"Aurel meminta maaf karena kakaknya sempat mengganggu kita. Kakaknya yang stres."
Lizz memandangku sejenak, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke laptop di depannya. Terlihat tidak terlalu peduli.
"Dia juga meminta maaf kepadamu. Aurel ingin aku menyampaikannya karena kamu tidak bisa datang," ucapku pada Lizzie.
"Tidak masalah," balasnya.
Jika Lizz tidak terlalu semangat kuajak bicara. Rasanya memang sulit untuk menanyakan tentang tes kehamilan yang aku temukan. Tapi Lizz sudah bersikap seperti ini terlalu lama dan aku tidak bisa diam terus.
"Aku ingin bertanya, Lizz," sedikit ragu, suaraku sedikit terbata-bata.
"Ya." Balasnya masih tanpa memandangku.
Kudekati lizz, lalu duduk di belakangnya sambil membelakanginya.
"Sejujurnya, aku tidak ingin bertanya. Hanya ingin mengetahui kebenaran yang mengganjal di pikiranku."
Kamar kami terasa hening, sama seperti sebelumnya. Dan pertanyaanku seakan membuat keheningan menjadi kebekuan yang mengerikan.
"Apa kamu hamil, Lizz?" ucapku pelan karena tidak ingin Lizz sakit hati. Aku juga berharap jika Lizz menjawab "tidak". Karena mana mungkin juga Lizz hamil.