“Ibu sudah lama tinggal seperti ini ?” bu Restu ingin tahu.
“Udah lama juga, sejak bapaknya Trisman meninggal,” ibu Trisman menjawab dengan polos.
Bu Restu tidak bisa berkata lagi. Hanya bisa menghela nafas panjang. Bathinnya tidak bisa menerima ketimpangan seperti ini.
“Apakah selama ini ibu tidak pernah mendapat bantuan, misalnya dari kelurahan ?” bu Restu penasaran ingin tahu.
“Belon pernah bu, sama sekali belon pernah, paling daging korban, itupun cuman sekantong,”
Bu Restu tidak mau bertanya banyak lagi. Lebih dari cukup yang ia butuhkan. Tokh, jika sekedar bertanya tidak akan membantu apa-apa, demikian pikirnya. Bu Restu mencoba menahan dirinya untuk tidak bersikap emosional. Setelah minum beberapa teguk botol minuman teh dingin yang disuguhkan Trisman, diapun memohon diri.
Esoknya, siang itu di sekolah setelah bel pulang, bu Restu mengajak Trisman bicara berdua di teras masjid sekolah. Trisman mulanya tidak mau terbuka menceritakan kisah hidupnya. Namun, bukannya bu Restu kalau tidak bisa mengorek keterangan dari para murid. Maklum, bu Restu dikenal anak murid sebagai guru yang biasa menjadi tempat curhat, sekaligus diinterogasi kalau ada satu kasus.
Benar saja, Trisman pun mau cerita sedikit demi sedikit. Bu Restu mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali menanggapi dengan bijaksana dan ada sedikit canda. Trisman pun mau tidak mau tersenyum. Ah, memang bu Restu pandai mengambil hati anak. Setelah merasa cukup mendapat keterangan permulaan, bu Restu yang masih ada jam mengajar siang bermaksud ingin menyudahi curhat session pertama itu.
“Trisman, sebelum pulang sholat zhuhur dulu ya ?” ajak bu Restu.
“Di rumah aja, bu, baju saya kotor,” Trisman menolak halus.
“Nanti keburu capai, dan malah tidak jadi sholat,” bu Restu membantah.