijaksana dan ada sedikit canda. Trisman pun mau tidak mau tersenyum. Ah, memang bu Restu pandai mengambil hati anak. Setelah merasa cukup mendapat keterangan permulaan, bu Restu yang masih ada jam mengajar siang bermaksud ingin menyudahi curhat session pertama itu.

“Trisman, sebelum pulang sholat zhuhur dulu ya ?” ajak bu Restu.

“Di rumah aja, bu, baju saya kotor,” Trisman menolak halus.

“Nanti keburu capai, dan malah tidak jadi sholat,” bu Restu membantah.

“Saya sering sholat kok bu di rumah,” Trisman masih menolak.

“Tapi ibu ingin melihatmu sholat sekarang di sekolah,” bu Restu membujuk.

“Di rumah aja bu, saya sudah ditunggu di rumah, kasihan adik saya gak ada yang jaga,” Trisman masih berusaha menolak.

“Bukankah ada anak-anak dari keluarga mamangmu ?” bu Restu juga berusaha keras membujuk.

“Tapi……saya tetap mau sholatnya di rumah bu, maaf ya bu, saya harus segera pulang,” Trisman pun segera beranjak berdiri.

Melihat itu, bu Restu tidak bisa mencegah lagi. Setelah mencium punggung tangan kanan bu Restu, Trisman berlari-lari kecil meninggalkan bu Restu. Bu Restu hanya bisa trenyuh memandangi langkah kaki Trisman. Tampak jelas Trisman tidak bisa melangkah layaknya anak laki-laki. Trisman memang lebih terlihat gemulai seperti anak perempuan. Apalagi wajahnya yang manis dengan hidungnya yang mancung, membuatnya terlihat cantik dan bukan ganteng.

================

Malam itu Trisman tidur agak gelisah. Ibu dan adiknya masih menonton televisi di dalam rumah. Trisman sendirian di dipan belakang, yang menjadi tempat tidur mereka bertiga selama ini. di luar sesekali terdengar suara jangkrik berisik. Trisman pun masih harus menghadapi gerombolan nyamuk yang datang dengan rajin itu.

Setiap malam Jum’at Trisman memang selalu gelisah. Bukan karena ada hantu yang siap selalu menerornya. Melainkan sesosok lelaki kurus dengan kumis tipis dan selalu menghisap rokok paling tidak sebungkus sehari. Lelaki itu sebenarnya adalah mamangnya sendiri, adik kandung ibunya.

Mamangnya setiap malam Jum’at selalu mengajaknya ngobrol sehabis pulang main kartu. Kenapa malam Jum’at ? Karena di hari Kamis itu mamangnya dapat jatah libur setelah enam hari kerja sebagai sopir mobil Container di sebuah pabrik di Citeureup. Seperti biasanya pula mamangnya tidak pulang ke rumah dulu, melainkan main kartu, dan baru malam pulang ke rumah.

“Belum tidur, Tris ?” tegur seseorang mengagetkan Trisman.

“Belum mang,” Trisman menjawab lemas.

“Hari ini mamang capek sekali, bisa pijitin mamang kan Tris ?” mamangnya lalu duduk di tepi dipan dan tanpa menunggu jawaban Trisman, dia segera mencopot sepatunya dan tidur di sebelah Trisman.

Trisman pun beranjak dengan malas. Dia selalu bisa memastikan ini yang akan dikerjakan. Dia juga bersiap menghadapi yang seperti biasa terjadi. Trisman hampir tidak bisa menolak permintaan mamangnya, apapun itu. Walaupun setelah itu, setelah mamangnya meninggalkannya dan masuk ke rumah, Trisman akan menangis menahan perih.

Mamangnya yang bernama Kuni, entah kenapa dinamakan demikian, mulanya waktu Trisman masih kecil sesaat setelah bapaknya meninggal, menganggap sebagai bapak pengganti. Trisman kecil tentu saja sangat disayang oleh mang Kuni. Selalu diajak kemana-mana dan berada dekat dengannya. Trisman pun merasa aman di bawah lindungan mamangnya itu.

Mang Kuni yang waktu Trisman kecil masih sebagai petani, sangat telaten merawat Trisman.  Setiap hari memandikan pagi dan sore, bahkan kalau melihat Trisman kotor sedikit saja. Juga memakaikan baju Trisman dan menyisir rambutnya. Hanya saja kalau Trisman makan atau buang air, mang Kuni tidak mau menangani. Baru saat Trisman mau tidur, mang Kuni akan menemani Trisman sampai mereka sama-sama tertidur berdua.

Entah apa yang kemudian meracuni pikiran mang Kuni, Trisman mulai merasakan ada hal yang aneh dengan perlakuan mang Kuni. Mang Kuni bila memandikan, memakaikannya baju, atau menemaninya tidur, membelainya dengan lembut dan seringkali menyentuh bagian tubuh yang sensitive. Cuma karena Trisman masih kecil, dia masih berpikiran bahwa hal itu adalah biasa.

Baru setelah usia Trisman sepuluh tahun, saat dia duduk di kelas lima SD, malam Jum’at itu mang Kuni pertama kalinya menyuruhnya memijati dia. Trisman pun menuruti. Saat mang Kuni memintanya untuk memijat bagian tubuh tertentu, Trisman mau saja. Bahkan saat mang Kuni ganti memperlakukannya seperti itu, Trisman masih belum mengerti.

Trisman baru mengerti setelah setiap malam Jum’at, mang Kuni memintanya untuk memijat. Trisman pun terlambat menyadari ketika sudah duduk di kelas tujuh SMP, mang Kuni meniduri dirinya dan mencumbunya. Trisman tidak bisa melawan kemauan mang Kuni. Biarpun mang Kuni sebenarnya sudah punya anak lima orang, dan perempuan semua, istri mang Kuni pun ada, Trisman masih tetap didatangi mang Kuni, kapanpun dia mau.

Lama-kelamaan Trisman pun terlihat gemulai. Trisman yang sehari-hari rajin membantu ibunya, baik masak, cuci baju, setrika, ataupun belanja, adalah anak yang penurut. Trisman sebenarnya juga bisa kerja sambilan mengangkut batu kali ke atas truk, ataupun memulung botol plastik bekas minuman. Namun itu tidak merubah gerakan tubuhnya yang tetap saja terlihat gemulai.

Trisman tidak tahu, apakah dia harus mengutuk nasibnya ataukah bunuh diri saja. Sementara mang Kuni sehari-harinya terlihat biasa saja. Tidak ada kesan orang jahat ataupun licik. Namun Trisman sangat membencinya. Biarpun ibunya selalu membela mamangnya, Trisman sebenarnya ingin melawan, bahkan dengan nyawa sebagai taruhan.

Mang Kuni, mamangnya, adalah orang yang membuat dirinya dan keluarganya menderita. Kuni juga orang yang sangat serakah, licik, dan munafik. Trisman ingin rasanya meludahi muka Kuni. Hanya saja karena ibunya, Trisman berusah menahan bara api di hatinya. Menurut ibunya, berkat mang Kunilah, mereka bertiga bisa selamat setelah bapaknya meninggal.

Entah apa yang merasuki pikiran ibu, beliau memang sangat menyayangi adiknya yang bejat itu. Mang Kuni memang terlihat lembut kalau bicara, seakan sopan, dan tahu agama. Memang aneh juga sih, setiap maghrib di malam Jum’at, mang Kuni selalu menyempatkan diri ikut pengajian Yasinan di musholah RT mereka. Walaupun, sebelumnya seharian dia puas main kartu di gardu jaga sebuah pabrik dekat rumah mereka.

Tinggallah Trisman meratapi sendiri nasibnya. Dia tidak mungkin mengadu kepada ibunya, karena ibunya pasti tidak akan percaya. Sementara Trisman sendiri tidak mau membebani ibunya yang memang sudah berat. Sang ibu yang sehari-hari bekerja sebagai tukang potong botol plastik bekas minuman itu tentunya sudah cukup berat memikul beban hidup mereka bertiga sehari-hari.

Trisman juga tidak ingin memberikan kegelapan kepada adiknya yang baru duduk di kelas lima SD. Cukuplah dirinya saja yang menanggung beban berat itu. Cukuplah dirinya saja yang bertahan dalam kegelapan. Adiknya, Neni, yang cerdas dan selalu juara kelas, tidak usahlah hidup dalam kegelapan seperti dirinya. Segelap belakang rumah mang Kuni yang juga menjadi tempat tidurnya.

Lalu sebagai pelampiasan gulana hatinya, Trisman memiih mengadu ke makam bapaknya. Disana dia bisa menangis menumpahkan jeritan hatinya yang terdalam. Bisa begitu dekat meski hanya berupa nisan, Trisman sudah merasa cukup puas seolah-olah berada dalam rangkulan bapaknya. Bapak yang diingatnya sangat menyayangi sampai suatu hari ketika Trisman yang baru saja duduk di kelas satu SD mendengar bahwa bapaknya telah berpulang dengan begitu cepat.

Trisman yang minta dihadiahi sepeda oleh bapaknya, memang sudah dibelikan sebuah sepeda mini kecil. Namun yang tidak Trisman tahu adalah waktu bapaknya membeli sepeda itu, ternyata uangnya kurang. Oleh si penjual, sepeda itu boleh dibawa pulang dulu baru esoknya bisa dilunasi. Hanya saja bapaknya Trisman tidak ingin berhutang. Segera sepeda diberikan kepada Trisman, bapaknya berangkat kembali ke toko sepeda di pasar Bantargebang.

Begitu kekurangan harga sepeda dibayar, bapak Triman pun mengendarai motornya dengan tergesa-gesa karena dilihatnya hari sudah mulai maghrib dan hujanpun mulai turun. Saat di depannya ada sebuah truk tronton besar, bapaknya bermaksud hendak menyalip ke kanan. Tidak disangka, belum sempat ujung depan badan truk tersebut berhasil dilewati, motor bapaknya keburu selip dan oleng ke kiri.

Sesudahnya, Trisman hanya bisa menangis mengikuti ibunya manakala diketahui bapaknya telah tewas di jalan. Trisman bersama adiknya akhirnya menjadi anak yatim. Trisman bersama adiknya pun sejak itu senantiasa mendapat santunan, terutama pada hari raya anak yatim, 10 Muharam. Santunan yang tidak bisa menggantikan kehilangan sang bapak.

====================

Bu Restu memang sangat baik, Trisman tidak bisa menghitung lagi seberapa banyak kebaikan yang telah diberikan bu Restu kepadanya. Meski hanya berupa bimbingan dan nasehat, Trisman merasa itu sudah sangat mencukupi. Terutama mengobati sedikit luka hatinya. Namun, meski begitu Trisman masih belum bisa bercerita banyak tentang aib yang dialaminya.

Trisman takut bu Restu akan menjauhi dan mencelanya jika tahu apa yang dialami Trisman selama ini. Trisman menjadi trauma karena pernah dipermalukan dan dicaci maki oleh seorang guru. Trisman tidak mau itu terjadi lagi padanya. Trisman yang sekarang duduk di kelas Sembilan dan sebentar lagi akan ujian, merasa tidak perlu menceritakan begitu detail kisah hidupnya kepada bu Restu.

“Trisman………., kenapa melamun ? Sudah sholat Dhuha ?” tanya bu Restu tiba-tiba.

Trisman yang sedang duduk di sebuah bangku di pinggir lapangan gelagapan begitu mendengar suara bu Restu. Kenapa ya, bu Restu selalu ada jika sedang dipikirkan ? Trisman lalu menundukkan kepalanya. Dia merasa malu di hadapan bu Restu.

“Trisman, ayo perbanyak ibadah, minggu depan sudah ujian nasional lho,” bu Restu menepuk bahu Trisman dengan lembut.

“Saya sholatnya di rumah saja, bu,” Trisman kembali mengelak.

“Tidak, di masjid sekolah saja, sekalian ibu ajak doa bersama, ibu ingin mendoakanmu supaya kamu bisa lulus ujian,” bu Restu terlihat bersungguh-sungguh.

“Tapi bu………..,” Trisman mau menolak namun keburu dipotong bu Restu.

“Tapi apa ? Selama kamu sekolah di sini, ibu belum pernah lihat kamu sholat,” bu Restu tersenyum.

“Masa iya sih, bu ? Kan kemarin ada ujian praktek agama, saya kan sholat juga bu,” Trisman berusaha membela diri.

“Hahahaaahhaaa……kamu tuh aneh, yang ibu minta kamu sholat sebagai ibadah rukun Islam yang kedua, bukan sebagai penilaian ujian praktek agama, kan ibu guru IPS ? Masa kamu ujian prakteknya ke ibu ? Ke guru agama kan ? Selain itu, ujian prakteknya sudah selesai minggu kemarin kan ?” bu Restu tertawa kecil.

“Kok ibu mau memperhatikan saya sih ?” Trisman mulai membuka hatinya.

“Memang tidak boleh ? Bukankah itu bagus ? Sebagai guru ibu harus tahu tentang anak didiknya,” bu Restu berkata bijak.

Trisman terdiam, dia masih ragu. “Baiklah, bu, saya akan sholat zhuhur,” akhirnya dia menjawab juga walau dengan nada pasrah.

Selanjutnya mereka berdua telah ada di dalam masjid sekolah. Banyak anak lain di sekitar mereka. Anak-anak itu berebutan mencium tangan bu Restu. Trisman hanya memperhatikan saja sambil sesekali tersenyum kalau bu Restu mencandai anak-anak itu. Bu Restu memang humoris, Trisman suka hal itu. Tidak seperti guru lain, ah tidak usah disebutkan. Trisman malas mengingatnya.

Selesai melaksanakan sholat berjama’ah, Trisman diajak bu Restu untuk berdoa bersama. Mereka duduk saling berdampingan. Trisman perlahan mengikuti doa yang diucapkan bu Restu, beberapa kali juga dia hanya mengaminkan terutama kalau kalimat doanya terlalu panjang. Anak-anak yang lain banyak yang memperhatikan mereka. Bahkan beberapa anak perempuan ikut berdoa bersama mengelilingi Trisman dan bu Restu.

“Bu, apakah saya pantas masuk surga ?” pertanyaan Trisman mengejutkan bu Restu.

“Maksudmu ?” bu Restu balik bertanya.

“Saya hanya takut tidak pantas masuk surga,” Trisman menjawab perlahan.

“Adakah yang bilang bahwa kamu tidak pantas masuk surga ? Siapa orangnya ?” bu Restu mengerutkan keningnya.

“Saya hanya bertanya saja bu, sebab saya banyak dosa,” Trisman menahan tangis.

“Trisman, yang berhak dan berwenang menentukan seseorang pantas atau tidak pantas masuk surge hanyalah Allah Subhanu Wa Ta’ala, dan ibu yakin kamu pantas masuk surga jika memang sudah dikehendaki oleh Allah. Yakinlah, bahwa Allah itu Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Pengampun,” bu Restu menenangkan Trisman.

“Ibu……………….,” Trisman tidak dapat menahan tangisnya lagi. Dia menangis di pelukan bu Restu. Bu Restu pun membelai lembut punggung dan rambut Trisman.

“Trisman, kenapa ?” bu Restu bertanya perlahan. Tapi Trisman tidak mampu berkata-kata. Air matanya terus saja tertumpah. Bu Restu pun memberi waktu kepada Trisman untuk menumpahkan tangisnya. Setelah reda barulah Trisman bisa menceritakan apa saja yang dialami di hadapan bu Restu. Mendengar hal itu, bu Restu tidak kuasa menahan air matanya. Meski kemudian cepat-cepat dihapus supaya bisa menguatkan hati Trisman.

“Trisman, kamu tidak berdosa, yang berdosa adalah mamangmu. Dia sungguh besar dosanya. Mulai sekarang, perbanyaklah berdoa supaya kamu bisa menghindari kejahatan mamangmu,” bu Restu memberi nasehat.

“Terima kasih, bu, nasehatnya akan saya jalani,” Trisman pun melepaskan diri dari rangkulan bu Restu.

“Andai saja kamu cerita sejak dulu kepada ibu, tentu tidak akan separah ini,” bu Restu seakan menyesali sikap Trisman.” Ah sudahlah, itu sudah lama berlalu, sekarang kamu harus berusaha melawannya, mamangmu sudah berbuat zholim kepadamu,” bu Restu menghela nafas sejenak.

Trisman pun bertekad akan melawan mamangnya meski harus berhadapan dengan ibunya. Maka setelah lulus SMP, Trisman yang diterima di sebuah SMK Negeri, mulai mencari-cari peluang untuk bisa lepas dari jeratan mang Kuni. Setiap hari Trisman selalu keluar rumah bersepeda mengitari kawasan Bantargebang hingga Cileungsi. Namun peluang yang dituju belum juga ada.

Dan di hari Rabu itu, Trisman berniat ingin pergi mancing bersama teman-temannya satu kelas di SMP dulu. Sampai di suatu jalan ban sepeda Trisman bocor kena pecahan beling. Trisman pun tidak jadi pergi mancing, dia ingin membetulkan ban sepedanya terlebih dahulu. Setelah mencari-cari kesana kemari, akhirnya ditemukan bengkel sepeda.

Di seberang bengkel sepeda terdapat sebuah salon kecantikan. Trisman tertarik melihat beberapa orang yang keluar masuk salon. Trisman tahu kalau yang keluar masuk itu tidak semuanya perempuan, diantara mereka ada yang waria. Trisman lalu mengingat dirinya, mungkinkah dirinya juga waria ?

Trisman kembali meratapi nasibnya, dirinya tidak ingin jadi banci. Meski gerakannya gemulai, Trisman ingin tetap sebagai lelaki. Maka Trisman berusaha tidak memperdulikan semua itu lagi. Trisman fokus kepada sepedanya dan ingin segera menyusul teman-temannya mancing.

“Sudah selesai,” ujar bapak tukang betul sepeda.

“Terima kasih pak, ini uangnya,” Trisman pun memberikan beberapa lembar uang ribuan kepada si bapak.

“Pak, tolong betulkan setang dan rantai sepeda ini, bisa kan pak ?” tiba-tiba seorang remaja lelaki datang ke bengkel sambil membawa sepeda mini kecil dan seorang anak perempuan kecil.

“Bisa, tunggu sebentar,” jawab bapak itu.

“Ini sepeda adik saya, dia memasukkan pensil ke jari-jari sepeda, akhirnya jadi rusak deh semuanya,” sambung remaja itu lagi.

Trisman menoleh sebentar ke arah sepeda dan juga remaja itu. Sepedanya sebenarnya tidak rusak parah. Mungkin kakaknya hanya ingin menenangkan adiknya supaya tidak menangis karena sepedanya sebentar lagi akan baik kembali.  Trisman jadi ingat adiknya. Ah apakah dirinya akan sebaik remaja itu jika sepeda adiknya mengalami kerusakan ? Trisman tersenyum sendiri karena telah dapat menebak jawabannya.

Sebulan kemudian, Trisman hampir lupa kejadian di bengkel itu. Kalau saja remaja itu tidak menegurnya terlebih dahulu di sekolahnya yang sekarang. Trisman pun baru mengetahui kalau remaja itu ternyata adalah ketua OSIS. Cuma Trisman ditegur bukan karena dia dikenal kembali. Tidak, bukan begitu. Trisman ditegur karena memakai sepatu yang salah ke sekolah. Adduuhhh, malunya !

Untungnya ketua OSIS orangnya baik hati. Dia malah mengajak persahabatan kepada Trisman. Bahkan Trisman sering diberi motivasi bila mengalami masalah. Imam demikian nama sang ketua OSIS juga siswa paling pintar di sekolah. Biarpun wajahnya tidak ganteng, namun postur tubuhnya yang bak tentara, sanggup membuat para cewek tergila-gila.

Awalnya Trisman merasa biasa bila para cewek mendekati Imam. Sampai suatu ketika Imam akhirnya mendapatkan seorang cewek sebagai pacarnya, Trisman pun merasa tersisih. Dirinya tidak lagi selalu mendapat sapaan dari Imam. Begitu pula tidak lagi ngobrol bersama, boro-boro diberikan motivasi hidup, sekedar candapun tidak. Trisman akhirnya menjadi sakit hati.
(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun