Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Obituari Paul Cummings, Pelatih Inggris yang Cinta Mati Indonesia

21 September 2023   10:53 Diperbarui: 21 September 2023   13:46 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BIASANYA saya mengacuhkan saja rekomendasi berita yang ada di bagian depan aplikasi Chrome pada smartphone. Namun tidak pada Rabu (20/9/2023) pagi kemarin, ketika salah satu judul langsung membetot perhatian: Paul Cummings meninggal dunia.

Bagi penyuka bal-balan generasi kiwari, nama tersebut mungkin terdengar asing di telinga. Sebaliknya, generasi lebih tua (boomers hingga milenial) mengenal sosok ini sebagai salah satu nama besar dalam sejarah sepak bola nasional.

Sebagian memang mencaci maki gaya kepelatihannya pada masa itu, tetapi sebagian lagi memberikan puja-puji setinggi langit. Bahkan bagi orang Manokwari dan Lampung, Paul adalah pahlawan.

Berkat tangan dingin Paul-lah Manokwari dan Lampung, dua daerah yang terpencil lagi sepi, dikenal luas di pentas sepak bola nasional. Prestasi Paul di dua tempat tersebut belum bisa terulang hingga sekarang.

Lalu keputusannya untuk tetap tinggal di Indonesia dan bahkan menjadi WNI pada November 1999, mencatatkan namanya sebagai orang kedua dalam sejarah sepakbola nasional yang dinaturalisasi. Lebih tepatnya lagi, pelatih kedua.

Orang pertama yang dinaturalisasi adalah, Anda semua pasti sudah tahu, pelatih timnas Antun 'Toni' Pogacnik nan legendaris. Kita akan bahas legenda satu ini di lain kesempatan.

Pelopor Pelatih Asing

Paul Cummings datang ke Indonesia ketika gairah sepak bola nasional sedang tinggi-tingginya. Selain kompetisi Perserikatan yang sudah bergulir sejak era prakemerdekaan, digulirkan pula sebuah liga semi profesional yang tak kalah semarak.

Liga Sepak Bola Utama, demikian namanya. Selanjutnya liga semipro ini lebih dikenal dengan sebutan Galatama.

Kedatangan Paul Cummings bersamaan dengan masuknya Wiel Coerver dan Marek Janota. Nama pertama adalah pelatih timnas, sedangkan yang kedua mencatatkan kesuksesan bersama Persija Jakarta di Perserikatan.

Bersama Janota, Paul bolehlah disebut sebagai pelopor masuknya pelatih asing di level klub. Keduanya juga sama-sama meninggalkan warisan yang sedikit-banyak turut mengubah cara pemain lokal memainkan si kulit bundar.

Paul memang tidak sampai menjunjung trofi seperti halnya Janota. Akan tetapi ia merupakan ahlinya mengubah sebuah tim semenjana menjadi kuda hitam di tingkat nasional.

Perseman Manokwari adalah contoh karyanya. Tak berlebihan mengatakan klub asal Bumi Cenderawasih ini sebagai buah racikan tersukses Paul selama berkiprah di Indonesia.

Tim yang sebelumnya biasa berkutat di divisi bawah, oleh Paul dibawa menjuarai Divisi I Perserikatan pada 1983. Itu artinya, tahun berikutnya mereka mentas di Divisi Utama sebagai panggung utama sepak bola nasional.

Tak sekadar menjadi tim promosi yang numpang lewat, Perseman menjadi kuda hitam di liga. Musim pertama di Divisi Utama memang belum menghasilkan apa-apa, tetapi setidaknya mereka sanggup bertahan.

Taji Perseman mulai keluar di musim 1985. Secara mengejutkan mereka sukses menembus empat besar dan bermain di Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno).

Paul Cummings (kanan) bersama pemain Perseman di Senayan. FOTO: Istimewa/Facebook
Paul Cummings (kanan) bersama pemain Perseman di Senayan. FOTO: Istimewa/Facebook

Bagi klub-klub Indonesia masa itu, bisa mentas di Senayan adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ekuivalen dengan tampil di Stadion Wembley bagi klub-klub di Inggris. Artinya, yang bisa tampil di Senayan adalah tim-tim yang telah mencapai prestasi besar.

Namun di balik kesuksesan itu Perseman mendapat caci maki. Gaya bermain anak asuh Paul dicap keras menjurus kasar. Bahkan, konon, melebihi style rap-rap ala PSMS Medan yang terkenal itu.

Paul bergeming. Baginya yang dibesarkan di iklim sepakbola Inggris, permainan keras adalah hal biasa. Yang penting pemainnya jangan sampai sengaja melanggar dengan niat jahat mencederai lawan.

Musim berikutnya, Perseman melaju lebih jauh lagi. Mereka kembali tampil di Senayan dan bahkan sukses melaju hingga ke partai final.

Yang jadi lawan Perseman di final adalah Persib Bandung. Klub asal Tanah Priangan ini juga tengah naik daun kala itu, buah dari pondasi tim yang dibentuk Janota beberapa tahun sebelumnya.

Pertarungan sengit tersaji di Senayan, 11 Maret 1986. Meski telah berjuang sepenuh tenaga, Perseman harus rela melepas gelar juara karena kalah 0-1.

Gol tunggal penentu kemenangan Persib kala itu dicetak oleh Djadjang Nurdjaman. Gol yang mengakhiri puasa gelar selama 25 tahun.

Membangun PSBL

Paul tak mampu lagi mengulangi pencapaiannya di Divisi Utama 1986 tersebut. Perseman lantas melepasnya, membuat pria kelahiran London ini memilih berdagang sembako di pedalaman Papua untuk mengais nafkah.

Banyak kisah duka yang dialami Paul semasa berdagang sembako. Beberapa kali ia ditipu dan dagangannya diambil secara tidak benar, tetapi tak membuatnya berhenti berusaha.

Beberapa tahun berdagang, panggilan dari dunia sepakbola kembali mendatangi Paul. Kali ini dari Lampung yang berjarak ribuan kilometer dengan Manokwari.

Panggilan ini sebetulnya masih ada kaitan dengan kiprah Paul sebelumnya di Perseman. Mantan wakil gubernur Irian Jaya (nama resmi Papua ketika itu) Poedjono Pranoto pindah tugas menjadi gubernur Lampung.

Semasa di Irian Jaya, Poedjono tentu tahu betul bagaimana tangan dingin Paul sukses membawa Perseman ke pentas nasional. Bahkan nyaris menjuarai Divisi Utama. Karena itulah sang gubernur memintanya mengembangkan sepak bola di Lampung.

Warga Lampung punya sebuah klub kebanggaan yang belum lama berdiri, PS Bandar Lampung atau PSBL. Dibentuk pada 1985, hanya berselang tiga tahun jelang kedatangan Poedjono sebagai gubernur Lampung yang baru.

Poedjono berharap Paul dapat menghidupkan PSBL yang masih sangat belia itu. Melihat apa yang dicapai Paul bersama Perseman, tidak berlebihan jika Poedjono punya impian PSBL dapat berbicara banyak di pentas nasional.

Target yang mula-mula harus dicapai adalah promosi ke Divisi Utama. Poedjono ingin PSBL berkompetisi bersama klub-klub Perserikatan yang jauh lebih berpengalaman.

Saking percayanya Poedjono kepada Paul, waktu yang diberikan pada pria Inggris itu sangat panjang. Nyaris sepanjang masa jabatan sang gubernur yang dipercaya memimpin Lampung selama dua periode (1988-1993 dan 1993-1998).

Total tujuh tahun Paul membesut PSBL. Durasi kerja yang sangat tidak lazim mengingat pada masa itu umumnya pelatih klub hanya diberi kontrak tahunan.

Paul datang ke Lampung pada 1991. Kepercayaan penuh Poedjono ia bayar tuntas dengan membawa PSBL meraih tiket promosi ke Divisi Utama pada 1996.

Tak cukup sampai di sana, Paul berhasil mempertahankan PSBL di kasta tertinggi. Laskar Radin Inten selalu finish di papan tengah klasemen Wilayah Barat.

Tak Putus Dirundung Malang

Sayang, krisis moneter yang meluas menjadi krisis kepemimpinan membuat situasi di Jakarta dan beberapa kota di Jawa mencekam. Keadaan tak kondusif ini mengharuskan liga berhenti.

Nasib Paul ikut terkena imbas krisis. Dengan alasan penghematan, kontraknya dengan PSBL diputus. Paul kembali menjadi pengangguran sepak bola.

Semenjak itu, kemalangan demi kemalangan terus menimpa Paul. Jalan hidupnya bak judul sebuah novel lawas karya Sutan Takdir Alisyahbana, Tak Putus Dirundung Malang.

Demi mengisi kekosongan, Paul menggunakan tabungannya untuk merintis usaha kecil-kecilan di obyek wisata Pantai Sari Ringgung. Kini pantai tersebut masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran.

Paul membeli selusin perahu dan menyewakannya secara harian. Ia juga membuka warung sederhana yang menyediakan kopi hingga mi instan. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan sebagai penghasilan.

Malang, usaha tersebut dirusuhi preman. Warung Paul terus-terusan didatangi pemalak. Jika ia menolak memberi uang, perahu-perahunya dirusak. Hewan-hewan piaraannya pun diracun.

Puncak kemalangan Paul di Lampung terjadi pada 27 Juli 2001. Ketika itu ia tengah berbelanja di sebuah toko grosir di Bandar Lampung. Kulakan untuk kebutuhan warungnya di Sari Ringgung.

Ketika ia datang, segerombolan preman bersenjata tengah memalak pemilik warung. Malang bagi Paul, ia yang tak tahu apa-apa tahu-tahu saja ikut diserang preman sehingga mengalami beberapa luka tusuk.

Ada kejadian yang lebih memilukan lagi setelah peristiwa penusukan itu. Saking pilunya, saya tak kuat hati menceritakan di sini karena berkaitan dengan bobroknya mental dan kinerja aparat penegak hukum kita.

Begitu pulih, Paul memutuskan kembali ke Papua. Ia punya tanah dan rumah di Nabire, semasa menukangi Persinab. Namun betapa kagetnya ia ketika mendapati properti miliknya tersebut sudah tak karuan bentuk karena dijarah.

Tahun 2002, Perseman kembali mengikatnya sebagai pelatih. Meski menurut penuturan Paul pada Aqwan F. Hanifan dari detikSport gajinya teramat kecil, ia menerima tawaran tersebut.

Setahun berselang Perseman sudah mendepak Paul. Ia kembali menjadi pengangguran dan tak punya apa-apa lagi. Bahkan ketika kemudian jatuh sakit akibat malaria, untuk berobat ke dokter pun ia tak mampu.

Beruntung seorang pengusaha baik hati menyelamatkan Paul. Setelah diobati dan sembuh, lelaki ini memilih pergi ke Kabupaten Malang untuk tinggal bersama istrinya.

Sempat melatih tim futsal di Surabaya, panggilan dari PSBL kembali datang. Paul dengan senang hati menerima, meski kemudian sedikit menyesali keputusan tersebut.

Bukan apa-apa, ternyata Paul dan PSBL hanya dijadikan alat politik. Maklum saja, ketika itu memang mendekati pemilihan umum sehingga PSBL diharapkan dapat menjadi pendongkrak suara.

Tak tahan dengan keadaan itu, setahun berselang Paul kembali ke Jawa. Tidak lama kemudian ia mendapat permintaan dari Bupati Teluk Wondama di Papua Barat untuk mengembangkan Persiwon.

Tak sekadar melatih, Paul mengerjakan semua yang bisa ia lakukan demi memajukan Persiwon. Dari menyusun manajemen klub hingga merancang desain Jersey.

Di Persiwon inilah Paul menemukan Patrich Wanggai yang kelak memperkuat tim nasional. Persiwon sendiri dibawanya terus melaju ke tangga lebih atas piramida kompetisi sepakbola nasional.

Dari biasanya berkutat di Divisi III, Persiwon sukses menembus Divisi I pada 2008. Di tahun itu pula Paul diminta menangani tim sepakbola Papua Barat untuk ajang PON di Kalimantan Timur.

Usai gelaran PON yang membuatnya garuk-garuk kepala dengan sepakbola Indonesia, Paul kembali menangani Persiwon. Sampai tragedi besar itu terjadi: dualisme liga sekaligus dualisme PSSI.

Gonjang-ganjing di Jakarta membuat jalannya kompetisi tak menentu. Persiwon yang baru saja menuntaskan putaran Divisi I di Banyuwangi memilih bermarkas di Malang demi penghematan.

Sayangnya, hingga berbulan-bulan kemudian tak kunjung ada kejelasan kapan kompetisi kembali bergulir. Persiwon terdampar di Malang selama delapan bulan lebih, dengan segala pengeluaran tim ditalangi Paul.

Alih-alih mendapat ganti, manajemen klub malah memecat Paul secara sepihak. Gajinya yang tertunggak selama 10 bulan juga tak dibayar.

Sakit Menahun dan Akhir Hayat

Kembali ke Papua, lagi-lagi Paul mendapati rumahnya telah rata dengan tanah akibat dijarah. Ketika memutuskan membangun rumah di Malang, ia kena kerjai habis-habisan.

Dimulai dari harga tanah yang didongkrak hingga tiga kali lipat, sampai jasa kontraktor yang juga di luar kelaziman padahal kualitas bangunan hancur-hancuran.

Apa boleh buat, Paul sudah kadung cinta mati pada Indonesia. Sekalipun terus-menerus mendapat perlakuan tidak mengenakkan, ia tetap berpikir positif terhadap negara dan bangsa ini.

Sebuah kepercayaan yang tidak salah. Setidaknya menjelang akhir hayat ia mendapat uluran tangan tak terhingga dari komunitas sepak bola nasional.

Dimulai dari impiannya menyaksikan Liverpool FC, klub idolanya, bertanding secara langsung di stadion. Keinginan itu terwujud di tahun 2013, ketika LFC melakukan tur ke Jakarta.

Adalah detikSport dengan dibantu Aremania yang mewujudkan impian Paul. Lelaki murah senyum itu diberangkatkan ke Jakarta dan ditempatkan di tribun Stadion Utama GBK pada 20 Juli 2013.

Setelah itu, kisah hidup Paul banyak menghiasi pemberitaan. Menteri Pemuda dan Olahraga (waktu itu) Imam Nahrawi menyempatkan datang menjenguknya ketika ada agenda kunjungan ke Malang.

Begitu mengetahui penyakit yang diderita Paul, Menpora menawarkan perawatan di RS Rehabilitasi Medik Cedera Olahraga (RMCO) Jakarta. Imam lantas mengutus dokter Kemenpora untuk mengecek kondisi kesehatan Paul sebelum dibawa ke Jakarta.

Di kalangan Aremania, Paul juga mendapat tempat khusus. Ia secara rutin datang ke Stadion Kanjuruhan untuk menyaksikan Arema bertanding dari tribun VVIP.

Sekalipun harus menggunakan kursi roda akibat kondisi kesehatannya yang kian memburuk, Paul terus datang menonton. Baginya, menurut sang istri kepada Kompas.com, sepakbola adalah gairah san penyemangat hidup.

Setelah menahan sakit selama belasan tahun, dengan 8 tahun terakhir menderita stroke, Paul mengembuskan napas terakhir pada Selasa, 19 September 2023, di usia 76 tahun.

Selamat jalan, Paul. Jasa besarmu pada sepak bola Indonesia tak akan terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun