“...
tabārakallażī biyadihil-mulku wa huwa 'alā kulli syai`ing qadīr
allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu 'amalā, wa huwal-'azīzul-gafụr
allażī khalaqa sab'a samāwātin ṭibāqā, mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut, farji'il-baṣara hal tarā min fuṭụr
...”
Suara lantunan ayat suci yang dibacakan oleh Enin sayup - sayup terdengar di telingaku. Aku terbangun dan melihat Enin di pojokan kamar sedang berdoa seusai shalat tahajud. Ini sudah menjadi rutinitas Enin di tengah malam. Ya, rutinitas ini sangat sulit untuk saya tiru karena rasa kantuk dan malas saya sulit dikalahkan oleh apapun. Kata Enin gapapa yang penting jangan pernah tinggalkan shalat fardhu , jika sudah besar nanti baru bisa ditambahkan shalat sunnahnya.
Mengingat kalimat tersebut keputusanku semakin mantap untuk kembali tidur.Keesokan harinya saya dibangunkan untuk bersiap pergi sekolah. Seusai siap, aku diantar kedepan oleh Abah untuk memesan ojek pangkalan. Ya begiinilah kehidupan anak SD dipagi hari. Abah tak pernah absen untuk mengantar cucunya ini pergi sekolah meskipun hanya kedepan rumah untuk memesan ojek. Abah sudah terlalu tua untuk mengendarai motor.
Aku tinggal bersama Enin dan Abah sedari kecil. Mereka merawatku dengan penuh kasih sayang dan didikan agama islam yang kuat. Aku tinggal dirumah Enin ini bersama Ayah , Mama dan Abang tapi Enin meminitaku untuk tidur sekamar dengannya dari kecil.
“Bunga harus tidur sama Enin sampe Enin meninggal, Bunga baru boleh tidur sama yang lain.” Itu yang diucapkan Enin ketika aku mencoba kabur untuk tidur dengan sepupu. Sampai sekarang aku gak paham kenapa Enin mengharuskan aku tidur bersamanya.
Dimulai dari makan , biaya hidup, biaya sekolah dan apapun yang aku inginkan pasti Enin dan Abah kabulkan. Rasa sayangku untuk mereka itu seluas benua eropa dan aku harap mereka masih ada sampai aku sukses nanti.