Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang asyik berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet juga berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Brendan Rodgers Tak Lagi Dipercaya Fans Liverpool [On This Day]

4 Oktober 2022   23:40 Diperbarui: 5 Oktober 2022   01:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: Press Association via Leicester Mercury

OKTOBER agaknya akan selalu dikenang Brendan Rodgers sebagai bulan penuh deg-degan. Mundur tepat ke 7 tahun lalu, manajer berkebangsaan Irlandia Utara tersebut didepak owner Liverpool FC usai ditahan imbang Everton di Derby Merseyside, 4 Oktober 2015.

Waktu itu, sebetulnya Liverpool sudah memimpin 1-0. Namun Everton berhasil menyamakan skor sehingga pertandingan berakhir 1-1. Itu merupakan kali kelima The Reds memimpin satu gol, lalu kebobolan dan akhirnya hanya mendapatkan sebiji poin.

Rekor di awal musim 2015/16 itu jadi lebih buruk karena Rodgers hanya bisa memberikan satu kemenangan dari 9 pertandingan sebelumnya. Bisa dimaklumi jika para petinggi Fenway Sports Group (FSG) merasa itu adalah momen tepat untuk mendepak sang gaffer.

Begitulah yang terjadi kemudian.

Hanya berselang satu jam setelah pertandingan di Goodison Park usai, masuk panggilan telepon lintas benua dari petinggi FSG Mike Gordon. Isi percakapan menyangkut masa depan Rodgers: malam itu juga dia musti mengakhiri pengabdian di Liverpool.

Kita kemudian sama-sama tahu, FSG merekrut Jurgen Klopp setelah memecat Rodgers. Seorang pengganti yang digadang-gadang bakal mempersembahkan trofi bagi The Anfield Gang.

Impian tersebut memang jadi kenyataan. Klopp sukses memberikan trofi bagi Liverpool, termasuk gelar juara Premier League untuk kali pertama. Gelar juara liga domestik yang terakhir kali diraih 30 tahun sebelumnya.

Beban Besar

Andai saja fans Liverpool lebih bersabar terhadap Rodgers, demikian pula FSG dan dukungan dananya, saya yakin ayah Anton Rodgers tersebut juga sebetulnya punya kans untuk melakukan hal sama. Seperti yang nyaris dia lakukan pada musim 2013/14.

Sayang, masa-masa itu FSG tampak lebih sibuk dengan target mereka sendiri: memperbesar kapasitas Stadion Anfield demi memaksimal pendapatan dari tiket pertandingan. Alhasil, anggaran untuk membeli pemain demi memperkuat tim terbilang sangat minim.

Padahal dengan dukungan dana berlimpah pun ada segunung beban yang harus Rodgers pikul di pundaknya. Beban terbesar adalah nama legendaris Liverpool itu sendiri. The best football club in the world, kata Kopites. The pride of England.

Semua itu sebutan-sebutan yang lebih mirip harapan karena Liverpool tidak pernah menjadi juara sejak era Premier League. Trofi Eropa memang sempat diraih--di tahun 2001 dan 2005, tetapi lebih sering tampil sebagai penggembira saja.

Sementara dalam curriculum vitae Rodgers pada saat melamar, hanya ada nama-nama klub semenjana seperti Reading, Watford, Swansea City. Memang ada nama Chelsea terselip di sana, tetapi itu "cuma" sebagai pelatih tim junior.

Pekerjaan Rodgers jadi bertambah berat karena FSG meniadakan jabatan Direktur Olahraga. Sebagai ganti, dibentuklah sebuah Komiter Transfer.

Masalahnya, Rodgers kerap berseberangan pendapat dengan Komite Transfer dalam hal menentukan pemain buruan. Tidak jarang terjadi Rodgers menginginkan satu pemain atas pertimbangan teknis, tetapi komite menghendaki pemain lain dengan pertimbangannya sendiri.

Pembelian Daniel Sturridge pada Januari 2013 bisa dijadikan contoh. Menurut media Inggris, saat itu Rodgers sebenarnya lebih menginginkan Clint Dempsey dari Tottenham Hotspur. Akan tetapi Komite Transfer lebih suka mendatangkan Sturridge.

Beruntung kemudian Sturridge bisa nyetel dengan Luis Suarez, sehingga melahirkan duet SAS yang mendominasi daftar top scorer musim 2013/14. Namun nyata sekali Studge sangat tergantung pada Suarez. Begitu Si Tonggos dilego ke Barcelona, Sturridge memble.

Setelah kasus transfer Sturridge, ada pula kisah pembelian Roberto Firmino yang disebutkan bukan kemauan Rodgers. Alih-alih, pemain Brazil tersebut didatangkan atas kehendak Komite Transfer.

Saat negosiasi dengan Firmino dan 1899 Hoffenheim berlangsung, Rodgers tengah berlibur bersama kekasihnya Charlotte Hinds. Hingga kemudian berseragam Liverpool, Rodgers tak pernah mengumumkan secara resmi bergabungnya Firmino ke dalam tim.

Masih mengutip media Inggris, Rodgers akhirnya dapat memaklumi pembelian Firmino karena punya satu syarat. Syarat tersebut adalah persetujuan Komite Transfer untuk membeli pemain incarannya, yakni Cristian Benteke.

Ketidak-cocokan Rodgers dengan Komite Transfer tak jarang berbuah kegagalan mendatangkan pemain incaran. Fan Liverpool tentu masih mengingat jelas bagaimana Mohamed Salah yang telah lama didekati malah bergabung dengan Chelsea di tahun 2014.

Paling menyesakkan adalah kasus pembelian Yevhen Konoplyanka. Gelandang serang asal Ukraina tersebut sudah sepakat bergabung, negosiasi harga pun sudah rampung, tetapi entah mengapa Konoplyanka tak pernah terbang ke Merseyside untuk menyelesaikan proses transfernya.

Dengan model pembelian pemain seperti ini, tidak heran bila kemudian para rekrutan yang didatangkan pada era Rodgers kebanyakan berujung sebagai flop. Tentu saja tanpa menepikan sejumlah pemain yang sukses berkembang.

Membawa Visi Besar

Ketidak-rukunan tersebut sangat disayangkan. Pasalnya, Rodgers datang ke Liverpool dengan visi besar. Eks manajer Swansea City tersebut sudah memukau petinggi klub saat melakoni wawancara sebagai salah satu kandidat manajer.

Pada saat itu, kepada petinggi FSG Rodgers menyodorkan sebuah dokumen setebal 180 halaman. Sebuah dokumen mengenai langkah-langkah yang akan dia ambil sebagai manajer Liverpool demi mengembalikan nama besar klub.

Tak hanya itu, Rodgers juga merinci apa saja yang harus ditempuh pemilik klub dan suporter untuk mendukung visi tersebut. Ya, visi mengembalikan kejayaan Liverpool sebagai penguasa Inggris dan Eropa.

Rodgers tahu betul klub seperti apa yang sedang dia hadapi. Meski saat dia datang melamar Liverpool hanya finish di papan tengah klasemen Premier League 2011/12, Liverpool tetaplah Liverpool. Sebuah klub top nan legendaris di seantero Eropa. Sebuah klub yang sudah menyerupai cerita rakyat di daratan Britania Raya.

"Sesungguhnya, menurut saya, kalau ada yang namanya cerita rakyat (folklore) mengenai sepakbola, maka itu adalah Liverpool. Liverpool adalah jantung kehidupan," demikian Rodgers mendeskripsikan Liverpool kala itu, seperti banyak dikutip media Inggris.

Rodgers juga paham Liverpool FC tak cuma soal sepakbola. Penduduk kota pelabuhan di mana klub tersebut berada menjadikan The Reds sebagai urat nadi kehidupan mereka. Bukan hanya permainan 11 lawan 11 selama 90 menit di atas lapangan berumput, Liverpool adalah helaan & hembusan napas Liverpudlian.

"Untuk penduduk kota lain atau negara lain, sepakbola mungkin sebuah kegiatan di waktu senggang. Di kota ini, sepakbola adalah kehidupan itu sendiri. Segalanya," kata Rodgers lagi.

Karena itulah Rodgers tak melulu bicara taktik dan strategi ketika menjalani wawancara di hadapan bos-bos FSG. Bukan hanya membentuk tim, Rodgers menegaskan dirinya ingin membangun filosofi, kultur dan gaya permainan di klub tersebut. Filosofi Liverpool, kultur Liverpool. The Liverpool way.

"Saya jelaskan mengenai apa yang ingin saya bangun: filosofi dan kultur klub, gaya permainan, tindak-tanduk pribadi mereka yang menjadi bagian dari klub," ucap Rodgers, menjabarkan misinya kepada wartawan.

Rindu Kejayaan

Bagi suporter Liverpool, apa yang disampaikan Rodgers saat itu jelas merupakan satu topik menarik. Sesuatu hal yang terasa semakin pudar sejak terakhir kali menjuarai liga domestik pada 1990.

Dan Rodgers tak asal bicara. Dia punya contoh nyata dalam wujud Swansea City. Klub asal Wales selatan itu dia jadikan sebuah tim dengan gaya permainan menarik lagi atraktif. Menjadi buah bibir di kasta kedua sepak bola Inggris.

Rodgers memang tidak sampai membawa Swansea City menjuarai Championship. Namun begitu promosi ke Premier League, racikan Rodgers pada The Swans menuai banyak pujian. Kira-kira seperti Brighton and Hove Albion racikan Graham Potter di musim ini.

Akan tetapi lain Swansea City, lain pula Liverpool FC. Pproyek yang harus dikerjakan Rodgers di Anfield bukanlah pekerjaan ringan, tentu tanpa meremehkan apa yang telah dia lakukan selama menangani Swansea.

Pada saat Rodgers datang, Liverpool sudah tak menjamah trofi juara selama 22 tahun. Trofi terakhir yang masuk ke lemari kaca klub adalah Piala Liga peninggalan Kenny Dalglish pada 2012. Trofi mayor, tetapi tak cukup bergengsi bagi fan.

Toh, sesuram-suramnya Liverpool sepanjang dua dasawara itu-- saat Rodgers ditunjuk sebagai manajer pada 2012, setidaknya 11 trofi baru masuk ke daftar koleksi gelar juara. Rinciannya, 3 trofi Piala FA, 4 trofi Piala Liga, masing-masing 1 trofi Piala UEFA dan Liga Champion, plus 2 trofi Piala Super Eropa.

Tidak banyak memang, karena 11 dalam 22 tahun berarti hanya 0,5 trofi per musim. Namun tetap saja ini bukan jumlah yang sedikit.

Masalahnya, pencapaian tersebut tetap saja itu tidak cukup di mata suporter Liverpool. Maklum saja, Kopite terbiasa melihat timnya mendominasi liga, lalu mengakhiri musim dengan mengarak trofi juara keliling kota.

Kenangan mereka adalah tentang menghajar rival sekota, meremukkan musuh bebuyutan Manchester United, berpesta gol ke gawang tim papan bawah seperti yang digambarkan dalam lirik lagu We Are Liverpool, dan deretan piala di akhir musim.

Mendominasi dan menjuarai liga domestik adalah puncak kerinduan fan Liverpool. Maka jangan heran Gerard Houllier tetap dipecat sekalipun sanggup meraih treble di tahun 2001, satu-satunya treble Liverpool di era Premier League.

Nasib serupa dialami Rafael Benitez bertahun-tahun kemudian. Meski sukses membawa The Reds kembali berjaya di Eropa dengan 2 kali tampil di final Liga Champion dalam tempo 3 tahun dan membawa pulang 1 trofi, tetap saja Rafa ditendang keluar.

Hanya Tiga Tahun

Begitulah. Kejayaan masa lalu, tuntutan komersial dari pemilik klub, serta ekspektasi tinggi dari suporter menjadi tiga hal penting yang harus pintar-pintar Rodgers selaraskan. Karenanya sejak awal dia menekankan pada semua pihak untuk tidak terburu-buru menilai hasil pekerjaannya.

"Judge me in three years," kata Rodgers ketika itu.

Liverpudlian bahkan tidak perlu menunggu selama itu. Rodgers sudah berhasil meraih simpati The Kop dengan permainan apik di separuh musim pertamanya, 2012/13. Puja-puji diarahkan kepadanya, bersamaan dengan harapan tinggi akan raihan trofi.

Harapan itu nyaris terwujud. Rodgers hampir saja tercatat dalam buku sejarah klub sebagai manajer pertama yang memenangi Premier League di musim 2013/14. Musim di mana terdengar nyanyian "We're gonna win the league" di Anfield, nyanyian yang biasanya keluar dari mulut fan Man. United.

Apa daya, sejarah besar gagal terjadi. Orang-orang berpendapat hasil seri 3-3 di kandang Crystal Palace adalah kunci kegagalan Liverpool musim tersebut. Sejatinya, sepanjang 2013/14 The Reds terlalu sering membuang-buang poin di beberapa laga krusial.

Keadaan bertambah buruk ketika sosok sepenting Suarez malah dibiarkan pergi. Padahal striker Uruguay itu adalah penyumbang separuh gol klub sepanjang musim 2013/14. Juga pemberi kebanyakan asist bagi Sturridge.

Jangan lupakan pula cerita soal "kekangan" Komite Transfer pada Rodgers di awal tulisan. Niatnya untuk memperkuat klub dengan membeli beberapa pemain incaran di awal musim 2014/15, terganjal oleh kebijakan komiter tersebut.

Maka, jangan heran kenapa klub sebesar Liverpool mendatangkan pemain-pemain seperti ... ingat-ingat sajalah sendiri siapa saja mereka. Ketika satu demi satu para rekrutan baru tersebut gagal berkembang, jelas Rodgers yang jadi sasaran utama tudingan jari.

Ketika kemudian hasil-hasil di atas lapangan tak lagi sesuai harapan, hanya Rodgers pula yang paling mudah dijadikan kambing hitam. Akibatnya, perlahan tapi pasti dukungan fan berbalik jadi tekanan baginya.

Gerakan-gerakan anti-Rodgers mulai bermunculan, termasuk mereka-mereka yang mempertanyakan kapabilitas sang manajer. Dari hanya kritis terhadap pilihan taktik dan susunan pemain, serangan lambat laun kian brutal dengan ejekan-ejekan personal. Termasuk keputusannya menceraikan istri demi bersama Nona Hinds.

Tiga tahun tanpa gelar, fan semakin kencang mengingatkan Rodgers pada janjinya sendiri. Tagar #RodgersOut, banner "Rodgers Out Rafa In" di ekor pesawat yang sengaja diterbangkan saat Liverpool bertanding, sampai sorakan "booo" di Anfield,, kesemuanya adalah ekspresi ketidak-sabaran fan akan trofi juara.

No trophy no glory. Trofi jadi satu-satunya tolok ukur kemajuan. Dalam hal ini, Rodgers adalah sinonim bagi kegagalan dalam kamus kebanyakan fan Liverpool.

Pada akhirnya Rodgers harus menerima kenyataan bahwa FSG sebagai pemilik klub berpendapat sama: cukup tiga tahun kesempatan untuknya membenahi Liverpool. Tepat seperti yang pernah dikatakan sendiri oleh manajer tersebut.

Entah kesabaran fan atau pemilik Liverpool yang terlalu tipis, tapi sedikit-banyak langkah ini bisa dimaklumi. Liverpool sudah berada dalam jerat kesemenjanaan, mediocrity, sejak ditinggalkan Rafael Benitez pada 2010.

Sebelum status medioker benar-benar tertempel lekat pada mereka, Liverpool butuh perubahan radikal demi mengembalikan kejayaan. Perubahan radikal itu terwujud dalam bentuk mendepak Rodgers dan mendatangkan Klopp.

Sebuah keputusan yang menurut saya agak disayangkan. Langkah yang mungkin terburu-buru mengingat liga baru berjalan 8 pekan saat itu. Liverpool memang tercecer di peringkat 10 klasemen sementara, tetapi hanya berjarak tiga poin dari peringkat 4 yang merupakan jatah terakhir ke Liga Champion.

Sekadar perbandingan, Arsene Wenger menangani Arsenal sejak 1996 dan baru tiga kali mempersembahkan gelar juara liga. Yang terakhir sudah lama sekali, yakni pada tahun 2004. Rentetan trofinya juga jarang-jarang. Dengan kata lain, prestasinya tidaklah istimewa.

Lalu tengok pula Jose Mourinho di Chelsea. Meski memberi double winner di musim 2014/15, The Blues juga kedodoran di musim 2015/16. Mirip-mirip Liverpool. Bahkan Si London Biru berada di peringkat 16 dan baru menang dua kali dari delapan partai.

Supaya fair, lihat pula bagaimana Klopp mengawali pengabdiannya di Anfield. Manajer asal Jerman tersebut baru memberikan trofi pada tahun 2019, bermakna 4 tahun sejak ditunjuk sebagai pelatih.

Capaian tersebut setahun lebih lama dari kesempatan yang diberikan pada Rodgers. Juga dengan dukungan dana yang tidak setengah hati seperti diberikan pada Rodgers.

Apapun itu, demikianlah jalan nasib yang berlaku bagi Rodgers. Maju 7 tahun kemudian, alias Oktober 2022 ini, nasibnya kembali berada di ujung tanduk mengingat rentetan hasil buruk yang dicatatkan Leicester City.

Semoga saja pemilik Leicester City lebih sabar, demikian pula para fans. Kalau ternyata tidak, ya berarti Rodgers yang harus banyak-banyak bersabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun