Ada kejadian yang lebih memilukan lagi setelah peristiwa penusukan itu. Saking pilunya, saya tak kuat hati menceritakan di sini karena berkaitan dengan bobroknya mental dan kinerja aparat penegak hukum kita.
Begitu pulih, Paul memutuskan kembali ke Papua. Ia punya tanah dan rumah di Nabire, semasa menukangi Persinab. Namun betapa kagetnya ia ketika mendapati properti miliknya tersebut sudah tak karuan bentuk karena dijarah.
Tahun 2002, Perseman kembali mengikatnya sebagai pelatih. Meski menurut penuturan Paul pada Aqwan F. Hanifan dari detikSport gajinya teramat kecil, ia menerima tawaran tersebut.
Setahun berselang Perseman sudah mendepak Paul. Ia kembali menjadi pengangguran dan tak punya apa-apa lagi. Bahkan ketika kemudian jatuh sakit akibat malaria, untuk berobat ke dokter pun ia tak mampu.
Beruntung seorang pengusaha baik hati menyelamatkan Paul. Setelah diobati dan sembuh, lelaki ini memilih pergi ke Kabupaten Malang untuk tinggal bersama istrinya.
Sempat melatih tim futsal di Surabaya, panggilan dari PSBL kembali datang. Paul dengan senang hati menerima, meski kemudian sedikit menyesali keputusan tersebut.
Bukan apa-apa, ternyata Paul dan PSBL hanya dijadikan alat politik. Maklum saja, ketika itu memang mendekati pemilihan umum sehingga PSBL diharapkan dapat menjadi pendongkrak suara.
Tak tahan dengan keadaan itu, setahun berselang Paul kembali ke Jawa. Tidak lama kemudian ia mendapat permintaan dari Bupati Teluk Wondama di Papua Barat untuk mengembangkan Persiwon.
Tak sekadar melatih, Paul mengerjakan semua yang bisa ia lakukan demi memajukan Persiwon. Dari menyusun manajemen klub hingga merancang desain Jersey.
Di Persiwon inilah Paul menemukan Patrich Wanggai yang kelak memperkuat tim nasional. Persiwon sendiri dibawanya terus melaju ke tangga lebih atas piramida kompetisi sepakbola nasional.
Dari biasanya berkutat di Divisi III, Persiwon sukses menembus Divisi I pada 2008. Di tahun itu pula Paul diminta menangani tim sepakbola Papua Barat untuk ajang PON di Kalimantan Timur.