"Judge me in three years," kata Rodgers ketika itu.
Liverpudlian bahkan tidak perlu menunggu selama itu. Rodgers sudah berhasil meraih simpati The Kop dengan permainan apik di separuh musim pertamanya, 2012/13. Puja-puji diarahkan kepadanya, bersamaan dengan harapan tinggi akan raihan trofi.
Harapan itu nyaris terwujud. Rodgers hampir saja tercatat dalam buku sejarah klub sebagai manajer pertama yang memenangi Premier League di musim 2013/14. Musim di mana terdengar nyanyian "We're gonna win the league" di Anfield, nyanyian yang biasanya keluar dari mulut fan Man. United.
Apa daya, sejarah besar gagal terjadi. Orang-orang berpendapat hasil seri 3-3 di kandang Crystal Palace adalah kunci kegagalan Liverpool musim tersebut. Sejatinya, sepanjang 2013/14 The Reds terlalu sering membuang-buang poin di beberapa laga krusial.
Keadaan bertambah buruk ketika sosok sepenting Suarez malah dibiarkan pergi. Padahal striker Uruguay itu adalah penyumbang separuh gol klub sepanjang musim 2013/14. Juga pemberi kebanyakan asist bagi Sturridge.
Jangan lupakan pula cerita soal "kekangan" Komite Transfer pada Rodgers di awal tulisan. Niatnya untuk memperkuat klub dengan membeli beberapa pemain incaran di awal musim 2014/15, terganjal oleh kebijakan komiter tersebut.
Maka, jangan heran kenapa klub sebesar Liverpool mendatangkan pemain-pemain seperti ... ingat-ingat sajalah sendiri siapa saja mereka. Ketika satu demi satu para rekrutan baru tersebut gagal berkembang, jelas Rodgers yang jadi sasaran utama tudingan jari.
Ketika kemudian hasil-hasil di atas lapangan tak lagi sesuai harapan, hanya Rodgers pula yang paling mudah dijadikan kambing hitam. Akibatnya, perlahan tapi pasti dukungan fan berbalik jadi tekanan baginya.
Gerakan-gerakan anti-Rodgers mulai bermunculan, termasuk mereka-mereka yang mempertanyakan kapabilitas sang manajer. Dari hanya kritis terhadap pilihan taktik dan susunan pemain, serangan lambat laun kian brutal dengan ejekan-ejekan personal. Termasuk keputusannya menceraikan istri demi bersama Nona Hinds.
Tiga tahun tanpa gelar, fan semakin kencang mengingatkan Rodgers pada janjinya sendiri. Tagar #RodgersOut, banner "Rodgers Out Rafa In" di ekor pesawat yang sengaja diterbangkan saat Liverpool bertanding, sampai sorakan "booo" di Anfield,, kesemuanya adalah ekspresi ketidak-sabaran fan akan trofi juara.
No trophy no glory. Trofi jadi satu-satunya tolok ukur kemajuan. Dalam hal ini, Rodgers adalah sinonim bagi kegagalan dalam kamus kebanyakan fan Liverpool.