Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tuhan, Jangan Jadikan Aku Gay (Bagian I)

28 Desember 2012   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 2095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selanjutnya mereka berdua telah ada di dalam masjid sekolah. Banyak anak lain di sekitar mereka. Anak-anak itu berebutan mencium tangan bu Restu. Trisman hanya memperhatikan saja sambil sesekali tersenyum kalau bu Restu mencandai anak-anak itu. Bu Restu memang humoris, Trisman suka hal itu. Tidak seperti guru lain, ah tidak usah disebutkan. Trisman malas mengingatnya.

Selesai melaksanakan sholat berjama’ah, Trisman diajak bu Restu untuk berdoa bersama. Mereka duduk saling berdampingan. Trisman perlahan mengikuti doa yang diucapkan bu Restu, beberapa kali juga dia hanya mengaminkan terutama kalau kalimat doanya terlalu panjang. Anak-anak yang lain banyak yang memperhatikan mereka. Bahkan beberapa anak perempuan ikut berdoa bersama mengelilingi Trisman dan bu Restu.

“Bu, apakah saya pantas masuk surga ?” pertanyaan Trisman mengejutkan bu Restu.

“Maksudmu ?” bu Restu balik bertanya.

“Saya hanya takut tidak pantas masuk surga,” Trisman menjawab perlahan.

“Adakah yang bilang bahwa kamu tidak pantas masuk surga ? Siapa orangnya ?” bu Restu mengerutkan keningnya.

“Saya hanya bertanya saja bu, sebab saya banyak dosa,” Trisman menahan tangis.

“Trisman, yang berhak dan berwenang menentukan seseorang pantas atau tidak pantas masuk surge hanyalah Allah Subhanu Wa Ta’ala, dan ibu yakin kamu pantas masuk surga jika memang sudah dikehendaki oleh Allah. Yakinlah, bahwa Allah itu Maha Pengasih Maha Penyayang dan Maha Pengampun,” bu Restu menenangkan Trisman.

“Ibu……………….,” Trisman tidak dapat menahan tangisnya lagi. Dia menangis di pelukan bu Restu. Bu Restu pun membelai lembut punggung dan rambut Trisman.

“Trisman, kenapa ?” bu Restu bertanya perlahan. Tapi Trisman tidak mampu berkata-kata. Air matanya terus saja tertumpah. Bu Restu pun memberi waktu kepada Trisman untuk menumpahkan tangisnya. Setelah reda barulah Trisman bisa menceritakan apa saja yang dialami di hadapan bu Restu. Mendengar hal itu, bu Restu tidak kuasa menahan air matanya. Meski kemudian cepat-cepat dihapus supaya bisa menguatkan hati Trisman.

“Trisman, kamu tidak berdosa, yang berdosa adalah mamangmu. Dia sungguh besar dosanya. Mulai sekarang, perbanyaklah berdoa supaya kamu bisa menghindari kejahatan mamangmu,” bu Restu memberi nasehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun